ANALISD.com, Maluku - Provinsi Maluku menjadi salah satu wilayah migrasi dan habitat mamalia laut, seperti dugong, dan paus. Hal itu terbukti dengan peristiwa seekor bayi dugong atau duyung (Dugong dugon) tersangkut jaring nelayan, di perairan konservasi Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, pada Kamis (20/7/2023) lalu.

Peristiwa tersebut langsung dilaporkan ke pihak terkait untuk tindak lanjut, mengingat bayi dugong tersebut masih dalam kondisi hidup, sehingga harus dilepas untuk mencari induknya.

Setelah berkonsultasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku, Dinas Perikanan Maluku Tenggara, dan BKSDA Resort Tual, bayi dugong itu kemudian dilepas kembali ke tempat terkena jaring nelayan.

Hero Ohoiulun, pegiat konservasi Maluku mengatakan, tindakan nelayan melaporkan kejadian bycatch kepada instansi berwenang patut diapresiasi sebagai wujud kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian alam. Ini juga sebagai indikator keberhasilan program sosialisasi konservasi biota laut selama ini.

Dia mengatakan, melalui sosialisasi intens dan konsisten Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong Satker Ambon Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Maluku Resort Tual, Kantor Cabang Dinas Gugus Pulau VIII Kepulauan Kei Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku, DKP Maluku Tenggara, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, habitat dan ekosistem laut di wilayah tersebut mulai terjaga dengan baik.

Lokasi pelepasan bayi dugong merupakan kawasan konservasi daerah (KKD) Kei Kecil, kawasan konservasi perairan pertama di Provinsi Maluku dengan luas diperkirakan 150.000 hektare, dengan target konservasi utama melindungi habitat ruaya mencari makan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).

“Selain itu juga untuk perlindungan habitat kritis terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove. Penyu belimbing merupakan penyu terbesar di dunia dengan panjang mencapai 2 meter, dengan lintasan migrasi antar samudera dari perairan Kepulauan Kei, Pulau Buru, Papua, Maluku Utara, Filipina, hingga ke Hawai dan California di Amerika Serikat. Bahkan ke perairan kepulauan Madagaskar di Pantai Timur Benua Afrika,” ungkapnya kepada Mongabay Indonesia, Senin (24/7/2023).

Dia berharap, para nelayan atau warga yang mendapati anakan dugong tersangkut di jaring nelayan sebaiknya langsung dilepas, agar mamalia tersebut bisa segera bertemu induknya. Jika kondisinya lemah, segera hubungi instansi terkait agar ditangani lebih lanjut.

“Kalau ada kejadian seperti itu, segera temukan induknya, karena terlalu lama akan sangat sulit untuk bertemu dan dikenali induknya. Apalagi kalau lama dirawat, misalnya 6 bulan sampai satu tahun,”

Satelit Tag

Dwi Suprati, dokter hewan dari IAM Flying Vet (asosiasi dokter hewan megafauna akuatik Indonesia) mengatakan, penanganan bayi dugong memang sangat berat, karena peluang hidupnya sangat kecil. Artinya bayi dugong itu perlu asupan susu induknya secara intensif.

Menurutnya, ada empat langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan bayi dugong yang terdampar atau pisah dari induknya. Pertama, upaya pencarian induk duyung tersebut menggunakan drone atau menggali informasi dari nelayan di sekitar perairan terkait kemungkinan perjumpaan terhadap induk.

Sembari mencari induknya, bayi duyung perlu direhabilitasi dan diberikan susu non-laktosa sebanyak delapan kali dalam sehari, yang tentu diberikan setiap 3 jam sekali.

Kedua, jika induk tidak ditemukan dalam waktu seminggu, maka opsi kedua dapat diujicobakan dengan mencari induk adopsi yaitu duyung di perairan sekitar yang dijumpai bersama anakan. “Bayi tersebut bisa diujicobakan untuk didekatkan kepada induk adopsi tersebut,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu (26/7/2023).

Ketiga, menyiapkan orang tua asuh untuk bayi dugong selama dua tahun atau sampai berukuran 150 cm, seperti lembaga yang bersedia mendanai dan merawat secara intensif selama masa menyusui hingga mampu mencari makan sendiri dan siap dilepaskan kembali.

Jika opsi ketiga tidak dapat dilakukan, maka harus dilepaskan dengan persyaratan bayi dugong tersebut dalam kondisi sehat, aktif dan dilepaskan di lokasi yang aman agar bisa bertemu induknya atau keberadaan duyung lainnya.

“Nah, jika tersedia juga, sebaiknya dilengkapi dengan pemasangan satelit tag (satelitte telemetry) agar terpantau pergerakannya, guna mengetahui apakah bayi dugong tersebut dapat survive, jika menunjukkan tanda-tanda pergerakannya lemah atau terdampar kembali maka dapat segera dipantau ke lokasi tersebut,” jelasnya lagi.

Namun jika mati, maka dapat diketahui seberapa lama bayi dugong dapat bertahan sendirian tanpa induknya, yang nantinya menjadi ilmu pengetahuan baru, dan bahan pembelajaran untuk penanganan selanjutnya.

Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab mamalia laut seperti dugong terdampar ke pesisir pantai, seperti terjebak di perairan yang dangkal atau saat surut, menderita suatu penyakit sehingga kondisinya menjadi tidak stabil, diburu predator, tertangkap tidak sengaja (bycatch) oleh alat tangkap perikanan, dan tertabrak kapal.

Selain itu bisa karena adanya pencemaran laut yang menyebabkan dugong mengalami toksikasi, faktor cuaca ekstrem, adanya blooming alga yang terkadang menyebabkan keracunan, kebisingan bawah laut dan juga gempa dasar laut.

“Opsi penanganan tersebut harus dilakukan oleh dan atau di bawah koordinasi pemerintah terkait,” jelasnya.

Ilustrasi. Seekor bayi duyung (Dugong dugon) dirawat di Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat, Papua Barat, setelah terpisah dengan induknya pada akhir Maret 2019. Bayi itu hanya bisa diberi susu formula rendah laktosa untuk menghindari kembung perut. Foto: Joko/BKKPN Kupang

Sosialisasi dan Dokter Hewan

Prehadi, pegawai Loka PSPL Sorong mengungkapkan pihaknya rutin mensosialisasikan konservasi satwa laut dilindungi termasuk dugong, termasuk mengedukasi penangangan mamalia laut terdampar hidup dan mati kepada masyarakat pesisir wilayah timur Indonesia.

“Loka PSPL Sorong berperan menerima pelaporan ataupun pengaduan masyarakat terkait mamalia laut terdampar, khususnya dugong. Dimana laporan tersebut akan dimasukkan dalam database penanganan mamalia laut, serta ditindaklanjuti berupa penanganan termasuk pengumpulan bahan keterangan,” katanya.

Mereka juga mengkoordinasi rekomendasi teknis, penyebaran informasi ke pihak terkait dan jejaring mamalia laut di lokasi terpencil, serta penanganan langsung oleh tim respon cepat Loka PSPL Sorong.

“Kendala kami dalam penanganan mamalia laut di wilayah Timur Indonesia adalah menganalisa penyebab kematian atau terdamparnya mamalia karena ketersedian dokter hewan aquatik di wilayah kami masih sangat terbatas,” pungkasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh Jay Fajar

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index