ANALISD.com, Bengkalis - Pulau Rupat,  terbebani tidak hanya di laut. Pasca izin perusahaan tambang pasir, PT Logomas Utama, dicabut, belum melepaskan  Pulau Rupat dari beban eksploitasi skala besar. Di darat, pulau kecil ini juga jadi sasaran investasi skala besar. Dalam lembar fakta yang pernah Walhi Riau rilis, bertajuk Pulau Kecil Rupat: Dihancurkan di Darat, Dirusak di Laut, ada tiga investasi industri ekstraktif oleh tujuh perusahaan, salah satu PT Sumatera Riang Lestari (SRL),  berupa hutan tanaman industri.

Perusahaan yang terafiliasi dengan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) ini memperoleh izin usaha HTI di Sumatera Utara sejak 2007 seluas 148.075 hektar. Pulau Rupat merupakan Blok IV dengan hamparan 38.210 hektar.

Selain perkebunan kayu, daratan Pulau Rupat juga terhimpir konsesi sawit milik PT Marita Makmur Jaya (MMJ), PT Sarpindo Graha Sawit Tani (SGST), PT Panca Citra Rupat (PCR), PT Bina Rupat Sepang Lestari (BRSL), PT Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP) dan satu lagi tak diketahui namanya.

Perusahaan-perusahaan itu ‘mengambil’ lebih separuh daratan Pulau Rupat atau sekitar 61,7%, legal maupun ilegal.

Rupat merupakan pulau kecil dengan sekitar kurang 152.455 hektar. Lebih 70% daratan adalah ekosistem gambut, dengan fungsi budidaya 67.947 hektar dan fungsi lindung 50.038 hektar.

“Rupat sebagai pulau kecil yang punya kekhususan dan mayoritas daratan merupakan ekosistem gambut mengalami berbagai ancaman,”  kata Boy Jerry Even Sembiring,  Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring, ketika memaparkan temuan itu.

Senada dengan Azlaini, Azlaini Agus,  tokoh masyarakat Riau. Dia berharap,  HGU sawit dan HTI itu tidak diperpanjang karena beban Pulau Rupat sudah sangat berat.

Pulau kecil, katanya,  harusnya tak boleh ada investasi skala besar. Dia bilang, lebih baik bekas areal itu dipakai untuk anak cucu masyarakat adat dan lokal Pulau Rupat, kelak.

“Keperluan lahan dari hari ke hari terus bertambah buat anak cucu supaya mereka bisa hidup layak,” kata Azlaini.

 

Hutan mangrove di sepanjang Sungai Desa Suka Damai. Nelayan melewati sungai ini untuk menjaring ikan kurang 12 mil dari pantai menuju laut. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Konservasi perairan

Untuk melindungi Pulau Rupat, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus segera menetapkan kawasan konservasi perairan Rupat Utara.

Mengingat, Gubernur Riau telah mencadangkan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Rupat Utara, sejak 2019.

Hasil identifikasi dan survei Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, satu tahun sebelum pencadangan, tipe KKPD Rupat Utara adalah taman pesisir dengan luasan 15.547 hektar.  Ia berupa ekosistem mangrove 1.413,58 hektar dan perairan 14.133,50 hektar.

Selain mangrove, Pulau Rupat menyimpan padang lamun dan ragam biota laut: dugong, lumba-lumba, pesut dan penyu.

Menurut Umi Marufah,  Koordinator Riset dan Kebijakan Walhi Riau, penetapan KKPD penting untuk memastikan perlindungan perairan dan pesisir utara Pulau Rupat agar tak jadi obyek eksploitasi industri ekstraktif.

“Selain itu, memastikan masyarakat khusus, nelayan, turut serta menjaga kawasan pesisir dan laut Rupat dengan cara tetap menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan,” kata Umi.

Fajar Kurniawan,  Kepala BPSPL Padang, mengabari, usulan penetapan KKPD Rupat Utara sudah masuk ke Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL).

Namun, katanya,  karena masih ada persoalan terkait status perairan,  kewenangan provinsi atau pusat, jadi perlu diskusi lanjutan.

Pulau Rupat merupakan satu pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang otomatis jadikan kawasan strategis nasional tertentu (KSNT), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6/2017.

Dalam draf rencana zonasi (RZ) KSNT Pulau Rupat, melingkupi KKPD Rupat Utara yang diusulkan Gubernur Riau. Sejak keluar UU Cipta Kerja, seluruh tata ruang, termasuk RZ KSNT Pulau Rupat, terintegrasi dalam rencana detail tata ruang perbatasan negara.

Fajar bilang, saat ini langkah-langkah itu dalam proses integrasi di Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. “Secara paralel Direktorat KKHL dan DKP Riau juga tengah melakukan percepatan penetapan KKPD Rupat Utara.”

Upaya percepatan penetapan KKPD Rupat Utara, katanya,  hampir rampung tahun lalu. Periode 2020-2022,  sudah siap anggaran proses penetapan tetapi terkendala pandemi COVID-19 hingga kegiatan tidak terlaksana karena pembatasan mobilisasi dan interaksi.

Tahun ini, katanya, tak ada sama sekali alokasi untuk melanjutkan pekerjaan tertunda ini karena khawatir tak terlaksana lagi.

Meski begitu, kata Fajar, komunikasi dan koordinasi antara KKP dan DKP Riau terus berjalan.

“Info yang saya dapat tahun depan akan dilakukan percepatan penetapan KKPD Pulau Rupat,” katanya.

Jauh sebelum penetapan Pulau Rupat dalam KSNT, Kementerian Kehutanan telah menetapkan Pulau Rupat sebagai kawasan ekosistem esensial pada 2011. Tujuannya untuk melindungi sumberdaya hutan mangrove dan habitat burung migran.

Tahun itu, berdasarkan PP Nomor 50/2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional, Rupat masuk dalam kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN).

Di daerah, Rupat juga sebagai kawasan strategis pariwisata kabupaten (KSPK) merujuk Perda Nomor 2/2021, tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupten Bengkalis 2021-2035.

Selaras, Pemerintah Riau juga menerbitkan Perda Nomor 5/2022. Pasal 12 Ayat 1, menetapkan Rupat target pembangunan kawasan rekreasi pantai.

Hanya saja, kata Umi, banyak status yang disematkan pada Pulau Rupat ternyata tak menjamin wilayah itu bebas dari pemberian izin industri ekstraktif skala besar. Buktinya, selain izin tambang pasir laut yang sempat diberikan pada PT Logomas Utama, saat ini masih bercokol sejumlah perusahaan sawit dan HTI.

Padahal,  UU Nomor 27/2007, menegaskan pulau kecil prioritas untuk konservasi, pendidikan, pelatihan, penelitian, pengembangan hingga budidaya laut. “Bukan untuk industri ekstraktif yang rakus lahan,” kata Umi.

Seharusnya,  pemerintah juga mengevaluasi izin-izin perusahaan HTI dan sawit di Pulau Rupat. Apalagi,  perusahaan itu memiliki riwayat tak ramah lingkungan dan sosial.

 

Hasil tangkapan nelayan Suka Damai. Ikan besar mudah didapat sejak tambang pasir laut dihentikan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Kesejehteraan nelayan

Azlaini saat pidato dalam kenduri syukuran pencabutan IUP Logomas Utama berpesan pada nelayan Pulau Rupat agar jangan lupa menabung dan menyisihkan sebagian hasil tangkapan untuk biaya berobat dan keperluan darurat lain.

Nasihat Azlaini tidak berlebihan. Mengingat masyarakat pesisir terutama nelayan di Indonesia, tidak terkecuali di Pulau Rupat, masih tergolong miskin. Terutama nelayan kecil tradisional maupun buruh nelayan.

Mustika Haryanto, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, dalam tugas akhir sarjana 2012 menyebut,  nelayan di Rupat Utara makin bertambah, namun produksi penangkapan ikan di laut justru terus menurun.

Penelitian ini mengurut waktu dari 2008 hingga 2011. Tiga tahun pertama jumlah nelayan bertambah, 238, 490 dan 602 orang tetapi produksi perikanan stagnan pada angka 388,29 ton.

Tahun 2011, nelayan dan hasil tangkap sama-sama menurun, 591 orang dengan produksi penangkapan ikan 368,87 ton. Produksi perikanan di Rupat Utara bergantung pada penangkapan ikan di laut.

Senada data statistik Bengkalis, nelayan di Rupat Utara sektor perikanan laut bertambah antara 2019 dan 2020, yakni 546-606 orang. Sebaliknya,  produksi perikanan tangkap justru menurun 6.126,11 ton jadi 5.789,87 ton.

Eriyanto, nelayan Rupat tak pungkiri perekonomian nelayan masih jauh dari kata layak. Sebagai Ketua Kelompok Nelayan Kerapu, Dusun Suling, Desa Suka Damai, dia mengatakan,  nelayan Pulau Rupat tergolong mandiri. Mereka berusaha sendiri memenuhi kebutuhan melaut baik sarana maupun prasarana tanpa sokongan pemerintah.

Seumur jadi nelayan atau lebih kurang 20 tahun, Eriyanto baru pertama terima bantuan alat tangkap dari Dinas Kelautan dan Perikanan Riau berupa jaring ikan untuk kelompoknya.

Di Suka Damai, katanya, saking banyak nelayan, ada empat kelompok nelayan. Beruntung, katanya,  semua anggota turut kebagian bantuan baru-baru ini.

Nelayan Pulau Rupat umumnya masyarakat adat Suku Akit. Eriyanto adalah generasi keempat dari masyarakat tradisional pesisir Bengkalis ini.

Karena melaut tidak lagi memuaskan, nelayan Akit sebagian mulai beralih jadi petani. Mereka menyisihkan uang hasil melaut beli kebun.

“Sekarang, kami (nelayan Rupat) yang penting laut dan wilayah tangkap ikan tidak diganggu. Kalau itu aman dan terjaga, kami mudah cari ikan,” kata Eriyanto.

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index