ANALISD.com, Padang - Sebanyak 16 individu owa ungko [Hylobates agilis] dilepasliarkan di kawasan konservasi di Sumatera Barat oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Barat, pada Kamis [16/11/2023]. Seluruh owa tersebut telah melalui proses rehabilitasi selama 3 hingga 7 tahun.

Pelaksana Tugas [Plt] Kepala Balai KSDA Sumatera Barat, Lugi Hartanto mengatakan, owa tersebut hasil sitaan dan serahan masyarakat ke BKSDA Sumatera Barat yang direhabilitasi di Yayasan Kalaweit Sumatera.

“Owa merupakan hewan monogami yang hidup berkelompok. Proses memasangkannya menjadi tahapan penting sebelum dikembalikan ke alam liar,” jelasnya melalui rilis media.

Survei lokasi pelepasliaran merupakan rangkaian tak terpisahkan dari pelepasliaran. Kajian kesesuaian habitat telah dilakukan sejak Maret 2023 lalu.

“Selama satu tahun kedepan, seluruh owa dipantau perilakunya untuk dipastikan dapat beradaptasi di habitatnya,” ungkapnya.

Pelepasliaran ini dilakukan sesuai prosedur dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap satwa, habitatnya, maupun masyarakat sekitar.

“Perburuan bayi owa dengan membunuh induknya merupakan ancaman kehidupan yang dihadapi satwa yang memiliki penting sebagai penebar biji-bijan di hutan ini,” jelas Lugi.

 

Owa ungko [Hylobates agilis] merupakan jenis satwa liar dilindungi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Habitat terganggu

Ahli primata dari Universitas Andalas, Rizaldi, menyebut untuk melepasliarkan individu owa ke habitat baru, membutuhkan proses dan evaluasi para pihak. Setelah dilepasliarkan, harus dipantau selalu.

“Bila dinilai sudah memenuhi kriteria, rilis bisa dilakukan,” ungkap Rizaldi, ditemui di Jurusan Biologi, Universitas Andalas, Selasa (21/11/23).

Ada tahapan rilis yang mesti dilalui. Ada soft rilis dulu, dibikin kandang. Pada tahap awal, kandang dalam keadaan tertutup, tidak langsung dibuka. Satwa diberi makan dan secara bertahap dikurangi.

“Harus ada yang mengamati tingkah lakunya, terutama jenis makanan alami. Jika sudah sesuai, porsinya dikurangi sampai akhirnya siap dilepaskan ke alam,” imbuhnya.

Untuk populasi owa di Sumatera Barat, sebut lulusan S3 Kyoto University ini, populasinya mengalami penurunan, terutama pada dataran rendah yang sudah dikonversi menjadi kebun.

“Ini terjadi di Sumatera, khususnya daerah-daerah yang dikonversi jadi kebun, seperti sawit dan karet. Di kebun sawit mereka jelas tidak bisa hidup. Mereka mutlak hidup di pohon, di hutan  yang kanopinya saling terhubung. Jarak bukaan hutan lebih dari 20 meter saja owa tidak mau lagi nyebrang, jadi gampang terisolasi. Populasi owa relatif baik hanya pada dataran tinggi, pegunungan, dan bukit-bukit. Seperti di hutan sepanjang Bukit Barisan, tapi mereka harus berkompetisi dengan siamang,” ungkapnya.

Selain alih fungsi hutan, salah satu penyebab berkurangnya populasi owa ungko adalah fragmentasi hutan.

“Hutan terpenggal membuat owa terkepung di wilayah kecil. Sekarang, banyak di sekitar kebun-kebun yang luas menyisakan hutan kecil yang bisa saja ada owa dan satwa-satwa lain. Owa yang akan paling terancam karena tidak bisa berjalan di tanah, sementara satwa lain masih memungkinkan untuk pindah,” ungkapnya.

 

Inilah satu dari 16 owa ungko yang dikembalikan ke habitatnya di Sumatera Selatan. Foto: Dok. BKSDA Sumatera Barat

 

Selain kehilangan habitat, ancaman kehidupan owa adalah perburuan dan penangkapan untuk dijadikan hewan peliharaan.

“Tapi kadang ini terjadi tidak sengaja. Saat orang bang pohon, owa yang terkepung menjadi gampang ditangkap. Berbeda dengan beruk atau monyet ekor panjang yang bisa bergerak dengan cepat.”

Rizaldi menyatakan, di Sumatera ada beberapa jenis owa yakni, Hilobates agilis yang menempati bagian wilayah Selatan Sumatera, jenis ini juga ada di Semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Kemudian Hilobates lar di Sumatera dan Semenanjung Malaysia.

Kemudian siamang [Symphalangus syndactylus) yang menempati Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Kemudian di Mentawai ada Hilobates klossii.

“ Ini kerabatnya di Mentawai, siamang kerdil warnanya hitam. Bilou kalau bahasa Mentawai.  Jadi, bukan spesies yang sama tapi kerabat dekat, sama-sama tidak punya ekor tapi masuk ke dalam kelompok Gibbon,” pungkasnya.

Di Indonesia, perlindungan owa ungko diatur dalam Undang-undang Nomor 5/1990 dan PermenLHK No. P 106 tahun 2018, yaitu Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index