ANALISD.com - Dorongan untuk menerapkan prinsip ekonomi biru dalam setiap pembangunan yang berjalan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Upaya itu dilakukan, salah satunya melalui pengaturan teknis pemanfaatan ruang laut yang tepat.

Agar pengaturan tersebut bisa dilakukan, Pemerintah menyusun Materi Teknis Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang dipimpin langsung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Saat ini, penyusunan dokumen sudah selesai dilakukan, dan selanjutnya dokumen akan menjadi rujukan untuk penyusunan peraturan daerah (perda) provinsi tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW). Perda tersebut disusun untuk bisa terintegrasi dengan regulasi yang sudah terbit.

Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menerangkan, regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Kata dia, dari 38 provinsi yang ada saat ini, sebanyak sepuluh provinsi diketahui sudah memiliki Perda tentang RTRW Provinsi yang terintegrasi. Sementara, sebanyak 24 provinsi diketahui sudah mendapatkan Persetujuan Menteri Kelautan Perikanan terhadap Materi Teknis RZWP3K, serta Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Laut.

Sisanya, sebanyak empat provinsi yang berstatus daerah otonom baru (DOB) di Papua, sampai saat ini belum memiliki perda ataupun surat persetujuan dari Menteri KP. Keempat provinsi tersebut adalah Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

Sementara, sepuluh provinsi yang diketahui sudah memiliki Perda tentang RTRW terintegrasi adalah Sulawesi Selatan, Papua Barat, Jawa Barat, Banten, Bali, Kalimantan Timur, Jambi, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, dan Bengkulu.

 

Kapal pengangkut pasir sedang menyemprotkan pasir untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Reklamasi  dan pertambangan pasir laut mengancam perairan dan pulau-pulau kecil. Foto : F Jailani/Batampos

 

Victor mengatakan, setelah PP 21/2021 terbit, dari 34 provinsi, sebanyak sepuluh provinsi yang sebelumnya sudah memiliki Perda RTRW, menyatakan bahwa tidak memiliki perubahan materi teknis perairan pesisir atau RZWP3K.

Sementara, 24 provinsi menyatakan ada perubahan muatan materi, sehingga perlu melakukan penyusunan materi teknisnya. Dengan demikian, khusus sepuluh provinsi tersebut bisa langsung dilakukan proses integrasi dengan RTRW provinsi.

Melalui materi teknis perairan pesisir yang terdapat pada Perda RTRW, diharapkan pembangunan wilayah pesisir dan laut bisa berjalan penuh dengan kendali prinsip ekonomi biru. Instrumen tersebut diyakini akan bisa menerapkan pembangunan dengan fokus pada ekologi dan ekonomi secara bersama pada setiap aktivitas yang menetap di ruang laut.

Dorongan untuk melaksanakan integrasi dokumen tersebut diyakini akan membawa banyak manfaat dan berdampak positif pada pembangunan di wilayah pesisir dan laut. Itu juga akan berdampak pada perbaikan pelayanan perizinan berusaha yang berlaku pada subsektor pengelolaan ruang laut.

Menurut Victor, pelayanan merupakan bagian dari instrumen pengendalian untuk mendukung kebijakan yang dibuat KKP, yaitu mewujudkan ekonomi biru. Tujuan itu didorong melalui perbaikan pelayanan publik.

Terus diperbaikinya pelayanan publik, khususnya pelayanan izin berusaha untuk pengelolaan ruang laut, karena Indonesia memiliki pulau sangat kecil dengan jumlah yang banyak. Pulau dengan kategori sangat kecil, biasanya memiliki luas di bawah 100 kilometer persegi (km2).

Sampai 2022, berdasarkan jumlah pulau yang didaftarkan dan dibakukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dari total 17.024 pulau, sebanyak 98 persen adalah pulau-pulau sangat kecil. Pulau kategori tersebut sangat rentan mengalami kerusakan, serta berisiko tinggi dalam pemanfaatannya.

 

Gili Re, salah satu pulau kecil di Kabupaten Lombok Timur yang padat dihuni penduduk. Penduduk di sini bekerja sebagai nelayan tangkap dan budidaya. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Victor menyebut, walau peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil cukup komprehensif, tapi pada praktiknya di lapangan masih banyak ditemui masalah, baik dilakukan oleh pelaku usaha, atau masyarakat.

“Karenanya ini kesempatan tepat untuk memberikan penyadartahuan tentang kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil,” terangnya.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf menjelaskan betapa pentingnya menjaga dan mengelola pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan memperketat aturan main dalam pemanfaatannya.

“Salah satunya, melarang penguasaan pulau secara utuh,” terangnya.

Menurut Yusuf, larangan tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha atau investor dengan modal besar tidak bisa mengusai satu pulau secara utuh. Sesuai aturan, dari 100 persen luas pulau, minimal sebanyak 30 persen dikuasai oleh Negara.

Aturan tersebut merujuk pada Pasal 11 Peraturan Nomor 34 Tahun 2019 tentang Perdagangan Perbatasan, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Juga, Pasal 10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km2.

Itu berarti, maksimal 70 persen dari total luas pulau kecil bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Namun, dari luasan maksimal tersebut, pelaku usaha wajib mengalokasikan paling sedikit 30 persen untuk kebutuhan ruang terbuka hijau.

“Pengelolaan pulau-pulau kecil harus memperoleh izin,” tegasnya.

 

Selain ancaman krisis iklim secara langsung di wilayah kepulauan, industri ekstraktif justru menambah parah kondisi kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Yusuf menerangkan, untuk pulau yang luasnya kurang dari 100 km2, pelaku usaha harus mendapatkan dokumen Rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan. Kemudian, jika ingin memanfaatkan laut, maka harus mendapatkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP.

Atas pertimbangan itu, dia meminta kepada semua pihak yang akan, sedang, atau telah melakukan kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, agar mengikuti ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk melengkapi dokumen legalitas usaha dan perizinan yang disyaratkan.

Mereka yang mendapat imbauan tersebut, adalah para pihak yang seperti Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Pemerintah Daerah, kelompok masyarakat atau pun perseorangan.

Berkaitan dengan Materi Teknis Perairan Pesisir yang terdapat pada Perda RTRW Provinsi, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto juga mengungkapkan bahwa itu menjadi dasar penerbitan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dan perizinan untuk kegiatan yang memanfaatkan ruang perairan.

Tanpa instrumen tersebut, dia menyebut kalau pemanfaatan ruang laut akan memicu munculnya konflik pemanfaatan sumber daya, degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, atau konflik antar pemangku kepentingan yang sulit untuk diatasi.

“Saya berharap penyusunan Perda RTRW yang telah terintegrasi dengan Materi Teknis Perairan Pesisir dapat segera terselesaikan,” ucapnya.

 

Kerusakan pulau-pulau kecil karena tambang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Niskala dan Sekala

Salah satu provinsi yang sudah memiliki Perda RTRW terintegrasi, adalah Bali. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali I Putu Sumardiana menjelaskan bahwa untuk mewujudkan perlindungan laut, Pemerintah Provinsi Bali melakukan upaya melalui Niskala dan Sekala.

Perlindungan Niskala, adalah upaya dengan cara penyucian laut atau segara dengan jangka waktu secara berkala, yaitu setiap pelaksanaan upacara Tumpek Kandang atau Tumpek Uye yang jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Uye.

Biasanya, pelaksanaan Tumpek Uye dilakukan masyarakat Bali dengan upacara tingkat alit (kecil) yang digelar setiap enam bulan kalender Bali, dan upacara tingkat utama setiap lima tahun kalender Bali yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Bali.

Sementara, perlindungan laut secara Sekala biasanya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, salah satunya melalui Penyusunan Tata Ruang Wilayah yang sudah diintegrasikan antara darat dan laut.

I Putu Sumardiana merasa bersyukur atas terbitnya Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023-2043. Pasalnya, walau harus melalui proses yang panjang, namun akhirnya bisa ditetapkan pada 9 Maret 2023.

“Banyak hal sudah kami lewati dan saya yakin semua pemerintah daerah mengalami proses yang sama,” pungkasnya.

Salah satu provinsi yang saat ini sedang melakukan penyusunan materi teknis perairan pesisir/RZWP3K untuk diintegrasikan dengan Perda RTRW, adalah Sulawesi Tenggara. Provinsi tersebut fokus untuk bisa berkontribusi menjaga keberlanjutan ekologi, sumber daya pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan di sekitarnya.

Tekad itu disuarakan Staf Ahli Gubernur Sulawesi Tenggara Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan La Ode Saifuddin belum lama ini di Kendari, Sulawesi Tenggara. Dia berjanji akan mengikuti semua imbauan dari KKP untuk keseimbangan ekologi dan ekonomi di pesisir dan laut.

 

Pulau Bungin Bella di Kawasan TN Taka Bonerate, Sulsel yang merupakan salah satu contoh pulau kecil. Foto : Asri/TN Takabonerate/Mongabay Indonesia

 

Pengawasan dan Penertiban

Tahun ini, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan membentuk Tim Gabungan Pengawasan, Penertiban dan Pengendalian Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil di Indonesia (TGP5KI) yang bertugas mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil.

Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kemenko Polhukam Kisdiyanto yang juga Ketua Tim TGP5KI meminta Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan ketat terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil yang berada di wilayahnya.

Pengawasan dilakukan, agar pemanfaatan bisa dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini. Mengingat hal tersebut, para pelaku usaha yang akan dan sudah melaksanakan pemanfaatan pulau-pulau kecil, diminta untuk kembali memastikan setiap kegiatan pemanfaatan bisa sesuai peraturan.

“Antara lain, terpenuhinya seluruh perizinan berusaha pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, serta tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan kerugian bagi masyarakat,” terang dia.

Dia menyebut kalau upaya yang dilakukan TGP5KI bukan untuk menghambat investasi. Melainkan, untuk memastikan investasi dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil sesuai ketentuan yang berlaku. Lantaran itu, sinergi antar kementerian dan lembaga (K/L), pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bisa berjalan dengan baik.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam banyak kesempatan selalu mengungkapkan komitmennya untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian pulau-pulau kecil. Dia berjanji untuk melaksanakan pembangunan dengan ekonomi biru melalui upaya tersebut.

Detailnya, pembangunan ekonomi biru dilakukan melalui pengaturan ruang laut yang diharapkan bisa mengurangi konflik kepentingan, sekaligus menyelamatkan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil agar bisa tetap lestari.

 

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Babero/ Mongabay Indonesia

 

Penjualan Pulau Kecil

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pernah menyoroti pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dinilai sudah tidak masuk akal. Utamanya, maraknya penyewaan atau penjualan pulau-pulau kecil yang masuk gugusan pulau di Indonesia.

Contoh kasus tersebut, KIARA merujuk pada pelelangan gugusan kepulauan Widi yang ada di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Kegiatan lelang tersebut dilakukan secara dalam jaringan (daring) pada November 2022 oleh Sotheby’s Concierge Auctions.

Penawar yang tertarik diharuskan melakukan deposit sebesar US 100.000 untuk membuktikan keseriusan. Situs Sotheby’s sendiri berbasis di Amerika Serikat dan fokus pada penjualan serta bisnis tanah dan properti.

Kepulauan Widi yang luasnya mencapai 130,16 km² selama ini dikelola PT Leadership Island Indonesia (PT LII). Pengelolaan tersebut dilakukan atas kesepahaman antara Gubernur Maluku Utara, Bupati Halmahera Selatan, dan PT LII yang ditandatangani pada 2015.

Nota kesepahaman tiga belah pihak tersebut berisi tentang penunjukan PT LII yang mendapatkan hak untuk mengelola Kepulauan Widi selama 35 tahun. Setelah masa pengelolaan berakhir, maka izin akan ditinjau kembali.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyebut kalau praktik penjualan pulau di Kepulauan Widi merupakan bentuk pengkhianatan kepada konstitusi Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, dan salah satu aturan turunannya, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA.

Menurut dia, UUPA menyebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik, dan hak pakai atas tanah di Indonesia. Itu artinya, UUPA memandatkan hanya WNI yang memiliki hak milik dan hak pakai di seluruh tanah dan kepulauan Indonesia.

“Hal itu juga dipertegas dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” ungkap dia.

KIARA mencatat, gugus perairan Kepulauan Widi merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional dengan karakteristiknya memanfaatkan wilayah perairan di pulau-pulau kecil untuk melakukan penangkapan ikan, dengan menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang ramah lingkungan, serta menangkap ikan sesuai dengan kebutuhannya saja.

Selain itu, karakteristik nelayan tradisional di sana, biasa menggunakan daratan pulau- pulau kecil untuk beristirahat, memperbaiki alat tangkap, dan berlindung ketika gelombang tinggi saat sedang melaut.

#Green Economy

Index

Berita Lainnya

Index