Setiap 27 Juli diperingati sebagai Hari Sungai Nasional dan 29 Juli dirayakan sebagai Hari Harimau Sedunia. Tulisan ini coba melihat hubungan keduanya.

Pulau Sumatera yang luasnya sekitar 47.348.100 hektar, memiliki 1.343 DAS [Daerah Aliran Sungai]. Tercatat 16 sungai terpanjang dan terbesar, yakni Sungai Alas [Kutacane], Krueng Aceh, Sungai Asahan, Sungai Barumun, Batang Gadis, Batang Hari, Krueng Jamboaye, Sungai Kampar, Sungai Indragiri, Sungai Lematang, Sungai Musi, Batang Rokan, Sungai Siak, Batang Tarusan, Way Tulangbawang, dan Sungai Wampu.

Pulau Sumatera juga rumah bagi harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae]. Kisaran 500-600 individu yang masih bertahan. Ruang hidupnya membentang dari wilayah Aceh hingga Lampung, yang terbagi dalam sejumlah kantong.

Dapat dikatakan wilayah hulu atau DAS 16 sungai besar di Sumatera, merupakan habitat harimau sumatera. Selama ratusan tahun, harimau sumatera hidup harmonis dengan manusia yang menetap di sekitar DAS tersebut.

Hubungan ini melahirkan sejumlah tradisi, termasuk legenda manusia harimau [siluman]. Seperti legenda Cindaku di Kerinci [Jambi], manusia harimau di Gunung Dempo [Sumatera Selatan], serta tujuh manusia harimau di Bengkulu.

Bagaimana hubungan sungai dan harimau sumatera?

Si Tue [harimau sumatera] itu menjaga mata air dan sungai di dalam rimba [hutan larangan] ini,” kata Artan Ardila, tokoh adat Suku Besemah, saat berkunjung ke hutan larangan Desa Air Dingin Lama, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, pertengahan Mei 2023 lalu.

“Jika si Tue tidak ada atau pergi, mungkin mata air dan sungai di dalam rimba ini sudah lama rusak. Bukan tidak mungkin perambah dari luar, akan menebang kayu-kayu di rimba ini,” jelas Artan.

“Kalau kita ke hulu, sering kita melihat jejak dia [harimau sumatera] di sekitar mata air dan sungai, yang airnya tenang dan jernih. Dapat dikatakan, harimau itu penjaga mata air dan hulu sungai,” kata Parsin [61], warga Desa Sukomoro, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, awal Februari 2023 lalu.

“Selain itu, sejumlah warga pernah melihat harimau menyeberang Sungai Rawas. Jago berenang. Beda dengan kucing rumah yang takut air,” ujarnya.

Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, juga memahami harimau sumatera sebagai penjaga mata air dan sungai di hutan. “Kalau masuk hutan rimba, harus waspada atau hati-hati pada lokasi tertentu di sekitar mata air dan sungai. Masyarakat juga tidak akan merusak mata air atau sungai. Jika itu dilakukan, maka akan berhadapan dengan harimau,” kata Arbi Tanjung, pekerja budaya dari Sumatera Barat, pertengahan Juli 2023.

“Di wilayah hutan yang mata air dan sungainya masih baik, dipastikan ada harimau sumatera yang hidup di wilayah tersebut,” jelas Arbi.

Hendra Gunawan, Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], menilai pemahaman masyarakat jika harimau sumatera adalah penjaga sumber air, karena harimau memang menyukai air yang jernih dan tenang.

Pemahaman tersebut, juga sebagai wujud penghormatan manusia terhadap makhluk hidup lainnya dan alam, yang dimengerti sebagai“ekosentris”.

“[Ekosentris] ini adalah paham atau etik lingkungan tertinggi. Paham ini memandang  semua komponen ekosistem ini setara, kita menghargai satwa sama dengan kita, yang menghargai tumbuhan, air, tanah, dan lainnya,” terangnya, Jumat [21/07/2023].

Kita memandang ekosistem secara utuh, karena pada hakikatnya salah satu sifat ekosistem itu adalah “saling ketergantungan”. Ini digambarkan atau dapat dilihat dari proses-proses alami di dalam ekosistem seperti siklus hara, siklus air, dan siklus energi.

“Yang paling mudah dilihat dan dipahami adalah rantai makanan [food chain]. Dalam ekosistem yang kompleks, food chain ini saling terhubung atau overlap membentuk jaring-jaring pangan atau disebut juga jaring-jaring kehidupan [food web].”

Dengan paham tersebut, sangatlah mudah dan jelas memahami hubungan antara satwa dengan air, atau komponen lainnya. Seperti manusia dengan harimau sumatera.

Berendam di air

“Salah satu perilaku harimau [sumatera] yang tidak dilakukan oleh jenis kucing lain adalah berendam,” kata Hendra.

“Kebanyakan kucing tidak menyukai masuk air atau bahkan menghindar. Kecuali harimau yang memang memiliki kebiasaan berendam di sungai atau genangan air,” jelasnya.

Satwa pada umumnya mengonsumsi air untuk minum itu secukupnya atau sewajarnya. Bahkan, untuk bangsa kucing [kecil] bisa tidak minum beberapa hari karena air sudah diperoleh dari daging yang dimakannya.

Dengan bekal pengetahuan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa keberadaan satwa di suatu daerah [hutan] bisa menjadi indikator baik buruknya suatu ekosistem.

Harimau sumatera merupakan predator puncak dalam rantai makanan di ekosistem hutan di Pulau Sumatera. Jika harimau masih ada, artinya hutan itu masih baik.

Mengapa?

Karena pertanda, jika hutan tersebut masih menyediakan kebutuhan harimau yaitu “mangsa” dan “air untuk berendam”.

“Adanya satwa mangsa [herbivora] juga menjadi indikator bahwa hutan tersebut masih memiliki hijauan pakan melimpah, artinya vegetasinya masih bagus. Ketika vegetasi hutan masih bagus, berarti masih memiliki fungsi tata air yang baik. Misal, tersedianya mata air dan sungai yang mengalir sepanjang tahun, tanpa kekeringan maupun banjir,” ujar Hendra.

Melindungi harimau, melindungi sungai

Peristiwa banjir bandang yang melanda Sungai Lematang [Sumatera Selatan] awal 2023, dinilai sejumlah masyarakat Suku Besemah di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, sebagai dampak tidak hormatnya manusia dengan harimau.

“Banyak tempat tinggal si Tue yang dirusak manusia. Ditebang kayunya, dijadikan kebun. Akibatnya beberapa kali si Tue menyerang mereka yang merusak tempat tinggalnya. Tapi, aktivitas tersebut terus berlangsung. Akibatnya, bencana banjir bandang yang membuat kami susah,” kata Saudi [57], warga Kota Pagaralam, pertengahan Mei 2023 lalu.

Sungai Lematang panjangnya sekitar 271 kilometer. Luas DAS-nya sekitar 29.588 hektar, yang berada di Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Muaraenim, dan Kabupaten PALI. Ada puluhan sungai yang bermuara ke Sungai Lematang, misalnya Sungai Lim, Sungai Endikat, dan Sungai Enim.

Beberapa suku hidup di sekitar Sungai Lematang. Selain Suku Besemah, yakni Suku Enim dan Suku Lematang. Suku-suku ini sangat arif dengan mata air dan sungai. Sehingga mereka mengenal hutan larangan.

Mereka juga sangat menghormati harimau sumatera yang biasanya hidup di hutan larangan. Bahkan, mereka tidak memiliki tradisi atau budaya berburu harimau maupun satwa dilindungi lainnya, seperti gajah.

“Kalau kami membunuh atau menangkap harimau itu sama seperti mendatangkan bencana bagi kita [manusia]. Selain kita dimangsa, juga kita akan mengalami berbagai bencana, seperti serangan penyakit, kekeringan, dan banjir. Sungai akan meluap atau kering. Jadi, sejak dahulu kami dilarang memburu dan membunuhnya,” kata Sudirman, Kepala Desa Air Dingin Lama, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, pertengahan Mei 2023.

“Tidak ada manfaatnya kalau berburu harimau. Justru, manusia yang banyak menderita jika membunuh harimau. Selain nyawa, penyakit, juga bencana alam. Itu keyakinan kami yang hidup di hulu Sungai Rawas ini,” kata Parsin.

Tapi, berbagai aktivitas ekstraktif seperti perambahan hutan untuk kayu, perkebunan kopi, karet, sawit, dan penambangan [batubara dan emas], membuat banyak hutan di wilayah DAS Lematang dan Rawas menjadi rusak atau terbuka.

Akibatnya, selain banyak mata air yang hilang, volume air sungai menjadi tidak stabil, juga harimau sumatera kehilangan ruang hidupnya. Akibatnya, mereka turun ke permukiman masyarakat untuk mencari makan. Terjadilah konflik.

“Jadi, jika kita mau melestarikan sungai-sungai di Sumatera, maka kita harus melindungi harimau juga. Harimau sumatera yang menjaga kelestarian hutan,” tegas Hendra.

 

Artikel yang diterbitkan oleh Rahmadi R

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index