ANALISD.com, Jakarta - Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD resmi memberikan rekomendasi ke Presiden Joko Widodo, 14 September lalu. Dari 150 poin rekomendasi, ada delapan reformasi hukum di bidang agraria dan sumber daya alam yang direkomendasikan tim yang bekerja sejak Mei ini.

Abrar Saleng, anggota Kelompok Kerja (Pokja) II yang membahas Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam, menyebut,  urgensi reformasi ini didasari atas keinginan perubahan lebih maju dan belum dirasakannya manfaat sumber daya alam oleh masyarakat.

“Padahal, ada azas hukum yang mengatakan, ketika ada pengelolaan agraria dan sumber daya alam, maka yang pertama harus sejahtera itu adalah orang yang dekat dengan sumber daya alam,” kata akademisi Universitas Hasanuddin itu dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam di Jakarta, medio September lalu.

Delapan rekomendasi tim ini disebut Abrar untuk menyoroti empat hal. Pertama, tidak harmonis atau inkonsistensi regulasi saat ini.

Kedua, ada egosektoral pengelolaan sumber daya alam. “Hingga kami harap tim ini bisa merekomendasikan tu menko juga untuk pengelolaan sumber daya alam hingga tidak ada lagi egosektoral,” kata Abrar.

Ketiga, terkait tata kelola, perlu ada pembagian kewenangan jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Selama ini, sengkarut kewenangan tak jelas ini membuat celah-celah yang bisa dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab. Keempat, lemahnya penegakan hukum.

Dari situlah, kata Abrar, lahir delapan poin rekomendasi reformasi hukum di bidang agraria dan sumber daya alam. Pertama, percepatan penyelesaian pembuatan dan prosedur penggunaan “Satu Peta” sebagai rujukan data utama untuk pencegahan dan penyelesaian konflik serta perencanaan pengelolaan sumber daya alam.

“Nanti kita ada satu data untuk semua, supaya tidak ada ego sektoral.”

Kedua, percepatan pengakuan dan atau pemulihan hak-hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di dalam dan luar kawasan hutan. Termasuk,  wilayah perairan, pesisir serta pulau-pulau kecil serta percepatan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. Soal ini disuarakan Pokja II karena sudah 16 tahun usulan ini tetapi tak kunjung selesai

Dalam laporan mereka, pokja yang dikepalai Guru Besar Kehutanan IPB University, Hariadi Kartodihardjo, ini menilai tidak ada pengakuan hak masyarakat adat membuat mereka hanya memiliki posisi tawar atas penguasaan tanah/wilayah berdasarkan penguasaan fisik (defacto).

Pihak lain, penguasaan tanah/wilayah korporasi bisa secara dejure melalui sertifikat tanah, izin dan lain-lain.

 

Aparat gabungan dihadang jalan yang diblokade warga Rempang, Batam, Jumat 8 September 2023. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

Ketiga, adalah pembetukan Satgas Percepatan Penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam serta penyiapan pengadilan khusus agraria dan sumber daya alam.

Adapun konflik agaria yang diselesaikan antara lain mencakup penguasaan/pemanfaatan tanah antara masyarakat dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

“Biasa sengketa ini karena HGU PTPN sudah berakhir tapi masih tercatat dalam aset sebagai aset BUMN. Hingga terjadi konflik antara masyarakat yang menguasai tanah dengan BUMN,” kata Abrar.

Konflik penguasaan tanah masyarakat dalam kawasan hutan juga perlu diselesaikan satgas. Ada juga konflik penguasan tanah atau wilayah adat, konflik tanah yang diberikan kepada transmigran, serta penyelesaian penguasaan lahan tambang dan tanah ulayat di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Selain itu, poin ketiga juga menyebut, perlu segera penegakan hukum atas kasus kematian, terutama anak-anak, di lubang tambang yang ditelantarkan dan pencegahan kasus serupa terulang ke depan. “Seperti yang terjadi di Kaltim dan Sumsel.”

Keempat, pokja merekomendasikan pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Tanah dan Korupsi Sumber Daya Alam yang bertanggung jawab kepada presiden dengan fungsi kajian, identifikasi kasus dan agenda penyelesaian.

Satgas ini juga untuk menyelamatkan dan mengoptimalkan penerimaan negara dari ekspor mineral dan batubara, termasuk melalui pencabutan izin pertambangan yang bertentangan dengan peraturan. Juga, penghentian tambang ilegal, dan penegakan hukum lain.

Poin ini juga mendesak pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang membuka kembali pintu ekspor pasir laut. Dalam laporan itu, pokja menilai penambangan dan ekspor pasir laut telah menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), sudah lama protes plasma dengan PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), Sejak September lalu, warga sudah aksi beberapa kali. Foto ini dari video aksi warga 21 September lalu. Foto: video warga

Pemanfaatan sedimentasi hasil laut pernah dilarang lewat SK Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan lebih luas seperti pulau-pulau kecil tenggelam, khusus di sekitar daerah terluar.

Selain itu, pembatalan PP ini juga perlu karena batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura belum selesai hingga bisa terpengaruh aktivitas ekspor pasir laut.

Kelima, pokja merekomendasikan peningkatan perlindungan pembela HAM-lingkungan melalui penerbitan perangkat aturan di kepolisian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Keenam, rekomendasi penguatan akuntabilitas kelembagaan dan penerapan peraturan. Hal ini dengan memastikan beberapa hal, seperti, revisi peraturan terkait pertanggungjawaban penggunaan APBN agar mendasarkan capaian kinerja. Termasuk,  memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial, bukan hanya capaian yang bersifat administratif.

“Nanti kita melihat ada dampak lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam itu yang dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya,” kata Abrar.

Lalu, keterbukaan penerapan denda administrasi pada Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja dan PP 24/2021. Juga transparansi kinerja penempatan dan kerjasama polisi dan TNI pada obyek vital nasional, antara lain melalui Keppres 63/2004 tentang Obvitnas. Pembentukan satgas eksekusi putusan pengadilan perdata dan TUN di bidang agraria dan sumber daya alam. Lalu, pembentukan Kementerian Koordinator Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Kemudian,  pemulihan kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencakup seluruh wilayah dan penegakan hukum dan pencabutan izin-izin pertambangan di pulau-pulau kecil.

Ketujuh, pokja meminta peningkatan rasa aman masyarakat di wilayah konflik dan penyelamatan serta pengamanan pulau-pulau kecil serta pulau terluar. Kondisi ini bisa dengan moratorium perizinan pemanfaatan sumber alam maupun evaluasi menyeluruh serta implementasi kajian lingkungan hidup strategis di pulau-pulau kecil dan terluar.

Juga perlu ada audit reklamasi dan dana jaminan reklamasi pasca tambang serta percepatan pemulihan lingkungan lahan bekas tambang yang ditelantarkan. “Kita paham, ada jaminan reklamasi dan jaminan tambang selama ini. Tapi kita tidak tahu perusahaan itu apakah tidak melakukan, siapa yang melakukan dan siapa yang mengambil jaminan itu.”

Kedelapan, pokja merekomendasikan pendekatan khusus pencegahan korupsi dan degradasi sumber daya alam di Papua, terutama pada provinsi baru mekar.

Tim Percepatan Reformasi Hukum juga memiliki pokja reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum, pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta reformasi sektor peraturan perundangan-undangan. Tim ini terdiri dari 34 tokoh akedemisi dan perwakilan masyarakat sipil.

Terlihat pembangunan kompleks Kepresidenan di Ibu Kota Nusantara. Foto: Abdul Jalil

Peta jalan

Sugeng Pramono, Deputi Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam mengatakan, presiden menyambut baik rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum. Secara khusus, presiden meminta tim membuat skala prioritas dan target untuk menentukan mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu.

“Presiden bilang akan pelajari ini dan jadi bahan penyusunan kebijakan. Tapi kita diminta membuat roadmap dan susun tahapan mana yang bisa dikerjakan dalam waktu dekat dan panjang,” kata Sugeng.

Tim percepatan Reformasi Hukum akan lakukan di sisa waktu kerja mereka yang berakhir Desember. “Bukan berarti kerja kami selesai setelah kasih rekomendasi ke presiden. Masih perlu ada pemetaan rekomendasi-rekomendasi ini berdasarkan prioritas.”

Abrar menyebut, prioritas utama dari Pokja II adalah pembentukan satgas pemberantasan mafia tanah dan mafia pertambangan. “Karena sumber daya alam kita ini habis tanpa bekas oleh mereka.”

Target ini, katanya,  sangat mungkin meskipun ada backing aparat penegak hukum terhadap mafia-mafia itu. Kuncinya, Instruksi Presiden untuk menjalankan rekomendasi ini.

“Hingga kementerian dan lembaga terkait enak koordinasi. Kalau di bawah Menkopolhukam hanya beberapa kementerian. Rekomendasi ini baru bisa diimplementasi kalau jadi Inpres.”

Dari delapan poin rekomendasi Pokja II, tak ada poin khusus yang menggambarkan perhatian terhadap konflik agraria dengan proyek-proyek strategis nasional. Padahal, PSN jadi salah satu penyebab konflik agraria.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misal, mencatat lebih 470 letusan konflik akibat infrastruktur selama dua periode Pemerintahan Joko Widodo. Sebagian besar adalah pembangunan PSN.

Jumlah itu, katanya, berpotensi terus bertambah.

Eko Cahyono, sosiolog pedesaan IPB University juga peneliti Sajogyo Institute mengatakan, hanya ada satu PSN disebut dalam rekomendasi Pokja II Tim Percepatan Reformasi Hukum, yaitu IKN. Padahal, katanya, wilayah lain seperti Mandalika, Danau Toba dan Labuan Bajo yang jadi lokasi PSN sarat konflik.

“Wilayah strategis, program strategis nasional lain seperti kawasan strategis pariwisata nasional itu mesti bisa ditafsirkan selaras dengan IKN.”

Meskipun begitu, kata Eko, rekomendasi Pokja II Tim Percepatan Reformasi Hukum ini masih bisa menyasar konflik agraria di PSN.

Pemerintah, katanya, harus serius dan mau menjalankan semua rekomendasi yang diberikan tim.

Kebijakan “satu peta” di dalam poin pertama rekomendasi, misal, bisa dimaknai sebagai bagian dari penyelesaian konflik di PSN.

“Kalau satu peta ini jalan, kebijakan land use, land use planning, semua bisa mulai di sini. Keberadaan konflik-konflik PSN itu kan karena tidak ada satu peta ini,” kata Eko.

Selain itu, Pembentukan Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam juga bisa menghasilkan tafsir khusus terkait PSN. Langkah ini, katanya,  bisa lebih kuat kalau dibarengi pengakuan hak masyarakat adat.

“Kalau ini bisa dikerjakan, semua PSN bisa disasar. Bukan hanya terkait konflik dengan PTPN, juga pnguasaan tanah masyarakat dalam kawasan hutan dan penguasaan tanah masyarakat adat,” katanya.

Pun demikian dengan pembentukan satgas pemberantasan mafia tanah dan korupsi sumber daya alam. Tidak sedikit pengembangan PSN dan kawasan sekitar dengan praktik kotor korupsi dan mafia tanah.

Langkah ini,  juga bisa menjadi ‘panggilan’ bagi KPK. Eko melihat,  penurunan minat KPK mengusut kasus korupsi di sektor ini belakangan.

“Ini bisa jadi kritik juga untuk KPK. Karena mengurusi korupsi di sektor itu menjadi mandat mereka, ternyata diusulkan dalam rekomendasi tim ini.”

Pada poin ketujuh juga bisa memiliki tafsir khusus untuk konflik agraria di PSN. Kalau melihat PSN marak di pulau-pulau kecil, Pulau Obi, Maluku Utara salah satu contoh.

Rekomendasi ini, katanya,  tidak hanya penting dikawal dari aspek politik kebijakan juga perlu ada mandat presiden guna memastikan setiap rekomendasi bisa berjalan hingga selesaikan konflik agraria.

#Hukum

Index

Berita Lainnya

Index