ANALISD.com, Batam - Masyarakat Rempang terus melakukan penolakan atas rencana rekolasi dan  keluarnya peraturan presiden baru soal penanganan dampak sosial dalam penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.  Berbagai kalangan, termasuk masyarakat Rempang menilai, Perpres Nomor 78 Tahun 2023 itu sebagai alat memuluskan proyek Rempang Eco-City. Penolakan pun  warga terus lakukan termasuk saat pergantian tahun baru 31 Desember lalu.

“Apapun aturannya kami tetap menolak upaya relokasi, tidak ada tawar-menawar, masyarakat akan tetap mempertahankan tanah ulayat ini sampai mati,” kata Isaka, warga kampung tua Pasir Panjang.

 ‘Alat’ PSN?

Perpres 78/2023 akhirnya terbit di penghujung masa jabatan Presiden Joko Widodo.  Sepuluh hari setelah perpres ini terbit, BP Batam langsung sosialisasi kepada masyarakat Kota Batam di Swissbel Hotel Harbourbay Batam, 18 Desember lalu. “Perpres ini dasar penting untuk membangun rumah (tempat relokasi) bapak ibu sekalian,” kata M Rudi, Kepala BP Batam juga Walikota Batam saat memberikan sambutan.

Aturan baru ini juga menegaskan BP Batam sudah memiliki kewenangan menangani masalah di Pulau Rempang.

Sebelumnya, dalam aturan Perpres No 62 kewenangan hanya berada di tingkat gubernur, walikota dan bupati. “Karena khusus Batam yang menangani adalah BP Batam. Maka BP Batam masuk di situ untuk menyelesaikan masalah Rempang Eco-City ini,” kata Rudi kepada awak media usai sosialisasi.

Setelah kewenangan ada, BP Batam juga menyampaikan bahwa Tim Terpadu Penyelesaian proyek Rempang sudah dibentuk diisi pejabat BP Batam hingga Pemerintah Kota Batam.

 Berbagai kalangan organisasi merespon kehadiran kebijakan ini. Kalau menurut Anggota Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Edy Kurniawan, kebijakan bukan solusi untuk menyelesaikan masalah konflik agraria antara masyarakat lokal Rempang dengan Badan Pengusahaan (BP Batam).

“Ya solusinya cuma satu, tidak lain, pemerintah harus mengakui tanah ulayat Masyarakat Melayu di Rempang,” katanya.

Kebijakan ini, katanya, keliru karena seolah-olah yang mau ditangani adalah masyarakat terdampak pembangunan di tanah negara.

“Masyarakat Rempang telah menguasai secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu tanah itu,” katanya.

Selain itu, katanya,  perpres ini seakan untuk pembangunan nasional, padahal tidak ada indikator mengenai pembangunan nasional. Pembangunan nasional, kata Edy,  justru menjadi kata yang berbahaya, karena definisi tidak jelas.

“Contoh, di Rempang ini awalnya proyek yang akan dikerjakan swasta dengan kerja sama BP Batam dan PT MEG, tiba-tiba diambil negara dan mengklaim sebagai PSN, apakah ini yang dimaksud pembangunan nasional? katanya.

 

BP Batam mensosialisasikan Pepres 78 di Swissbel Hotel Batam. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

Cabut perpres

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak, pemerintah mencabut aturan segera. Aturan ini dinilai merancang cara pemerintah menghapus hak-hak dasar rakyat atas tanah.

Reforma agraria pun jauh panggang dari api. Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA membeberkan setidaknya ada enam alasan perpres harus dicabut.

Pertama, perpres dibuat seolah humanis dengan kata “menangani dampak sosial masyarakat” padahal,  di dalamnya tertuang tata cara pemerintah menggusur masyarakat dari tanah tempat tinggal, kelahiran dan sumber penghidupan.

Kedua, kebijakan ini memfasilitasi model pembangunan pro-modal besar yang selama ini dijalankan. Perpres merancang sistem pengalokasian tanah yang makin berwatak pro-pemodal melalui mantra-mantra ”demi pembangunan.” Ketimbang berwatak kerakyatan (populis) melalui pembangunan yang berperspektif reforma agraria.

Padahal, katanya, sejak 1960 melalui UU Pokok Agraria para pendiri bangsa sudah sangat revolusioner dan visioner merumuskan fondasi hukum agraria yang kuat dan populis.

UU itu, katanya,  mewajibkan negara mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaan, hingga semua tanah di seluruh wilayah sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik perorangan maupun gotong-royong.

“Alih-alih memperbaiki kelemahan-kelemahan regulasi dan birokrasi yang menghambat penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah, pengakuan hak atas tanah bagi rakyat, justru presiden melahirkan perpres yang makin memadamkan bahkan mengancam kebijakan reforma agraria.”

Ketiga, perpres ini bersifat anti-reforma agraria dan menyeleweng jauh dari prinsip hukum agraria nasional dengan klaim “pemerintah pemilik tanah.”

Dengan prinsip semacam itu, katanya,  sudah barang tentu diskriminasi hak petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin serta kelompok marginal lain akan makin meluas dan parah.

Keempat, selain penguasaan tanah oleh masyarakat tidak diakui, perpres ini merumuskan prasyarat berlapis. Kebijakan ini diskriminatif dan berwatak ’pelit’ kepada rakyat, dengan menyaring siapa saja masyarakat yang berhak mendapatkan santunan.

Kelima, perpres ini produk hukum yang tidak perlu, bentuk penghamburan uang negara, memperparah karut-marut hukum. Juga tumpeng tindih dan inkonsistensi dengan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Keenam, wilayah berlaku perpres ini dirancang secara nasional untuk percepatan proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah dalam skala luas. Meski demikian, katanya,  substansi kebijakan ini juga memuat tiga ”strategy exit” kebutuhan khusus pemerintah untuk melanjutkan eksekusi pembangunan proyek Rempang-Batam.

Tiga strategy exit  itu, katanya, nampak ketika perpres ini mengatur siapa leading sector birokrasi yang akan menjalankan mandat perpres.

 

Warga melintas di spanduk tolak relokasi di Rempang. Foto Yogi Eka Sahptura/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya,  perpres ini memberikan kewenangan kepada gubernur untuk membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan, lalu soal kewenangan perpres ini mengatur sedemikian rupa agar pasal-pasalnya sesuai kebutuhan spesifik eksekusi PSN Rempang.

Perpres ini menyatakan, kerja tim terpadu di bawah gubernur harus berdasarkan rapat yang dikoordinasikan Bidang Perekonomian. Lumrahnya, urusan pengadaan atau penyediaan tanah di bawah yurisdiksi Kementerian ATR/BPN, bukan Kemenko Perekonomian.

Guna memuluskan eksekusi PSN Rempang, kata Dewi, perpres ini juga memberikan pintu pengecualian sebagai strategy exit lain, disebut “pendelegasian kewenangan.”

Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan penanganan dampak sosial kemasyarakatan kepada wali kota, dengan alasan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain.

“Kita ketahui,  Walikota Batam memiliki jabatan rangkap sekaligus sebagai Kepala Badan Pengusahaan Batam yang bertanggung jawab langsung di lapangan untuk pelaksanaan PSN Rempang Eco-City.”

Strategy exit ketiga, katanya, makin nyata kepentingan PSN ini dalam hal penanganan dampak sosial kemasyarakatan di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

Kewenangan gubernur dalam penanganan dampak sosial kemasyarakatan di lokasi itu juga diberikan kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Poin ini, katanya, makin jelas memperlihatkan kepentingan khusus perpres terkait proyek Rempang.

“Mengapa demikian? Sebab, selain Bintan dan Karimun, Batam masuk ke dalam kategori kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.”

Dengan begitu, katanya, perpres ini jadi jalan keluar bagi pemerintah untuk menangani dampak sosial PSN di Batam dengan cara memberikan santunan, sebagai cara halus menggusur warga dari tanahnya.

 

BP Batam mensosialisasikan Pepres 78 di Swissbel Hotel Batam. Foto Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

KPA memandang, terjadi kemunduran drastis kualitas produk-produk hukum agraria di Indonesia yang menyangkut pertanahan, kehutanan, pertambangan, pertanian dan pangan.

Eko Cahyono, Sosiolog Desa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) University, mengatakan, ada tiga catatan penting terkait perpres itu. Pertama, aturan ini masih mengasumsikan pembangunan berwatak pertumbuhan ekonomi yang maha kuasa dan segala-galanya, rakyat boleh digusur dengan santunan.

“Perpres ini hadir atas nama percepatan pembangunan, dengan rujukan Undang-undang Cipta Kerja, semua boleh dilakukan atas nama pembangunan. Pertanyaannya,  pembangunan ini untuk siapa?”

Selama dua periode Joko Widodo, katanya,  belum ada bukti pembangunan merata dan berkeadilan. “Kalau bagi saya pembangunan masih untuk oligarki dan korporasi.”

Selain itu,  tidak ada pembangunan untuk pemerataan atau keadilan dalam perpres itu hingga subjek pembangunan dalam aturan tidak jelas. “Kita bisa lihat selama ini pembangunan untuk korporasi, korporasi sekarang dikuasai oligarki,” katanya.

Kedua, perpres menegaskan negara seolah menjadi pemilik satu-satunya atas tanah. Padahal dalam UU Pokok Agraria, negara bukan memiliki tanah tetapi mengatur atau menguasai.

“Kalau mengatur, rujukan mengatur untuk kemakmuran rakyat kembali kepada UU 195 pasal 33, bukan oligarki,” katanya.

Perpres ini, katanya,  sudah pasti akan digunakan sebagai legitimasi mengambil hak tanah warga untuk diberikan kepada perusahaan.”Padahal hubungan manusia, tanah dan air bersifat komplek dan berlapis, bahkan ada hubungan hubungan spiritual,” katanya.

Apalagi dalam bahasa perpres ini bukan lagi ganti rugi, tetapi santunan. Ganti rugi saja sudah salah, apalagi kalau sekadar santunan kepada warga yang sudah memiliki tanah itu sebelum Indonesia ada.

Prinsipnya,  di negeri manapun, tidak boleh ada pemisahan paksa antara manusia dan tanahnya. Hubungan manusia dengan tanah bersifat abadi.

“Menyerahkan tanah pada mekanisme pasar dengan memposisikan semata komoditas akan menggoncangkan sendi-sendi sosial dan kehidupan di atasnya. Akan melahirkan gerakan tandingan dan wajar rakyat protes,” kata Eko.

Begitu juga di Rempang, katanya, negara tidak bisa memandang hubungan masyarakat Rempang dengan tanah mereka semata secara ekonomistik. Ada cerita dan sejarah panjang antara masyarakat Rempang dengan tanah ulayat mereka. “Masyarakat punya hak duluan dan harus dihormati.”

#Lingkungan Hidup

Index

Berita Lainnya

Index