ANALISD.com, Batam - Masyarakat kembali melakukan aksi penolakan terkait peletakan batu pertama contoh rumah masyarakat yang terdampak dari proyek Rempang Eco-City.  Protes tersebut dilakukan di Simpang Kampung Dapur Enam Pulau Rempang. Lokasi itu merupakan akses masuk menuju Kampung Tanjung Banon, tempat di mana peletakan batu pertama akan dilakukan. 

Aksi ini pun dijaga ketat oleh aparat gabungan yang terdiri dari BP Batam, Kepolisian, TNI dan Ditpam. Masyarakat menolak kegiatan tersebut karena mereka tidak mau direlokasi atau digeser, bahkan mereka menolak adanya Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Pasca berhentinya proses penggusuran warga Rempang pada akhir September 2023, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. 

"Perpres ini menjadi senjata baru bagi BP Batam untuk kembali memaksa warga pindah dari tempat tinggalnya. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Tim Terpadu dan Satgas guna mempercepat  Groundbreaking atau rumah contoh untuk masyarakat yang akan direlokasi ke Kampung Tua Tanjung Banun," kata Boy Sembiring, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau, Pekanbaru, 11 Januari 2024.

Salah satu warga dalam aksi tersebut menyatakan bahwa mereka akan terus mempertahankan rumah dan kampung tua mereka. “Kami tidak mau digeser! Kami masih mempertahankan tanah ulayat kami, tanah nenek moyang kami. Kami tidak minta apa-apa yang penting kami jangan digusur. Kami akan tetap mempertahankan tanah ulayat kami. Itu saja yang kami minta dari BP Batam,” ucap seorang ibu-ibu.

Bukannya mendengar dan mengikuti aspirasi warga, BP Batam malah melakukan penambahan personil aparat. Banyaknya jumlah personil aparat yang datang bahkan lebih banyak dari warga yang melakukan aksi penolakan. Hal ini bisa membangkitkan trauma kekerasan yang pernah dilakukan oleh aparat saat peristiwa tanggal 7 September 2023. 

Selain menghadang warga, aparat gabungan juga melakukan pemblokiran jalan agar masyarakat yang melakukan aksi tidak bisa menuju lokasi peletakan batu pertama. Pihak aparat gabungan bahkan mengawasi dan mengikuti aktivitas warga Tanjung Banun guna memastikan tidak ada dari masyarakat yang mengganggu jalan nya kegiatan tersebut.

Boy Sembiring menyatakan kecewa atas sikap BP Batam yang bersikeras untuk melanjutkan pembangunan lokasi relokasi untuk warga Rempang. 

”Sejak awal masyarakat Rempang telah menolak untuk digusur atau dipindahkan. Bahkan, mengetahui rencana pembangunan Rempang Eco-City tidak memiliki AMDAL, masyarakat juga sepakat untuk menolak proyek tersebut, karena dampak sosial dan lingkungan yang akan mereka rasakan ke depan. Dengan adanya penolakan ini, Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan menghentikan proyek tersebut, bukannya malah ugal-ugalan dengan menerbitkan Perpres 78 Tahun 2023 untuk memuluskan rencana penggusuran demi investasi,” tutur Boy Sembiring.

Secara nasional, WALHI juga telah mengeluarkan sikap penolakan terhadap Perpres 78 Tahun 2023. Alasannya, tidak adanya keberpihakan Negara kepada warganya, dengan menyederhanakan persoalan relokasi hanya seputar ganti rugi. Perpres ini menunjukkan Negara makin abai terhadap pengakuan dan perlindungan hak atas tanah yang dikuasai rakyat secara turun temurun. 

Seharusnya Negara memberikan jaminan perlindungan kepada masyarakat yang menguasai dan mengelola tanah. Perpres ini bahkan tidak hanya digunakan untuk menjalankan PSN, melainkan juga membuka ruang untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN. Karena itu, WALHI mendesak agar Presiden segera mencabut Perpres 78 Tahun 2023 demi menghindari konflik sosial dan ekologis skala besar di berbagai tempat di Indonesia.

#Lingkungan Hidup

Index

Berita Lainnya

Index