ANALISD.com, Pekanbaru - Muhammad Syahrir,  mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Riau, vonis hukum 12 tahun penjara di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Majelis Hakim diketuai Salomo Ginting menyebut Syahrir terbukti menerima suap dan mengalihkan uang hasil kejahatan dalam bentuk aset dan rekening.

“Memutuskan terdakwa Muhammad Syahrir sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kumulatif kesatu alternatif pertama, dalam dakwaan kumulatif kedua, dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kumulatif ketiga,” ucap Salomo Ginting, Ketua Majelis Hakim, saat baca putusan, akhir Agustus lalu.

Syahrir terbukti melanggar dakwaan kesatu pertama Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan kedua Pasal 12 huruf B Jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kurupsi Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. Serta dakwaan ketiga Pasal 3 UU Nomor 8/2010 soal Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Jeffri Sianturi, Koordinator Senarai, mengapresiasi Majelis Hakim karena memberikan hukuman berat pada Syahrir.

“Kayak sebelumnya Sudarso itu cuma dua tahun saja. Ini tiga kali lipatnya,” katanya kepada Mongabay.

Kasus Syharir bermula dari pengembangan korupsi yang melibatkan Sudarso, General Manajer PT Adimulia Agrolestari (AA), dan Andi Putra, Bupati Kuantan Sengingi yang terjerat operasi tangkap tangan KPK Oktober lalu.

Dari dua persidangan Sudarso, dia mengaku memberikan duit SG$112.000 pada Syahrir untuk mempermudah pengurusan hak guna usaha AA, itu pun baru sebagian dari janji Rp3,5 miliar.

Awalnya, HGU perusahaan itu di Kampar seluas 3.952 hektar. Terbitnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 118/2019 tentang batas daerah antara Kampar dengan Kuantan Singingi membuat HGU tertanggal 8 Agustus 1994 ini terbagi jadi di dua wilayah itu.

Perubahan batas wilayah ini,  membuat AA mengajukan perubahan HGU 00008 di Kuantan Singingi jadi izin HGU Nomor 1009 seluas 874,3 hektar, 10010 seluas 105,6 hektar, dan 10011 seluas 256,1 hektar. Ketiga HGU itu berada di Desa Sukamaju, Kecamatan Singingi Hilir dan terbit pada 14 Oktober 2020.

Jangka waktu dari HGU ini masih mengikuti HGU lama, sampai 2024. Hal inilah yang jadi cikal bakal korupsi Syahrir. Pemegang saham AA, Frank Wijaya, lantas memerintahkan Sudarso untuk perpanjangan HGU.

Karena luas HGU yang akan diperpanjang lebih 250 hektar, maka perpanjangan HGU jadi kewenangan KATR/BPN. Berkas perpanjangan Sudarso masukkan ke Kantor Pertanahan Kuantan Singingi pun diteruskan ke Kantor BPN Riau yang dikepalai Syahrir.

Risna Virgianti,  Kepala Kantor Pertanahan Kuantan Singingi menjadi pihak yang memperkenalkan Sudarso dengan Syahrir. Ketiganya bertemu di Rumah Dinas Syahrir di Pekanbaru pada 4 Agustus 2021 untuk membicarakan perpanjangan HGU perusahaan AA.

Dalam pertemuan itu, Sudarso menyampaikan keinginan agar dibantu Syahrir. Syahrir pun merespons dengan meminta Sudarso memberikan duit Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura.

Selanjutnya, Sudarso pun memberitahu permintaan ini pada Frank Wijaya. Tidak keberatan, Frank Wijaya menyetujui permintaan Syahrir ini.

Dalam surat dakwaan disebutkan penyerahan SG$112.000 dilakukan Sudarso di Rumah Dinas Syahrir pada 2 September 2021. Setelah menerima uang, Syahrir selaku Kakanwil BPN Riau dan Ketua Panitia Pemeriksaan Tanah B Riau rapat koordinasi di Hotel Prime Park Pekanbaru pada 3 September 2021. Di sana, membahas kelengkapan dokumen pengajuan perpanjangan HGU perusahaan itu.

Dari rapat itu pun diketahui ada kekurangan, yaitu,  tidak ada kebun plasma yang dibangun di Kuantan Singingi. Seluruh kebun plasma AA berada di Kampar.

Syahrir pun ‘mengakali’ kondisi ini dengan mengarahkan AA meminta surat rekomendasi persetujuan dari Andi Putra, Bupati Kuantan Singingi agar PT tidak perlu lagi mkebun plasma di kabupaten itu.

Ada aturan soal plasma, dalam Pasal 40 ayat (1) huruf K Permen ATR/Kepala BPN Nomor 7/2017 soal Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU. Juga Pasal 5 huruf b ayat 2 dalam SE Menteri ATR/Kepala BPN tentang pelaksanaan kewajiban perusahaan dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

Kasus kedua, mengutip Senarai, selama Syahrir menjabat Kepala Kanwil BPN Maluku Utara menerima pengurusan hak guna bangunan dari PT PLN Persero, PT Jababeka Morotai, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park sebanyak 55 bidang.

Syahrir juga disebut menerima Rp76,8 juta dari pegawai ASN di lingkup BPN Maluku Utara dan uang Rp4,9 miliar yang diterima berkaitan dengan jabatannya.

Selama menjabat Kakanwil BPN Riau, Syahrir disebut banyak mengurus tanah terlantar, permohonan HGU baru maupun perpanjangan yang lama. Tercatat, ada 38 pengajuan dari perusahaan dan tiga dari perorangan.

Sumber: Senarai

Masih dalam dakwaan itu menyebutkan, selama menjabat Kepala BPN Maluku Utara dan Riau, Syahrir menerima duit Rp21,1 miliar. Dalam putusan, seluruhnya dinyatakan hasil gratifikasi.

Dakwaan yang lain berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, terlihat lewat pembelian sejumlah aset dengan uang hasil korupsi.  Antara lain, lima bidang tanah di Palembang, satu ruko di Palembang, tiga bidang tanah di Ogan Komering Ulu Timur,  sebidang tanah di Kayu Agung, pembangunan kontrakan, serta pembelian sejumlah mobil.

Syahrir pun disebut menempatkan duit hasil tindak pidana di rekning BCA dan BNI milik Eva Rusnanti, istrinya,  serta di rekening di Bank Mandiri, Panin dan BNI miliknya.

Hakim berkeyakinan Syahrir berupaya mengaburkan hasil gratifikasi dengan menempatkan uang hasil kejahatan di rekening lain milik keponakan dan adik iparnya.

Syahrir juga diyakini melakukan pengalihan harta nama kepemilikan dengan nama anak, menantu dan adiknya. Penukaran mata uang asing yang dia miliki juga disamarkan dengan menyuruh anaknya dan menyebut itu dari hasil usaha jual beli mobil, tabungan dan usaha catering.

Meskipun demikian, dari konstruksi kasus yang selama ini Senarai pantau, Jeffri menilai,  harus ada pengembangan lebih jauh. Pasalnya, ada ratusan perusahaan sawit di Riau yang tengah mengajukan proses perpanjangan HGU mereka pada tahun 2024, baik yang sudah maupun belum menjalankan kewajiban plasma mereka.

Kalau AA yang tidak memiliki plasma mendapat perpanjangan lewat tangan Syahrir, katanya, bukan tidak mungkin ada kasus serupa. Dia desak, KPK dan KATR/BPN harus bisa mengendusnya.

“Banyak (perusahaan) yang belum berplasma, tapi mereka ada perpanjangan pada 2024 dan 2025. KATR/BPN harus mengawasi prosesnya. Jangan sampai mereka kasih perpanjangan tapi nyatanya berkonflik di lapangan.”

 

#Hukum

Index

Berita Lainnya

Index