ANALISD.com - Menjaga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bukan hanya tugas yang harus diemban Pemerintah Indonesia saja. Namun juga, menjadi tugas bagi semua kalangan, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.

Pentingnya menjaga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, karena kawasan tersebut berkontribusi besar terhadap perlindungan kawasan dan juga berperan sebagai benteng ketahanan pangan bagi warga lokal.

Lebih dari itu, ekosistem pesisir menjadi solusi alam yang sangat praktis namun penuh dengan manfaat. Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi M Firman Hidayat saat berada di Bali, awal pekan ini.

Pria tersebut ada di pulau Dewata, untuk menghadiri kegiatan besar bertajuk “The 4th Workshop of Blue Carbon Hub Think Tank” yang digelar secara bersama oleh Kemenko Marves dan Asosiasi Negara-Negara Pesisir Samudra Hindia atau Indian Ocean Rim Association (IORA).

Tentang keberadaan ekosistem pesisir, dia menyebut kalau itu menjadi bagian dari solusi adaptasi berbasis alam, karena ada ekosistem karbon biru (EKB) yang berperan besar untuk menjaga wilayah pesisir dari bencana alam dan sekaligus menyerap karbon dioksida (CO2).

Firman mengatakan, besarnya peran dari EKB diakui oleh Bank Dunia yang menilai bahwa ekosistem tersebut sangat baik bagi bumi dan masyarakat. Hal itu lantaran karena EKB menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir dan sekaligus menjadi sumber ketahanan pangan.

“EKB ini menyediakan makanan penting bagi manusia, karena ada keanekaragaman hayati laut yang ada di sana,” ungkap dia.

 

Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko Marves Firman Hidayat saat acara “The 4th Workshop of Blue Carbon Hub Think Thank” di Bali, awal pekan ini. Foto : Kemenko Marves

Bank Dunia menyebutkan, EKB ikut berperan untuk menjaga industri perikanan dan pariwisata pesisir yang sangat efektif di seluruh dunia. Total, pariwisata pesisir diperkirakan bernilai lebih dari USD8 triliun setiap tahunnya. Sementara, industri makanan laut sudah bernilai lebih dari USD150 miliar per tahun.

Selain berperan pada industri perikanan dan pariwisata bahari, EKB juga mengemban peran sangat penting dalam mitigasi bencana alam yang terjadi di laut. Saat badai sedang terjadi di laut, EKB menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengurangi gelombang air laut hingga mencegah masuk ke pesisir.

“Sehingga menghasilkan penghematan ekonomi yang besar yang diperkirakan mencapai miliaran dolar AS,” jelasnya.

Peran yang sangat besar itu, membuat EKB mampu menjadi pelindung ekosistem dan memulihkannya saat mengalami degradasi. Itu artinya, EKB sudah mampu melakukan mitigasi bencana dan iklim, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang secara ekonomi sangat bergantung pada ekosistem tersebut.

Sebagai solusi berbasis alam, ekosistem pesisir bekerja dengan cara memanfaatkan kekuatan organisme hidup untuk menangkap karbon dari atmosfer dan kemudian menyimpannya. Kemampuan ini dimiliki pada hutan bakau, lamun, dan rawa asin.

Kemampuan unik yang dimiliki ekosistem pesisir, diharapkan bisa mendorong banyak negara di dunia untuk melindungi dan memanfaatkannya dengan maksimal. Terlebih, karena kawasan pesisir di sekitar Samudera Hindia diketahui memiliki 60 persen potensi solusi berbasis alam.

“Itu menjadikannya kandidat ideal untuk meningkatkan inisiatif ini,” ucap dia.

 

Wisatawan menikmati berkeliling di Gili Sulat, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Pulau yang terbentuk oleh hutan mangrove ini menjadi destinasi wisata. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Firman, melaksanakan perlindungan dan perluasan sumber daya yang tak ternilai itu, tak hanya mendorong pembangunan berkelanjutan. Lebih dari itu, EKB akan membantu setiap negara IORA untuk mewujudkan target dekarbonisasi mereka.

Atas dasar pertimbangan itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berani memperkirakan bahwa dari setiap USD1 yang dikucurkan untuk kegiatan restorasi, konservasi, dan adaptasi ekosistem pesisir, itu akan menghasilkan nilai ekonomi sekitar USD3 – USD75.

Selain itu, lebih khusus jika ada perusahaan yang memanfaatkan SDA dan jasa ekosistem di pesisir dengan efektif dan efisien, maka mereka bisa melakukan optimalisasi operasional. Sekaligus, dalam waktu yang sama juga bisa mengurangi jejak karbon.

“Itu berarti perusahaan sudah bisa menghemat uang, dan berkontribusi dalam jangka panjang terhadap keberlanjutan ekonomi biru,” jelas dia.

Ia menerangkan lebih detail, tiga ekosistem di pesisir yang disebutkan di atas, yaitu hutan bakau, padang lamun, dan rawa pasang surut, tidak lain adalah komponen integral dari sistem penyimpanan karbon di bumi.

Hutan bakau secara khusus, memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dengan perbandingan empat hingga enam kali lebih besar dibandingkan kemampuan sama yang dimiliki pada hutan tropis di daratan.

“Padang lamun dan rawa pasang surut juga berperan penting dalam menyerap karbon, sehingga berkontribusi terhadap keseimbangan karbon global,” tegas dia.

 

Seorang Pemuda dari Dusun Tanah Merah tengah mencari kepiting di hutan mangrove sekitar Pesisir Timur Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Besarnya peran ekosistem pesisir mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengembangkannya sebagai bagian inti dari solusi adaptasi berbasis alam. Namun, untuk menuju pemanfaatan yang optimal, akan ada tantangan dan hambatan yang harus bisa dilewati.

Untuk itu, Firman menyebut kalau saat ini Pemerintah tengah berupaya mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin dan menyatukannya sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan pengembangan EKB.

Selain itu, agar EKB bisa berkembang lebih jauh, Pemerintah juga sedang mencari cara bagaimana menumbuhkan inovasi agar pendanaan bisa berjalan baik sebanyak yang diperlukan. Karenanya, ada beragam tema yang harus bisa dipahami banyak pihak, agar EKB diyakini bisa menjadi solusi bersama.

“Upaya ini menjanjikan masa depan yang lebih berketahanan dan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir,” pungkasnya.

Lambat dan Cepat

Sebelumnya, dia juga pernah mengatakan kalau hutan bakau dan padang lamun sangat bagus untuk menjaga wilayah pesisir. Hanya sayang, sampai sekarang pengembangan ekosistem padang lamun tidak secepat ekosistem bakau.

Padahal, luasan padang lamun di Indonesia hanya kalah dari Australia yang dikenal sebagai pemilik padang lamun terluas di dunia. Ekosistem tersebut juga menjadi tempat berlindung dan mencari makan bagi banyak biota laut dan ikan.

“Juga, mendukung kegiatan perikanan komersial dan keanekaragaman hayati, karbon biru, dan meningkatkan kualitas air di sekitarnya,” tutur Firman.

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Dengan kemampuan menyerap karbon dan menyimpannya di bawah air laut, hutan bakau dan padang lamun menyimpan potensi yang besar. Saat ini, potensi karbon biru di Indonesia mencapai 3,4 giga ton atau sekitar 17 persen dari karbon biru di dunia.

Laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan luasan ekosistem bakau di Indonesia menjadi yang terluas di dunia dengan 3.364.080 hektar. Sementara, untuk luasan padang lamun saat ini mencapai 293.464 ha menjadi kedua terluas di dunia setelah padang lamun di Australia.

Baik mangrove dan padang lamun, luasannya sudah terverifikasi masing-masing oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Karenanya, kedua ekosistem tersebut diakui bisa berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim.

Beberapa waktu lalu, Peneliti Biogeokimia Laut BRIN A’an Johan Wahyudi menyebut kalau padang lamun seluas 293.464 ha di Indonesia memiliki kemampuan menyerap CO2 hingga 1,9 – 5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun.

Seperti halnya bakau, kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan. Dalam setiap hektare padang lamun, kemampuan menyerap karbon diketahui bisa mencapai 6,59 ton per tahun.

“Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di darat,” ungkapnya kepada Mongabay.

 

Seekor penyu di perairan padang lamun yang terdapat sampah sarung tangan plastik. Foto : shutterstock

 

Dengan fakta tersebut, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77 persen lebih banyak dari vegetasi yang ada di darat seperti hutan. Namun, jika ingin terjadi penyerapan karbon dengan signifikan, tugas itu tidak boleh hanya dibebankan kepada ekosistem di pesisir.

Namun juga, harus tetap dipertahankan dengan yang ada di kawasan darat seperti hutan. Itu berarti, kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan. Pasalnya, vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50 persen penimbunan karbon di sedimen.

A’an menerangkan, secara keseluruhan potensi luasan padang lamun di seluruh Indonesia mencapai 875.967 ha. Hanya, sampai saat ini sudah tervalidasi dan terverifikasi baru seluas 293.464 ha saja.

Dengan luasan padang lamun yang ada sekarang, terdapat cadangan penyimpanan karbon sebesar 0,94 ton per ha. Sementara, seperti disebutkan di atas, kemampuan menyerap karbon pada setiap hektare padang lamun, mencapai 6,59 ton per tahun.

Secara umum, padang lamun yang memiliki kemampuan untuk menyerap karbon, masih didominasi oleh dua jenis lamun, yakni Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Kedua jenis lamun tersebut menjadi tumpuan karena memiliki nilai cadangan karbon yang besar.

Cadangan karbon pada lamun itu tersimpan pada substrat yang ada di bawah permukaan pasir laut dan menyatu dengan akar lamun. Cadangan tersebut, mampu bertahan dalam kurun waktu lama jika kawasan pesisir tidak mengalami kerusakan karena berbagai hal.

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Peneliti Padang Lamun BRIN Nurul Dhewani Mirah Sjafrie menambahkan, dari semua luasan padang lamun yang sudah tervalidasi oleh BRIN, tercatat hanya 15,35 persen saja yang kondisinya bagus atau sehat, seluas 53,8 persen dinyatakan kurang sehat, dan 30,77 persen dinyatakan miskin.

Padahal, jika merujuk Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.200/2004, padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan minimal 60 persen. Sementara, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

Menurut hemat dia, mengelola hutan bakau dan padang lamun tak cukup dengan kebijakan dan komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia saja. Lebih dari itu, perlu dukungan dari para pihak yang memiliki kepedulian agar kedua ekosistem pesisir itu bisa tetap terjaga dan bermanfaat.

Pada kesempatan berbeda di Jakarta, awal pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan juga berkampanye tentang besarnya potensi Indonesia untuk menyimpan karbon secara permanen. Kemampuan tersebut bisa diwujudkan dengan bantuan teknologi bernama carbon capture storage (CCS).

Agar potensi itu bisa berkembang, pengembangan pusat CCS saat ini sedang dikaji untuk dibangun di Indonesia. Sebabnya, karena negara ini memiliki potensi sangat besar yang berasal sumber daya di lokasi penyimpanan CO2 dan kawasan industri.

“Kami yakin bahwa upaya kolektif kami untuk mendefinisikan kerangka peraturan dapat memberikan pesan yang jelas, Indonesia akan menjadi pionir penerapan CCS di tahun-tahun berikutnya,” pungkasnya.

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index