Indonesia Berdaulat di Laut pada 2045?

Indonesia Berdaulat di Laut pada 2045?
Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

ANALISD.com - Pada 2045 nanti saat Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-100, diharapkan visi menjadi Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan sudah bisa diwujudkan. Visi tersebut menjadi bagian dari upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Dengan menjadi Indonesia Emas, maka pada 2045 nanti Indonesia diharapkan bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap (MIT). Kondisi tersebut terjadi jika suatu negara sudah masuk kelompok negara berpenghasilan menengah, namun susah untuk masuk ke kelompok negara maju.

Salah satu bagian yang dinilai bisa membawa Indonesia segera keluar dari MIT dan menjadi negara maju pada 2045, adalah sektor kelautan dan perikanan. Itu ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2025-2045.

Dokumen RPJPN periode 2025-2045 tersebut diluncurkan pada 15 Juni 2023 oleh Presiden Joko Widodo. Saat itu, Presiden mengatakan kalau untuk mewujudkan Visi 2045 dibutuhkan, “Smart execusion. Dan dibutuhkan smart leadership, oleh strong leadership.”

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Yanti menyebut, Indonesia harus bisa melewati sejumlah tantangan jika ingin sukses pada 2045 nanti.

Tantangan yang dimaksud, salah satunya adalah dari sektor kelautan dan perikanan yang sampai saat ini belum bisa dipecahkan. Meskipun, pada kenyataannya potensi dari sektor tersebut memang sangatlah besar dan sudah diakui oleh dunia secara luas.

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Ia menyebutkan, dari hasil studi yang dilakukan oleh Bappenas, ada tiga tantangan dalam pengelolaan potensi laut yang belum dilakukan secara optimal. Pertama, adalah belum optimalnya pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan Negara RI (WPP-NRI) dan perikanan budi daya.

Kedua, tantangan untuk mengembangkan diversifikasi industri yang memanfaatkan sumber daya laut. Ketiga, tantangannya adalah tata kelola dan regulasi pemanfaatan ruang laut yang juga dinilai masih belum optimal sampai saat ini.

Dia menilai, saat ini sudah terjadi penurunan daya tampung lingkungan laut diakibatkan oleh aktivitas yang tidak berkelanjutan dan meningkatnya persaingan terhadap ruang laut. Selain itu, seiring meningkatnya aktivitas manusia dan perubahan iklim, daya dukung ekosistem laut juga mengalami kerentanan.

Sri Yanti mengungkapkan, melihat perkembangan secara global saat ini dan yang akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan, adalah setiap negara di dunia akan fokus menggunakan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki untuk modal hilirisasi dan peningkatan nilai tambah.

“Sehingga sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar pada sektor laut perlu melindungi dengan berbagai aturan dan tata kelola yang baik,” kata dia saat mengisi Seminar Nasional “Mempertegas Visi Maritim, Penyelamatan Pesisir, Laut dan Pulau Kecil Indonesia” yang digelar akhir pekan lalu di Jakarta.

Analisis tersebut membuat Bappenas sudah menyiapkan langkah strategis sejak 2020 atau saat pandemi COVID-19 mulai berlangsung. Saat ini, kelanjutan dari proses tersebut ada di tahapan politik di DPR/MPR RI dan diharapkan bisa segera menjadi sah Undang-Undang (UU).

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Agar sektor kelautan dan perikanan bisa memberikan kontribusi maksimal dan ikut mendorong Visi 2045, RPJPN 2025-2045 menyiapkan tiga arah kebijakan pembangunan kelautan. Ketiganya adalah transformasi ekonomi, ketahanan ekologi, dan ketahanan sosial budaya.

“Kita harus memposisikan laut sebagai halaman terdepan keseluruhan Nusantara. Kekayaan yang kita olah harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat,” terangnya.

Adapun, arah kebijakan pembangunan kelautan dilakukan dengan basis wilayah masing-masing dengan merujuk kepada enam pulau dan kepulauan besar. Keenamnya, adalah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

“Perlu optimalisasi sektor pembangunan energi terbarukan, bioteknologi dan bioekonomi, penelitian dan pendidikan, manajemen lingkungan dan SDA,” tambahnya.

Maritim Berdaulat

Pada kegiatan yang digelar disela-sela Pertemuan Tahunan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) 2023 itu, Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Muh Rasman Manafi juga memberikan analisisnya.

Menurutnya, untuk mewujudkan Visi Indonesia 2045 sebagai negara maritim yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan, ada enam visi yang harus bisa dikejar. Di antaranya, pemerataan pembangunan; serta perairan yang bersih, sehat dan produktif;

Kemudian, visi selanjutnya adalah peningkatan produksi dan nilai tambah barang dan jasa SDA; masyarakat maritim yang kompetitif; tata kelola yang baik, dan kedaulatan maritim dalam arti luas secara efektif.

“Untuk mencapai target pertumbuhan yang tinggi inklusif dan berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan ekonomi konvensional, hijau, dan biru dalam pembangunan jangka panjang ke depan,” terangnya.

 

Buruh nelayan saat melakukan bongkar ikan di PPN Brondong. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia.

 

Rinciannya, ekonomi konvensional dilakukan dengan melanjutkan hilirisasi industri, meningkatkan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan digitalisasi, menggerakkan ekonomi rakyat, serta pengembangan SDM.

Lalu, ekonomi hijau dilakukan melalui dekarbonisasi dan transisi energi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Kemudian, ekonomi biru dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata pencaharian dan pekerjaan dengan menjaga ekosistem laut.

“Saat ini kontribusi sektor maritim sangat rendah. Kalau kita mau mewujudkan negara maritim, harusnya kontribusinya lebih dari 50 persen dari sektor maritim, namun (kenyataannya) masih tujuh persen,” paparnya.

Perlunya memaksimalkan semua potensi yang ada pada sektor kelautan dan perikanan, juga diakui Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Suherman. Di antara yang saat ini sedang dikembangkan hingga maksimal, adalah pengelolaan sumber daya ikan (SDI), ekonomi, dan daya saing produk.

Ketiga tantangan tersebut kini sudah diatur secara resmi oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Regulasi tersebut diyakini akan memicu pemerataan pembangunan dengan anggaran yang disiapkan oleh swasta, atau melalui Pemerintah.

“Banyak kapal tapi sebagian besar masih belum banyak yang mendapatkan ikan, konflik wilayah tangkap. Dengan peraturan ini (PP PIT), badan usaha nelayan sudah memiliki kuota,” ujarnya.

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Selain menjadi jawaban atas sejumlah persoalan pada subsektor perikanan tangkap, PP No.11/2023 juga disebut menjadi bentuk keberpihakan Pemerintah kepada nelayan kecil dan tradisional. Klaim tersebut menjamin nelayan untuk bisa berdiri di kaki sendiri, di tengah persaingan dengan pelaku usaha besar.

Ia menyebut kalau kebijakan PIT akan dimulai operasionalnya pada awal 2024 mendatang. Saat ini, KKP sedang melaksanakan transformasi kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) praproduksi ke pascaproduksi.

“Maksimal tahun ini, praproduksi beroperasi dan kemudian dilanjutkan secara bertahap dengan pascaproduksi melalui izin-izin operasional lanjutan kapal eksisting dan baru,” ucap Agus.

Kepala Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University Yonvitner pada momen yang sama menjabarkan bahwa diperlukan optimalisasi sistem insentif untuk peningkatan produktivitas kelautan dan perikanan yang berkualitas.

Katanya, Pemerintah menyiapkan regulasi tetapi perangkatnya tidak terkonsolidasi. Pada 2045 nanti sektor kelautan harus bisa kreatif, tangguh, kompetitif, dan berkelanjutan dengan laut yang sehat dan berkeadilan.

 

Pertemuan Tahunan Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (KTI) 2023 yang membahas tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil dalam Visi Indonesia Emas 2045. Foto : Jaring Nusa

 

Terakhir, mantan Dirjen Perikanan Tangkap KKP yang kini menjadi CEO Ocean Solutions Indonesia (OSI) Zulficar Mochtar memaparkan analisisnya tentang tata kelola perikanan di Indonesia. Ia menyebut kalau data dan informasi yang belum optimal masih menjadi kelemahan di Indonesia.

“Ada banyak versi data. Data dan informasi perikanan jauh dari memadai sehingga sulit dijadikan basis kebijakan strategis,” ujarnya.

Lalu, kelemahan berikutnya adalah masih adanya kendala komunikasi dan kepercayaan antar para pihak yang melaksanakan praktik perikanan. Juga, persoalan infrastruktur, sistem rantai dingin, kapasitas, dan tata kelola pekerja yang tidak memadai juga menjadi persoalan yang tak kalah peliknya.

“Kita punya banyak PR, kita perlu konsolidasi gerakan di tingkat tapak,” tegasnya.

 

Masyarakat Pesisir

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin yang juga anggota Jaring Nusa menjelaskan bahwa RPJPN 2025-2045 wajib memasukkan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal tersebut memandatkan Negara menguasai sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat pesisir. Untuk itu, dia mendesak Pemerintah untuk melakukan sejumlah hal dalam penyusunan RPJPN 2025-2045.

Pertama, memastikan pembangunan nasional tidak menempatkan laut sebagai ruang pertarungan antara yang kuat dengan yang lemah (mare liberum); kedua, menghindari penyusunan rencana pembangunan yang bias teknokratisme, di mana pengetahuan lokal dan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pesisir tidak ditempatkan sebagai bagian penting dalam RPJPN 2025-2045.

Ketiga, memastikan undang-undang keadilan iklim sebagai prioritas utama dalam RPJPN sebagai kerangka regulasi utama sekaligus mencabut beragam aturan yang akan melanggengkan kerusakan, seperti UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, dan UU No.3/2020 tentang Perubahan atas UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Secara keseluruhan, Jaring Nusa menyoroti Visi Indonesia Emas 2025-2045 ke dalam lima isu pokok yang penting dilakukan Pemerintah. Di antaranya, (1) tentang perubahan iklim; (2) kedaulatan pangan dan ekonomi lokal; (3) konservasi pesisir dan perikanan berkelanjutan; (4) penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir; serta (5) pengelolaan ruang laut dan industri ekstraktif.

Rinciannya, terkait isu perubahan iklim:

  1. Memastikan dan mempersiapkan lumbung pangan yang berbasis produsen skala kecil di pesisir dan pulau kecil, saat terjadi ancaman bencana iklim;
  2. Memastikan sumber daya alam, terutama di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, dapat diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat di pesisir pulau kecil;
  3. Memastikan ketersediaan pasar dan rantai pasok pangan terjangkau oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil;
  4. Mendesak Pemerintah melindungi berbagai sumber ketersediaan bahan pokok di wilayah pesisir berbasis pangan lokal non-beras seperti sagu, dan lain sebagainya; dan
  5. Diversifikasi produk pangan dengan mendukung pangan lokal menjadi produk untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat lokal.

Isu kedua, kedaulatan pangan dan ekonomi lokal:

  1. Pelibatan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemanfaatan wilayahnya;
  2. Mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah untuk tidak hanya mengejar target angka luasan konservasi, tetapi mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang efektif untuk melindungi ekosistem serta meningkatkan ekonomi masyarakat;
  3. Penentuan kawasan konservasi harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang telah disepakati; dan
  4. Mendesak tata kelola perikanan skala kecil yang berkelanjutan berkeadilan dan berkearifan lokal.

 

Seorang nelayang sedang memperbaiki jaring ikan. Foto : shutterstock

 

Isu ketiga, konservasi pesisir dan perikanan berkelanjutan:

  1. Mengakui dan melindungi hak serta akses terhadap wilayah kelola laut oleh masyarakat adat, tradisional dan lokal;
  2. Melibatkan masyarakat adat, tradisional dan nelayan kecil untuk terlibat dalam perumusan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang laut; dan
  3. Mengakui dan melindungi hak wilayah kelola desa, masyarakat lokal, tradisional dan masyarakat adat di pesisir, laut serta pulau kecil.

Isu keempat, penataan ruang laut dan rencana zonasi pesisir:

  1. Kebijakan perlindungan terhadap wilayah pesisir laut dan pulau kecil menghormati, mengadopsi, mengakui, kearifan lokal di wilayah masing-masing;
  2. Memastikan keikutsertaan masyarakat pesisir laut dan pulau kecil dalam pengambilan kebijakan mengatasi dampak perubahan iklim. Seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW), RPJPN hingga ke perencanaan perlindungan desa;
  3. Mengevaluasi dan menghentikan proyek-proyek yang membebani pesisir, laut, dan pulau kecil;
  4. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak akan terwujud tanpa ada koreksi dan menghentikan industri ekstraktif yang terbukti memperparah pesisir, laut dan pulau kecil;
  5. Melakukan evaluasi dan membatalkan peraturan perundang-undangan yang memperparah daya dukung lingkungan UUCK, Minerba, PIT, Sedimentasi Laut;
  6. Menghentikan berbagai upaya dalam bentuk hilirisasi mengganti dengan ekonomi lokal berkeadilan dan berkelanjutan; dan
  7. Mempercepat lahirnya UU Keadilan Iklim.

Isu kelima, pengelolaan ruang laut dan industri ekstraktif:

  1. Menyerukan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI mendatang untuk menghentikan penerbitan izin baru, meninjau dan mencabut izin-izin pertambangan di pesisir, laut, dan pulau kecil, termasuk pulau izin perkebunan skala besar di wilayah kepulauan;
  2. Menghentikan dan menertibkan penangkapan ikan skala besar; dan
  3. Memulihkan, memberdayakan, menguatkan livelihood masyarakat, pesisir, laut, dan pulau kecil.

 

Artikel ini sudah terbit di mangobay, diterbitkan oleh Jay Fajar

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index