ANALISD.com - Jaminan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan masih menjadi sesuatu yang diidamkan oleh para pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP). Impian itu terus muncul, karena AKP masih terus mengalami beragam persoalan saat bekerja di atas kapal perikanan berbendera asing.

Salah satu faktor kenapa perlindungan penuh belum juga berjalan, karena Indonesia sampai saat masih belum melaksanakan ratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. ILO mengesahkan konvensi tersebut pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.

Greenpeace Indonesia kemudian menerbitkan desakan ratifikasi yang harus dilaksanakan Pemerintah Indonesia. Dua pihak yang paling berwenang untuk melaksanakan langkah tersebut, adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Kedua lembaga negara itu ditunjuk, karena mereka sudah menerima mandat dari Negara untuk melaksanakan tata kelola kelautan dan perikanan, serta perlindungan pekerja perikanan, baik lokal dan migran Indonesia.

Peran K-188 dinilai sangat besar untuk memberikan perlindungan ketenagakerjaan selama ini kosong pada bidang perikanan di Indonesia. Namun, sejauh ini aturan tersebut masih dikecualikan dalam konvensi ketenagakerjaan atau maritime labour convention (MLC) 2006.

 

Sejumlah awak kapal perikanan (AKP) dari Indonesia  selepas bekerja di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Bersama Greenpeace Indonesia, ada sejumlah individu yang menjadi perwakilan masyarakat sipil dengan latar beragam ikut bergabung menyuarakan desakan ratifikasi. Sebut saja, dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, manning agency, dan akademisi.

Semua perwakilan itu kemudian menamakan dirinya Tim 9. Masing-masing individu sendiri berasal institusi atau organisasi yang sudah ada saat ini. Misalnya, Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), dan Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I).

Lalu, ada juga Indonesia Ship Manning Agents Association (ISMAA), Human Rights Working Group (HRWG), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Indonesia Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Rumah Transparansi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Meski didesak untuk segera meratifikasi, namun Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution memahami bahwa proses itu tidak bisa dilakukan buru-buru. Justru, dia berharap Pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, namun jelas dan tegas.

Hal itu, karena sudah ada pengalaman sebelumnya saat MLC digelar pada 2006 lalu, di mana saat itu sudah dilakukan ratifikasi K-188. Namun sayang, ratifikasi mengecualikan perlindungan PMI PP dan hanya fokus pada pekerja kapal niaga, belum kepada pekerja kapal perikanan.

“Tidak perlu buru-buru meratifikasi, tapi perlu langkah progresif,” katanya belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, Pemerintah harus bisa melakukan perbaikan tata kelola perikanan di dalam negeri melalui berbagai cara. Pasalnya, jika dibiarkan terus lemah, maka akan semakin banyak AKP yang berangkat kerja ke luar negeri.

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Saat itu terjadi, maka praktik eksploitasi saat berada di atas kapal perikanan akan terus diterima para AKP dari Indonesia. Lebih dari itu, mereka juga sangat bergantung pada iming-iming gaji besar saat bekerja sebagai AKP.

Dia menilai, ada keengganan yang dirasakan AKP saat harus bekerja di dalam negeri dengan gaji tidak menentu nilainya. Sementara, walau harus menerima praktik eksploitasi saat bekerja di atas kapal perikanan berbendera asing, para AKP Indonesia tidak mempersoalkannya selama gaji lebih besar.

“Sekitar 450-650 USD per bulan. Dibilang lebih besar, memang iya, tapi resiko juga jauh lebih besar,” jelasnya.

 

Sinergi Lembaga

Arifsyah Nasution mengatakan, sebenarnya rencana melaksanakan ratifikasi K-188 bukan muncul sekarang saja. Sudah sejak lama, rencana tersebut ada dan itu harusnya dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait.

Namun, sampai saat ini belum ada sinergi yang baik di antara lembaga dan kementerian Negara dalam melaksanakan rencana adopsi K-188 yang menjadi aturan internasional untuk melindungi AKP Indonesia saat bekerja di kapal perikanan dalam dan luar negeri.

Dia menduga masih ada sejumlah pejabat kementerian yang belum memiliki pengetahuan dan pemahaman utuh tentang konvensi ini. Meskipun, K-188 memuat sejumlah pembaharuan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan, agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.

Di lain pihak, Arifsyah menyebut kalau Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa hampir semua kebijakan yang berkaitan dengan nelayan atau PMI PP sudah berjalan searah dengan K-188 yang menjadi norma internasional.

“Yang belum adalah keinginan politik mereka untuk mengimplementasi secara serius,” pungkasnya.

 

Ilustrasi. Sejumlah Awak Kapal Perikanan melakukan aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Saat bertemu dengan pejabat Kemenko Marves, Sekjen SBMI Anwar Ma’arif menjabarkan kalau ratifikasi K-188 menjadi langkah yang sangat penting karena untuk perlindungan buruh migran Indonesia, khususnya AKP.

Dia menyebut, dari 700 kasus yang sudah ditangani pihaknya, sebagian besar korban mengalami kerja paksa di atas kapal perikanan berbendera Cina, Taiwan, dan sejumlah negara Eropa lain. Bahkan, dari 11 indikator kerja paksa versi ILO, lebih dari enam indikator sudah dialami para AKP Indonesia.

Dari semua indikator itu, paling banyak adalah kasus dengan gaji ditahan, jam kerja panjang, penganiayaan, dan penyiksaan. Bahkan, banyak AKP yang mengalami kondisi paling buruk hingga meninggal dunia dan dilarung ke laut.

“Proses pelarungannya juga tidak sesuai standar internasional,” tuturnya.

Ketua Umum SBMI Hariyanto berharap, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang berakhir pada Kamis (7/9/2023) di Jakarta, bisa menjadi momentum untuk membangun kesadaran publik soal pelindungan AKP Indonesia dan pentingnya meratifikasi konvensi sebagai basis aturan pelindungannya.

Ketua Tim 9 Sofyan meminta Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan koordinasi antar pihak terkait yang berwenang, dalam hal ini Kemenko Marves dengan Kemenlu. Terutama, Kemenlu yang ingin menargetkan pembentukan tim terpadu.

Dengan demikian, diharapkan sinergi bisa terjalin dengan baik dan tidak ada lagi instansi dan atau lembaga yang berjalan sendiri. Soliditas seperti itu diharapkan bisa segera mempercepat proses pelaksanaan ratifikasi K-188 yang sangat mendesak.

Kemenko Marves yang diwakili Deputi Direktur Ketahanan Maritim dan Isu Strategis Adriani Kusumawardani, Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim dan Kawasan Perbatasan Sora Lokita, dan Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Heylus Komar sudah memberikan respon terkait desakan tersebut.

Mereka berjanji akan menjadi inisiator untuk menggelar pertemuan lintas kementerian dan lembaga untuk membahas tentang ratifikasi K-188. Kepemimpinan Kemenko Marves juga diharapkan bisa menyatukan perbedaan di antara lembaga dan kementerian terkait.

 

Ilustrasi. Beberapa kapal ikan asing berbendera Filipina yang ditangkap di Laut Sulawesi pada awal April 2023 digiring ke PSDKP Bitung, Sulut. Foto : PSDKP KKP

 

Terpisah, Direktur Pembangunan Manusia Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Rodora Babaran mengakui bahwa nelayan migran atau AKP adalah pekerja migran yang harus memiliki hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja migran lainnya.

Pengakuan tersebut, salah satunya adalah dengan mengadopsi Declaration on the Protection of Migrant Fishers pada KTT ASEAN 2023 yang berlangsung di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Mei 2023.

Namun, pengakuan tersebut dinilai harus mengalami kenaikan tingkat pada KTT ASEAN 2023 yang berlangsung di Jakarta. Peningkatan itu, harus dilakukan melalui penyusunan panduan teknis yang lebih detail tentang perlindungan PMI PP di regional ASEAN.

“Lewat deklarasi itu, negara-negara anggota ASEAN telah menguatkan komitmen. Jadi, kita sudah berada di jalur yang benar. Pengembangan dari panduan teknis itu saat ini sudah berada di tahap pendahuluan dan kita bisa berharap [untuk diterbitkan] tahun depan,” ungkapnya.

Tetapi, selain bahasan Deklarasi yang didesak harus lebih detail secara teknis, Tim 9 mendorong agar semua negara anggota ASEAN bisa melakukan ratifikasi K-188. Aturan tersebut menjadi instrumen hukum internasional paling komprehensif yang fokus pada kondisi dan hak nelayan migran.

Sayangnya, dari 11 negara anggota ASEAN, hanya Thailand yang sudah meratifikasi K-188 dan mengadopsinya ke berbagai peraturan perundang-undangan di negara tersebut. Sisanya, belum ada satu pun negara anggota ASEAN yang melakukan ratifikasi, termasuk Indonesia.

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index