Nasib Petani Inhil Kala Kebun Kelapa Terendam Air Laut

Nasib Petani Inhil Kala Kebun Kelapa Terendam Air Laut
Bekas kebun kelapa di Sungai Bandung, kini jadi kubangan lumpur air laut.

ANALISD.com, Inhil - Sisa-sisa akar, atau pun tunggul kelapa tak berdaun apalagi buah terlihat di mana-mana di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Indragiri Hilir, Riau. Tanaman kelapa itu mati terendam air laut. Di Dusun Sungai Bandung saja, Lebih 1.200 hektar kebun kelapa warga musnah.  Kenaikan permukaan air laut yang menerjang tanggul sejak 20 tahun belakangan, perlahan melenyapkan masa-masa kejayaan petani kelapa ini. Perubahan iklim begitu nyata dan berdampak multidimensi bagi desa ini.

Rosman, warga tempatan, hanya pasrah dengan nasib. Lahir di Sungai Bandung, 51 tahun silam, hidupnya seakan berubah hampir 100 derajat. Bukan makin membaik, tetapi seperti menanti waktu menyandang status petani tanpa kebun.

Rosman, Ketua RT 03, Parit 21, seyogianya mengelola 16 baris kebun kelapa warisan orangtua. Alam yang makin merana, membuatnya tak mampu mempertahankan kebun itu dengan utuh lagi.

Hari demi hari, Rosman menyaksikan pohon-pohon kelapanya berhenti berbuah karena terendam air laut. Kini,  tersisa empat baris.

Zainal Arifin Husein, Direktur Bangun Desa Payung Negeri (BDPN), juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Indragiri, menjelaskan,  dari hitungan matematis, ukuran standar kebanyakan satu baris kebun kelapa sekitar 8,5 meter x 255 meter.

Dulu, Rosman dan petani kelapa lain, rutin gotong royong mencangkul tanah, merawat tanggul, supaya air asin tak sampai ke permukaan kebun. Apalah daya, tenaga manusia tak sebanding dengan laju dan tak menentunya waktu pasang surut air laut.

Terakhir kali, pada 2018, anggota legislatif setempat, pernah berbaik hati mengerahkan alat berat untuk menimbun kembali tanggul, benteng kebun masyarakat.

“Kapal keruk itu (eksavator) belum pergi dari lokasi (selesai pekerjaan) tanggul jebol lagi. Paling bertahan hanya dua bulan. Lagian buatnya kurang tinggi,” kata Rosman.

Kebun Rosman tersisa—termasuk kebun masyarakat yang masih bertahan—saat ini, masih tergolong aman. Namun, katanya, tak menjamin waktu lama, karena tanggul makin turun. Pasang tinggi akan tetap mengancam kebun yang masih memproduksi sekitar 3.000 biji kelapa kalau hasil panen bagus.

Setidaknya, perkg  buah kelapa Rp3.000—ketika harga melonjak. Kalau 3.000 biji kelapa paling sedikit bisa mencapai 3 ton dalam tiga bulan, sekali panen.

Rosman bilang, berkebun kelapa tidak memerlukan pupuk. Cukup rutin bersihkan kebun. Berarti, dari nilai tukar petani cukup menguntungkan karena tak memerlukan biaya tinggi.

Tak jauh beda dialami Asni, 62 tahun. Lahir di Parit 19, dia diajak pindah saudaranya ke Parit 21, untuk mengurus kebun kelapa keluarga, pada 2.000.

Asni punya 10 baris kebun kelapa. Meski begitu, selain mengelola kebun kelapa sendiri, tetap sambil mengerjakan milik keluarga. Dari situ, Asni mampu menambah luas kebun sampai 17 baris.

“Sekarang, tinggal lima baris lagi. Itu (menunjuk hamparan kebun kelapa mati) di dalam sana,” kata Asni, di teras rumahnya, tertawa getir.

Dalam lima tahun belakangan, dia berhenti total memanen buah kelapa karena penyakit hernia yang dideritanya. Dokter sempat menegurnya setelah jahitan bekas operasi lepas karena terpaksa bekerja. Setelah dijahit lagi, dia tetap tak menghiraukan saran dokter untuk istirahat panjang. Akibatnya, benang itu kembali lepas. Sayatan pada bagian operasi pun sedikit menganga.

Setelah jahitan bedah dua kali lepas, Asni baru benar-benar mengalah dan hanya menghabiskan hari di rumah. Saat ini, sembari berharap rezeki dari kebun kelapa tersisa yang diurus putra bungsunya. Asni tengah mengumpulkan uang untuk kembali ke rumah sakit memperbaiki jahitan bekas bedah.

Kebun kelapa tersisa Asni sebenarnya tak menghasilkan buah normal lagi. Sejak terendam air asin, kelapa hanya buah sekitar 2.000-3.000, sebelum itu 5.000 kelapa.

Dengan buah sebanyak itu, kata Asni, tak cukup lagi untuk kebutuhan di rumah, jelang tiga bulan panen berikutnya.

“Kalau tanggul diperbaiki dan bagus lagi, kebun kelapa itu bisa bertahan lama. Kalau air pasang dalam tenggelam dan banjir. Apalagi bulan 12, tinggi air. Air naik tinggi biasa mulai November sampai Februari. Air pun masuk ke dalam rumah,” kata Asni.

Dusun Sungai Bandung terdapat tiga rukun tetangga. Satu-satunya sumber mata pencarian utama warga hanya dari kebun kelapa. Kenaikan permukaan air laut turut mengubah pola ekonomi yang tumbuh sejak zaman leluhur mereka. Kini, warga harus menambah pekerjaan baru jadi nelayan sungai.

Rosman, sulung dari tujuh bersaudara, yang seharusnya menikmati hari tua dengan hasil kebun kelapa melimpah, mau tak mau belajar menjala udang dan ikan untuk makan sehari-hari.

Pekerjaan itu terpaksa mereka lakukan karena satu per satu tanaman kelapa mati. Begitu juga Asni.

Meski sudah tak bekerja lagi, dia sedih karena tak dapat mewarisi kebun kelapa pada tiga orang anaknya, selain yang saat ini dikelola si bungsu dengan harus berbagi hasil. Putra satu-satunya itu sudah berkeluarga. Dia mengurusi kebun hanya pada waktu musim panen.

Mardiana, putri sulung Asni, hanya menghabiskan waktu di rumah mengurusi dua anak. Sedangkan suaminya, nelayan, sama sekali tidak punya kebun kelapa.

Selain mencari ikan dan udang, anak dan menantunya turut menampung hasil tangkapan nelayan setempat atau jadi tauke ikan kecil di Sungai Bandung.

Rosman dan Asni, meski tak mewarisi kebun kepada anak-anaknya, tetapi masih memiliki sedikit aset tersisa untuk jaminan hari tua.

Tidak begitu dengan Irham. Kurang lebih dua dekade menggantung hidup dari enam bidang kebun kelapa yang dimiliki, tujuh tahun belakangan, pria 40 tahun ini jadi nelayan seutuhnya sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Selain gunakan istilah satuan baris, petani kelapa Sungai Bandung juga menyebut luas kebun mereka dengan bidang. Per bidang sekitar 2,5 hektar. Kalau kebun Irham enam bidang, berarti luas mencapai 15 hektar.

Dia awalnya melanjutkan kebun warisan orangtua. Apa boleh buat, semua habis terendam air laut, tersisa barisan batang kelapa gundul, tanpa daun apalagi buah. Sama sekali tak ada yang dapat diperoleh lagi dari hamparan kebun mati itu.

Payah kalau tak ade kebun. Kalau ade kebun kan senang,” kata Irham, ketika ditemui hendak menjala udang dan ikan di sungai.

Dia punya seorang putri, 12 tahun. Hanya tamat Madrasah Ibtidaiyah—setara sekolah dasar—karena tidak punya biaya untuk lanjut jenjang menengah. Penghasilan harian dari mencari ikan dan udang antara Rp50.000-Rp100.000. Berangkat tengah hari, pulang petang.  “Untuk makan pun susah.”

Perubahan iklim di Sungai Bandung yang ditandai dengan kenaikan air laut jelas mengubah segala sendi kehidupan warga, termasuk penurunan ekonomi yang melahirkan kemiskinan.

Kala pasang mati (dangkal) parit bahkan sungai kecil yang jadi jalur transportasi warga Sungai Bandung kering. Sudah pasti perahu atau sampan mereka tak dapat bergerak. Kondisi seperti ini berlangsung setidaknya lima hari sampai satu minggu tiap bulan. Anak-anak terpaksa libur sekolah.

Hanya ada satu sekolah di Sungai Bandung, tepatnya di Parit 19 atau RT 01, Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Khairiyatul Islamiyah.

Bangunannya berbentuk L dengan material kayu. Tiap bangunan disekat hingga terbagi jadi lima ruangan. Pembatas antara bagian hanya beberapa keping papan. Tak banyak bangku,  seolah menggambarkan jumlah murid yang sedikit.

Syakira Maisanda, putri sulung Mardiana, masih duduk kelas lima. Ranking dua di kelas. Cita-citanya jadi dokter, tetapi sering terhambat mengais ilmu kala parit depan rumahnya kering.

Dia dan empat kawan baru bisa menumpang sampan seorang warga ke sekolah kalau musim pasang tinggi. Ongkosnya Rp5.000 sekali berangkat dan pulang.

Ira, sapaan Syakira Maisanda, ingin pemerintah membangun jalan supaya tak terhalang berangkat sekolah hanya harus menunggu air pasang.

Harapan Ira, tentu jauh lebih besar dari ibunya, Mardiana. Sebagai orangtua, Mardiana tak ingin putri sulungnya putus sekolah seperti dirinya yang hanya menyelesaikan pendidikan sebatas Tsanawiyah—setara sekolah menengah pertama.

Bukan tak minat melanjutkan sekolah lebih tinggi, karena jarak dan akses yang diperparah dengan ekonomi orangtua merosot hingga Mardiana menimba ilmu hanya sampai situ.

Tsanawiyah di Sungai Bandung, tempat Mardiana bersekolah dulu juga sudah tutup karena tidak ada lagi siswa. Pendidikan generasi muda terancam.

Dampak lain perubahan iklim di Sungai Bandung adalah terganggunya aktivitas warga. Tanggul, selain jadi penghalang air laut masuk ke kebun, sebenarnya juga jalur transportasi darat yang menghubungkan warga antar RT. Termasuk ke tempat yang jadi tujuan sehari-hari, dari sekolah, surau dan mesjid.

Rosman mengatakan, sejak tanggul depan rumah warga sama rata dengan tanah dan berubah jadi lumpur, mereka sering tak dapat sholat Jumat di mesjid, terlebih kalau parit kering.

“Kalau ‘pasang mati’, kami tak bisa ke mana-mana. Di rumah saja.”

Lain dengan Irham. Meski parit kering dan sampan tak dapat bergerak, dia tetap mencari udang dan ikan. Dia berjalan kaki dari rumah menuju sungai. Mengarungi lumpur yang terkadang dalamnya sampai lutut sambil menenteng jala dan ember.

Dia harus dapat ikan tiap hari. Tak ada pekerjaan lain untuk memenuhi biaya hidupnya dan keluarga.

Bagi Mardiana, kenaikan air laut turut menenggelamkan kebahagiaan masa kecilnya. Saat kecil, jalan masih bagus. Dia bebas main ke rumah teman-temannya. Selain hamparan kebun kelapa, banyak pisang dan buah lain di Sungai Bandung. Tiap sore remaja di sana memainkan olahraga kesukaan. Mardiana hobi main voli.

Sekarang, semua habis di sapu air laut tanpa bekas. “Sedih nengoknya. Dulu ramai orang, sekarang sepi. Jalan tak ada lagi. Kami minta pemerintah buat jalan untuk anak sekolah. Kalau parit kering, anak tidak bisa sekolah,” kata Mardiana. Dia banyak kehilangan teman seusianya karena pindah ke tempat tinggal baru.

Cerita Rosman, Sungai Bandung dulu sering menyumbang atlet untuk mewakili Kecamatan Tanah Merah, bila ada pentas olahraga yang diselenggarakan pemerintah daerah. Dia, mantan atlet badminton untuk sekelas turnamen lokal.

Kenaikan air laut yang merendam kebun dan membatasi pergerakan warga, melahirkan eksodus besar-besaran. Sejak 20 tahun terakhir, orang-orang berangsur meninggalkan tempat asal dan mencari kehidupan baru hingga ke provinsi tetangga, Kepulauan Riau. Lambat laun, Sungai Bandung sepertinya akan jadi dusun mati dan tinggal kenangan.

Irham, sudah kehilangan 24 tetangga. Hanya ada 16 tetangga lagi yang bertahan. Sebagian pindah ke Sungai Guntung, Tembilahan dan Kuala Enok—masih dalam Kabupaten Indragiri Hilir. “Banyak pindah karena hasil pencarian begini (menurun) terus.”

Sementara Asni hanya bertetangga dengan putri sulungnya. Sebelumnya, di seberang rumah ada tiga kerabat. Di kanan ada lima rumah. Paling banyak sebelah kiri dengan tujuh bangunan tempat tinggal. Mereka hidup berdampingan dan membangun rumah berderetan. Kini, seolah tak meninggalkan jejak. Hanya tampak serpihan perkakas dapur yang menyatu dengan lumpur.

“Mau pindah ke mana? Kalau pindah apa pencarian dan penghasilan? Tak ade. Terpaksalah bertahan di sini. Mau ke kebun saja tak bisa kerja lagi,” kata Asni.

Rosman bilang,  warga makin berkurang. Pada 1990-an,  masih ada 48 keluarga, saat ini tersisa 16 rumah dengan 18 keluarga—satu rumah ada dua keluarga. “Mau pindah tak ada biaya.”

Erwin., yang meninggalkan rumah maupun kebun di Parit 19 dan memboyong istri beserta dua anak ke Tanah Merah, pusat kecamatan, sejak 2009. Mulanya pada 1999, dia merantau ke Sungai Bandung untuk bekerja di kebun kelapa masyarakat.

Akhirnya menikah dengan perempuan setempat pada 2002. Rezeki selama jadi petani kelapa di kebun orang, dipakai membeli kebun 20 baris untuk memulai kehidupan baru dengan istri.

Malang, Erwin dan istri, tidak lebih tiga tahun menikmati hasil kebun. Mulai 2005, air laut perlahan masuk ke kebun. Hingga seluruh tanaman kelapanya terendam total antara 2009 dan 2010. Erwin pun memutuskan mencari tempat tinggal baru.

Di Tanah Merah, Erwin kerja serabutan. Sempat kerja bengkel,  terkadang jadi nelayan. “Pokoknya apapun yang bisa menghasilkan.”

Waktu masih punya kebun, Erwin menghasilkan tiga ton kopra—daging kelapa kering—sekali panen. Pendapatannya sekitar Rp4 juta. Untuk menambah penghasilan, dia masih kerja di kebun warga lain dengan sistem bagi hasil.

Kini, Parit 19 yang dulunya ditempati 15 keluarga, sama sekali tidak berpenghuni lagi. Hamparan kebun kelapa mati dibiarkan terlantar.

Upaya pemulihan?

Sementara Erwin, bekas kebun kelapanya sekarang, sedikit demi sedikit ditanami mangrove. Berharap kenaikan air laut tidak makin parah. Erwin tetap berkunjung sesekali.

Dalam tiga tahun terakhir, upaya memulihkan perkebunan kelapa di Sungai Bandung, tengah gencar dilakukan. Bukan ditanami kembali dengan kelapa, melainkantanaman  mangrove yang tahan air asin. Itu dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil maupun perusahaan milik daerah.

Menurut Zainal Arifin Husein, Direktur Bangun Desa Payung Negeri (BDPN), organisasi masyarakat sipil setempat, perlu pilihan pemberdayaan ekonomi masyarakat Sungai Bandung yang masih bertahan dan makin terdampak kenaikan air laut.

Penciptaan sumber ekonomi baru itu bisa menyesuaikan kondisi alam saat ini sembari pemulihan lingkungan guna mengurangi dampak makin parah.

Amron, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Tanjung Pasir mengatakan, kebun kelapa tersisa di Sungai Bandung sekitar 400-500 hektar. Sebelumnya, luas kebun kelapa warga di dusun  mencapai 2.000 hektar. Paling banyak di dua dusun lain, Dusun I dan II, tetapi sudah lama lenyap terendam air laut sejak 30 tahun terakhir.

“Kalau kebun kelapa di Sungai Bandung mati total, dusun itu tidak jadi penghasil kelapa terbanyak lagi di Kecamatan Tanah Merah,” kata Amron.

Dua puluh tahun lalu, katanya, satu petani kelapa Sungai Bandung bisa menghasilkan puluhan ton sekali panen. Penduduknya pun lebih ramai dibanding dusun lain, sampai 2.000 jiwa.

Amron akui keterlambatan penanggulangan kenaikan air laut penyebab ekonomi warga Sungai Bandung rontok. Andai penanganan lebih cepat, kerusakan lingkungan yang mengikis sumber mata pencarian warga mungkin tak separah saat ini.

Belum ada respon dan langkah nyata pemerintah, meski Amron sudah mengadu ke mana-mana. Rosman dan petani lain berharap pemerintah memperbaiki tanggul demi mempertahankan kebun kelapa tersisa.

“Syukur kalau air laut tak masuk lagi, kebun yang sudah mati bisa ditanami kelapa kembali.”

#Perubahan Iklim

Index

Berita Lainnya

Index