ANALISD.com - Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh konflik bersenjata dan ketidakstabilan sosial kini kerap mendapat sorotan media. Penelitian terkait hal itu juga semakin banyak, mengingat dampak kerusakannya sangat nyata. Ada dua perang terbaru yaitu saat Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, serta Israel dan Palestina pada 2023. Keduanya menyebabkan kehancuran besar berbagai infrastruktur, vegetasi, keanekaragaman hayati, dan menimbulkan korban jiwa yang tak terperi.

Mengutip laporan penelitian yang dimuat di International Journal of Environmental Studies, 2023, sejumlah kebakaran hutan dilaporkan terjadi selama perang di Ukraina. Pendudukan tentara Rusia mengakibatkan kebakaran tersebut tidak mungkin ditangani dan semakin meluas saja. Kebakaran telah melepas sejumlah besar karbon dioksida dan monoksida ke udara.

“Kebakaran besar yang disebabkan oleh tembakan musuh menghancurkan seluruh hutan, yang merupakan penyerap karbon dalam jumlah besar, dan mendorong pemanasan global,” tulis laporan itu.

Penelitian yang mengkaji dampak perang di Ukraina terhadap iklim itu juga menerangkan, selain hutan, kebakaran juga menghanguskan kawasan industri dan gudang yang melepas berbagai senyawa beracun ke udara. Di sisi lain, sisa-sisa bahan kimianya telah mengotori tanah dan air. Keduanya, selain mencemari lingkungan juga berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.

Selama periode perang, kebakaran telah menyebabkan lebih dari 36 ribu hektare hutan dan 10 ribu hektare padang rumput hilang di Ukraina. Namun gambar-gambar yang diperoleh dari satelit menunjukkan jumlah yang lebih besar, yang memperlihatkan dampak kebakaran itu bisa lebih luas dari perkiraan.

 

Kilang minyak di Odessa, Ukraina yang terbakar dalam perang Ukraina melawan Rusia pada 2022. Foto : Reuters via ips-journal.eu

 

Selain itu, agresor menurut satu laporan telah melakukan sejumlah kejahatan lingkungan sejak 2022 di Ukraina, baik di darat maupun udara. Mulai dari penghancuran jaringan gas alam, perusakan bendungan, serangan ke instalasi nuklir, hingga bumi hangus peternakan ayam.

Di udara, ledakan misil dan peluru sepanjang perang telah mengakibatkan lepasnya gas berbahaya itu ke atmosfir. Akibatnya senyawa berbahaya terakumulasi di atmosfir yang menyebabkan gangguan meteorologi dan iklim.

Dalam sebuah tulisan di International Politics and Society Journal dinyatakan perang Irak telah menghasilkan 141 juta ton emisi CO2. Sementara pembangunan pascaperang juga menghasilkan emisi karbon yang besar. Artinya, perang turut menyumbang terjadinya pemanasan global baik selama perang maupun masa rekonstruksi.

Perang terbaru di Palestina tentu saja juga semakin memperburuk kerusakan lingkungan yang terjadi di sana. Sebelumnya, laporan yang disusun Conflict and Environment Observatory menyebutkan, serangan di jalur Gaza menimbulkan kerusakan instalasi air bersih dan limbah. Terdapat sebuah video yang memperlihatkan limbah itu meluber ke jalan yang mengancam kesehatan warga. Saat terjadi banjir, ancaman itu pun kian membesar.

Menurut laporan yang dirilis oleh globalcitizen.org, setidaknya ada tiga dampak perang terhadap lingkungan dan krisis iklim. Yaitu pertama, konsumsi bahan bakar fosil dalam jumlah besar oleh militer berkontribusi langsung terhadap pemanasan global. Kedua, penghancuran dengan bom dan metode perang modern lainnya memusnahkan satwa liar dan keanekaragaman hayati. Ketiga, polusi akibat perang mencemari perairan, tanah, dan udara sehingga wilayah perang tidak aman untuk ditinggali manusia.

Laporan itu juga menyebut militer di seluruh dunia menyumbang sekitar 6 persen seluruh emisi gas rumah kaca. Dalam masa damai pun, energi kotor yang dikonsumsi sangatlah besar. Peningkatan anggaran militer suatu negara juga selalu diikuti dengan meningkatnya konsumsi energi kotor.

 

Sekelompok pria duduk di depan tumpukan kayu bakar di Kota Kabul, Afganistan. Selama perang, Afghanistan menghilangkan 95 persen tutupan hutannya. Foto : Reuters via Al Jazeera

 

Mengutip Nature, bahwa jumlah hewan dalam suatu wilayah bisa menurun hingga 90 persen selama konflik. Bahkan perang dalam satu tahun pun bisa menyebabkan hilangnya satwa liar dalam jangka panjang. Perang saudara di Mozambik misalnya, telah menyebabkan hilangnya 95 persen keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gorongosa. Perang di Afghanistan menyebabkan negara itu kehilangan 95 persen tutupan hutannya. Sementara perang di Vietnam menghancurkan 5 juta hektare hutan, dimana sekitar 500 ribu hektare merupakan lahan pertanian.

Di zona konflik, warga sipil yang terjebak harus berhadapan dengan kenyataan buruknya air, udara dan tanah yang tercemar bahan kimia. Di Afghanistan, mengutip laporan itu, warga dipaksa menghirup udara yang terpapar asap pembakaran limbah militer. Pengelolaan sampah selama perang jelas tidak berjalan normal yang memperbesar peluang warga menderita berbagai penyakit. Sementara di laut, kapal perang tanpa ada yang mengawasi membuang limbah dalam jumlah besar ke perairan yang bisa merusak habitat laut dan garis pantai.

Saat ini ada desakan dari para ilmuwan dan pemerhati lingkungan kepada PBB untuk memaksa militer mengungkapkan jumlah emisi yang mereka hasilkan. Sejauh ini hal tersebut menjadi pengecualian dalam penghitungan UNFCCC dengan alasan informasi itu merupakan hal sensitif dan bisa membahayakan keamanan nasional. Emisi militer dikecualikan dalam protokol Kyoto 1997 dan Perjanjian Paris 2015.

Para peneliti telah memberi gambaran bahwa emisi yang dihasilkan selama perang dan pasca perang sangatlah besar. Perang dengan demikian harus mulai diperhitungkan sebagai salah satu faktor penyebab naiknya suhu global. Gencatan senjata di semua konflik bersenjata adalah alasan yang masuk akal untuk menghentikan dampak kerusakan terhadap lingkungan dan menghindari penderitaan manusia lebih lanjut

#Perubahan Iklim

Index

Berita Lainnya

Index