ANALISD.com, Jakarta - Pemanasan global dan perubahan iklim membawa dampak yang mengerikan bagi lingkungan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah melaporkan, salju abadi di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua mencair.

Kondisi ini bisa diperparah oleh fenomena iklim yang bisa memicu kekeringan lebih ekstrem dan suhu lebih tinggi di saat musim kemarau, yaitu El Nino yang kembali menghantam Indonesia saat ini.

Seperti diketahui, El Nino merupakan BMKG memprediksi, El Nino akan mencapai puncaknya di Indonesia pada bulan Agustus-September 2023. Saat fenomena El Nino menghantam, kekeringan dan suhu panas di musim kemarau jadi lebih ekstrem dan berkepanjangan.

Mengutip situs resmi BMKG, pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi. Demikian berdasarkan hasil riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es yang dilakukan oleh BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat.

Disebutkan, sepanjang tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti. BMKG mencatat, pada periode tersebut ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Dan diperkirakan, ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.

Menurut BMKG, tutupan es pada tahun 2022 adalah 0,23 km2 atau turun sekitar 15% dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yang tercatat sebesar 0,27 km2.

"Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dikutip Kamis (28/9/2023).

Padahal, pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter. Namun, seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, terjadi penurunan ketebalan es dengan laju mencapai satu meter per tahun.

Kondisi kian buruk tatkala pada tahun 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat. Di mana suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.

"Dalam beberapa dekade terakhir dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi di Puncak Jaya," sebutnya.

Jika terjadi, kepunahan salju abadi di Puncak Jaya akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan di wilayah tersebut.

"Ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global," sebutnya.

"Penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan," kata Dwikorita.

Dia meminta semua pihak bekerja sama melakukan aksi nyata dan memitigasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia.

"Dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan ikim," katanya.

"Kerja sama lintas sektor menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia perlu terus diperkuat," tambahnya.

Dwikorita mengatakan, mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, merupakan bukti nyata perubahan iklim berdampak tidak baik bagi kehidupan.

"Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini tentu menjadi kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia," pungkasnya.

#Perubahan Iklim

Index

Berita Lainnya

Index