ANALISD.com, Jakarta - Pagi itu, lalu lintas di Jakarta belum ramai, namun puluhan orang sudah terlihat sibuk di dalam kolam di Bundaran Hotel Indonesia.  Pada 6 Oktober sekitar pukul 05.30 itu, gurita raksasa muncul di kolam salah satu landmark Ibu Kota Indonesia di Jl MH Thamrin itu.

Gurita berwarna oranye, memiliki tato di sebelah kiri kepala bertuliskan ‘oligarcgy, tentakelnya menggenggam erat tiga manekin dengan setelan jas hitam. Masing-masing manekin dipasangi foto wajah aktor politik yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2024 sebagai bakal calon presiden: Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

Ada 12 orang dari Greenpeace Indonesia yang menyelam di kolam air es untuk menjaga gurita itu tetap mengambang. Sebagian juga membentangkan spanduk-spanduk antara lain bertuliskan ‘pilih bumi, bukan oligarki’, ‘Vote for climate, not oligarch.’ Ada juga ‘Pemilu tanpa oligarki.’

Instalasi ini sontak menarik perhatian masyarakat yang lewat di daerah sekitar. Beberapa orang terlihat menyeberang dari arah Hotel Indonesia ke kolam untuk mengabadikan gurita raksasa itu.

“Kami ingin didengar, maka kami pilih tempat yang paling mudah dilihat. Kami ingin para calon presiden dan legislatif memiliki aksi nyata dan serius mengatasi krisis iklim yang berdampak pada umat manusia,” kata Idbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat ditemui di tengah aksi.

Gurita dan manekin,  katanya, melambangkan masuknya oligarki ke dalam sistem pemilihan Indonesia. Para oligark, sudah membajak demokrasi dan mencengkram para pemimpin dan bakal calon presiden.

Hal ini disebut Iqbal bisa dilihat dari penerbitan beragam regulasi yang memudahkan investasi dan memperlemah perlindungan lingkungan hidup, seperti UU Cipta Kerja maupun revisi Undang-undang Minerba.

Padahal, katanya, pelemahan hukum dan perlindungan lingkungan yang buruk menyebabkan berbagai bencana di dalam negeri.

 

Aksi Greenpeace Indonesia mencari pemilin yang peka iklim. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Sebagai catatan, Iqbal menyebut 90% bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologis alias karena iklim.

“Kami hanya ingin menyuarakan pentingnya krisis iklim. Siapapun yang terpilih nanti, presiden, DPR, hingga DPRD, pedulilah situasi lingkungan hidup dan iklim saat ini,” pinta Iqbal.

Greenpeace, katanya, juga tak melihat langkah progresif dari para pemimpin yang dipilih rakyat melalui pemilu. Berbagai proyek pemerintah banyak cenderung menyengsarakan ketimbang menyejahterakan rakyat, seperti proyek strategis nasional.

“PSN itu bukan proyek strategis nasional, tapi proyek sengsara nasional.”

 

Manekin yang menggambarkan bakal calon predisen yang akan berlaga di pemilu 2024. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Suara daerah

Saat itu, ada pula perwakilan Greenpeace Papua dan Kalimantan Tengah.  Perwakilan kedua provinsi ini menilai, pemilu 2024 krusial karena beragam masalah lingkungan terjadi di sana.

Orpha Yoshua, Greenpeace dari Papua menyebut, perlu mengawal pemilu di provinsi-provinsi baru mekar. Pemekaran itu, katanya, mengkhawatirkan masyarakat adat di Papua.

“Kami di Papua sudah seperti kue yang dipotong-potong untuk dilahap para oligark ini,” kata perempuan 27 tahun itu.

Selama ini, katanya, investasi masuk ke Papua banyak menyengsarakan masyarakat adat. Kekayaan alam Papua, lebih banyak dikeruk dan dinikmati segelintir orang ketimbang Orang Papua.

Perempuan dari Lembah Grime Nawa, Suku Namblong, ini mengatakan, berharap memiliki kepala negara yang bisa mengesahkan Undang-undang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat.

“Kami gerilya ke kampung-kampung, menjelaskan tentang bahayanya oligarki ini dan mengonsolidasikan masyarakat adat untuk memilih pemimpin yang mau bicara tentang lingkungan,” katanya.

Evelyn Kristina, Greenpeace dari Kalimantan Tengah membawa agenda pembenahan tata kelola lingkungan saat aksi di Jakarta. Pemerintah berikutnya,  harus bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus menjadi mimpi buruk warga Kalteng.

Perempuan Dayak Ngaju ini menjadi saksi hidup kebakaran di tahun-tahun terparah seperti 2015, 2019 dan 2023. Saat ini, kata Evelyn, karhutla sudah menyebar hingga pinggir jalan dan dekat rumah warga di tempat tinggalnya di Katingan.

“Belum ada tindakan progresif dari pemerintah untuk mengatasi karhutla. Saya cuma berharap pemerintah selanjutnya bisa mengatasi masalah ini.”

Kondisi ini, katanya,  tidak mudah. Banyak kalangan pemilih termasuk anak muda di Kalteng tak menyadari kerusakan lingkungan oleh oligarki.

Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Gunung Mas, misal, tak banyak rekan sebaya Evelyn tahu dan sadar soal kegagalan proyek tanam singkong skala besar itu.

“Jadi,  harus banyak dorong anak-anak muda peduli dan ambil peran dalam krisis iklim ini. Terutama, dengan mendorong pemerintah bertindak,” katanya.

 

Para aktivis Greenpeace Indonesia sempat diamankan polisi. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Sempat diamankan

Sekitar pukul 06.05, aparat keamanan yang menjaga area aksi sedikit sibuk. Suasana yang tadinya tenang dan sunyi, jadi ramai karena seruan-seruan dari aparat dan teriakan mereka yang saling berkoordinasi.

Beberapa kali, suara mobil patroli segera datang untuk membawa massa aksi terdengar dari radio polisi. Massa aksi membubarkan diri dan mengangkat instalasi mereka dengan rapi.

Sekitar 11 massa aksi dan beberapa staf Greenpeace Indonesia dibawa ke Polsek Menteng untuk diperiksa sekitar pukul 06.15. Hingga malam hari, massa aksi yang ditahan tidak kunjung dilepaskan.

Greenpeace Indonesia menyebut aksi damai dan pakai material ramah lingkungan hingga tak akan mengakibatkan kerusakan fasilitas umum. Aksi ini pun dilindungi Pasal 66 Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Kami meminta kepolisian membebaskan para aktivis dan kru kendaraan yang masih ditahan. Aksi Greenpeace merupakan aksi damai tanpa kekerasan. Para aktivis juga sudah membubarkan diri dengan tertib ketika petugas keamanan memerintahkan untuk menyudahi aksi,” kata Iqbal dalam keterangan tertulis.

Massa dibebaskan secara bertahap. Tiga aktivis terakhir bebas pukul 00.30 dini hari.

Sebelumnya, di awal aksi beberapa spanduk yang dibawa Greenpeace juga disita aparat keamanan. Penyitaan yang tidak jelas alasannya itu menyasar spanduk yang khusus menyinggung kasus Rempang dan Wadas.

“Kami bawa banner itu. Tapi sudah disita polisi. Yang tersisa adalah yang di kolam-kolam itu saja,” kata Iqbal.

 

 

Koalisi serukan pemilu ekologis

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil dari sembilan provinsi membentuk gerakan bertajuk “Pemilu Ekologis.” Gerakan ini digawangi oleh Jikalahari, Walhi Riau, Eyes on the Forest, Senarai, Walhi Jambi, Walhi Sumsel, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa masyarakat (KSPPM) dari Sumatera Utara, Point dari Kalimantan Barat, Walhi Kalteng, Walhi Kaltim, Walhi Papua hingga ICEL dari Jakarta.

Kelompok masyarakat sipil ini secara khusus melakukan audiensi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhir September lalu untuk menyuarakan pentingnya keberpihakan lingkungan dalam Pemilu 2024.

Dalam diskusi itu, koalisi juga menyampaikan kondisi kerusakan lingkungan di masing-masing provinsi.

Maikel Peuki, Direktur Eksekutif Walhi Papua, menyebut, pemilu yang berpihak pada ekologi penting untuk provinsi pemekaran baru di Papua. Sejauh ini, Walhi Papua melihat pemekaran terlalu bersifat politis dan bertujuan mengeruk sumber daya alam di wilayah itu.

“Dalam konteks lingkungan, pemekaran ini hanya upaya untuk mengeruk sumber daya alam. Kami butuh pemilu yang bisa pastikan calon-calon yang disuguhkan adalah mereka yang memiliki perspektif lingkungan yang baik.”

Dia berharap, KPU dan KPUD bisa memasukkan isu lingkungan dalam debat-debat di tingkat pusat atau daerah. Di Papua, dia berharap siapapun yang terpilih bisa memanfaatkan status otonomi khusus di Papua untuk menerbitkan peraturan daerah khusus yang melindungi wilayah dan hutan masyarakat adat maupun daerah-daerah pesisir yang kaya sumber daya alam.

“Ini bisa dengan kekuatan dan kebijakan politik yang baik,” katanya.

Okto Yugo, Wakil Koordinator Jikalahari mengatakan, segala persoalan lingkungan berawal dari proses pemilu. Karena itu, penting bagi KPU melakukan proses penyaringan dan mengarusutamakan isu lingkungan.

“Yang jadi penting, bagaimana proses pemilu dan siapa yang akan dipilih. Dari calon yang ada, seperti apa yang akan kita sajikan. Harapan kami, KPU bisa bunyikan (isu lingkungan) itu,” kata Okto.

Keterbukaan dana kampanye juga menjadi topik yang disuarakan dalam diskusi itu. Rahmawati Retno Winarni, pakar keuangan berkelanjutan mendesak,  ada transparansi dana kampanye pada Pemilu 2024.

“Kami ingin keterbukaan ini tidak dilakukan setelah audit dan pemilu kelar. Publik berhak tahu tentang itu,” katanya.

Keterbukaan dana kampanye penting, katanya,  karena ada kelindan antara pihak pemberi dana kampanye dan perizinan terbit berbasis lahan dan lingkungan.

PPATK, katanya,  bisa menemukan ada dana kejahatan lingkungan yang mengalir ke partai politik.

August Mellaz, Komisioner KPU menampung semua usulan Koalisi Masyarakat Sipil. Sebelumnya, beberapa kali KPU pun melakukan hal serupa pada masyarakat sipil lain dengan agenda masing-masing.

“Soal isu lingkungan ini, saya tidak bisa janjikan. Tapi saya sepakat ini harus jadi isu concern kita.”

Dia menyebut,  ada kecenderungan pemilih menentukan pilihan mereka pasca debat capres. Karena itu, KPU akan menggodok materi debat dengan seksama.

Setidaknya,  katanya, akan ada lima debat capres-cawapres yang menjelang Pemilu 2024, dua tahun ini, sisanya pada 2024.

Setiap debat, katanya,  akan mengedepankan isu spesifik. “KPU akan membentuk panelis. Kita akan cluster isu-isu dari beberapa pihak, termasuk kajian dan datanya.”

Terkait laporan dana kampanye, August menyebut sistem pelaporan tengah dibangun. Dia mengatakan, desakan mengetahui siapa dan berapa besaran dana masuk ke dalam kampanye bukan termasuk hal tabu buat dibuka.

“Sistem informasi kampanye dan dana kampanye sedang di-develop. Mudah-mudahan, dengan catatan teman-teman di sini, kita bisa lakukan itu.”

 

Aksi seekor gurita membelit para calon pemimpin. Seruannya, agar calon pemimpin yang berlaga pada pemilu 2024 tak terbelit oligarki. Foto: Richaldo Hariandja/ mongabay Indonesia

 

Pemilih muda

Pemilih muda akan banyak mewarnai Pemilu 2024. Dari daftar pemilih tetap yang dirilis KPU pada 2 Juli lalu, disebut 56% dari 204.807.222 pemilih merupakan generasi milenial dan Gen Z. Atau sekitar 69,9 juta milenial dan 46,8 jiwa Gen Z.

Koalisi menilai,  setiap parpol akan berlomba mendapatkan suara dari kalangan pemilih muda ini. “Di Riau, kami ajak dan kampanyekan pada masyarakat dan kaum muda untuk tidak golput,” kata Okto.

Dia menyebut, beberapa kali Jikalahari memberikan pemahaman pada generasi muda terkait pemilu.  Suara mereka, katanya, juga penting dalam menentukan pengelolaan sumber daya alam di Riau, kelak. Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang pelajar dari berbagai kampus di Riau.

Tidak hanya luar jaringan (luring), Jikalahari secara khusus melakukan gerakan di media sosial dengan menciptakan akun Instagram @pemilu_ekologis. Akun ini diharapkan menjadi rujukan para generasi muda di Riau untuk bisa memilih dengan mengedepankan pemahaman lingkungan.

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index