ANALISD.com, Bangka Belitung - Pagi itu, Suhandi [43], pergi mengangkat bubunya. Perlahan dia mendayung sampan, membelah tenangnya air yang mulai meninggi. Meliuk lincah, menerobos rapatnya tumbuhan rasau [Pandanus helicopus]. Ini adalah tumbuhan yang mendominasi Tebat Rasau, lanskap rawa di Desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Setibanya di terubuk [kumpulan tumbuhan rasau], dimemeriksa bubunya. Banyak ikan yang terperangkap, tapi ada satu yang menarik perhatian, yakni ikan buntal yang langsung menggembung ketika dipegang.

“Ini dia yang kita cari-cari, aman dipegang dan dikonsumsi karena tidak beracun seperti ikan buntal umumnya,” kata Suhandi, akhir Juni 2023.

Sejak dulu, masyarakat Desa Lintang sudah biasa menggolah ikan buntal ini. Hanya dikonsumsi pribadi, bukan tangkapan utama, serta tidak dijual.

“Alat tangkap seperti bubu, siro, dan lainnya juga memastikan hanya ikan besar yang terperangkap,” ujarnya.

Menurut Nasidi, Ketua Komunitas Adat tebat Rasau, ikan buntal terbesar yang pernah tertangkap beratnya hingga satu kilogram, saat menggembung besarnya sekitar dua kepal tangan orang dewasa.

“Selain dimasak, kulit ikan buntal yang kasar dan berduri dulunya sering digunakan untuk mengamplas sampan,” lanjutnya.

Populasi ikan buntal air tawar di Tebat Rasau masih melimpah karena ekosistem yang masih terjaga, serta tidak adanya predator yang berani memakan kecuali manusia.

“Sejauh ini, saat membedah perut ikan toman dan sejenis gabus yang menjadi predator utama di Tebat Rasau, kami belum pernah menemukan ikan buntal di dalam perut mereka,” lanjutnya.

Sebaliknya, ikan buntal yang berani memangsa anak-anak ikan toman atau gabus. Induk maupun anak ikan buntal sering terlihat di antara kumpai [sejenis ganggang sungai], khususnya saat air rawa mulai pasang. Ini bertepatan dengan musim ikan dari hilir bermigrasi ke Tebat Rasau untuk bertelur.

“Mungkin, kumpulan kumpai ini menjadi tempat ikan buntal bertelur sekaligus berburu. Mereka lebih senang menunggu mangsanya di antara kumpai dan bisa berdiam diri selama berbulan. Terdengar tenang, tapi ia perenang cepat, serta agresif saat memangsa,” kata Nasidi.

Sebagai informasi, Tebat Rasau yang luasnya sekitar 8.040 hektar, merupakan hulu dari Sungai Lenggang, sungai terpanjang [60,28 kilometer] dan terbesar [230-1.520 meter] di Pulau Belitung. Sungai ini bermuara langsung ke Selat Karimata.

Sejak 2021, Tebat Rasau ditetapkan sebagai Geosite Belitong UNESCO Global Geopark, dan menjadi rumah bagi ratusan jenis ikan air tawar. Ekosistem rawa Tebat Rasau berperan layaknya sebuah kolam besar yang mengontrol debit air Sungai Lenggang.

“Banjir besar yang melanda sebagian besar wilayah Belitung pada 2017 lalu, disebabkan rusaknya sebagian hulu Sungai Lenggang oleh aktivitas penambangan, serta perkebunan skala besar,” kata Nasidi.

Saat ini, populasi ikan buntal air tawar di Tebat Rasau masih melimpah karenan ekosistem yang masih lestari. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Dekat dengan spesies di Kalimantan

Merujuk jurnal Keim et al., [2021], ikan buntal atau pupper fish air tawar masuk anggota Genus Pao [Tetraodontidae], tersebar di lembah Sungai Mekong di daratan Indochina hingga Sumatera.

Dalam jurnal yang sama dijelaskan, saat ini ada empat spesies ikan buntal yang ditemukan di perairan air tawar Indonesia bagian barat. Ada Pao bergii [Kalimantan Barat], P. hilgendorfii [Kalimantan Timur], P. leiurus [lembah Sungai Mekong, khususnya Thailand hingga Jawa] dan P. palembangensis [lembah Sungai Mekong hingga Sumatera, khususnya di anak-anak Sungai Musi, Palembang].

Dari keempat spesies tersebut, hanya dua spesies ikan buntal air tawar yang tidak beracun dan dapat dimakan yakni, P. bergii [Kalimantan Barat] dan P. hilgendorfii [Kalimantan Timur]. Bagaimana dengan spesies di Tebat Rasau?

“Ikan buntal air tawar di Tebat Rasau memiliki morfologi dan etologi pemangsa yang sangat mirip dengan spesies Kalimantan Timur, P. hilgendorfii,” tulis jurnal yang dipublikasi pada Juli 2021 lalu.

Dari segi morfologi, P. hilgendorfii memiliki bentuk tubuhnya memanjang hingga bulat telur. Mata sedikit lebih dekat ke ujung anterior mulut daripada celah insang, sedangkan tepi bawahnya menyentuh garis horizontal, yang dimulai dari celah mulut dan melintang melewati tengah pangkal sirip dada [Popta, 1905].

Sementara etologi pemangsa, berdasarkan informasi masyarakat, spesies ikan buntal di Tebat Rasau merupakan predator agresif. Hal ini sejalan dengan Nieuwenhuis [1900] yang mencatat informasi yang diberikan oleh orang Dayak bahwa P. hilgendorfii juga lebih agresif daripada P. bergii.

“Dengan demikian, hingga data molekuler tersedia, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa takson yang ditemukan di Sungai Tebat Rasau cenderung lebih dekat dengan P. hilgendorfii [Kalimantan Timur] ketimbang P. bergii [Kalimantan Barat],” tulis penelitian Arie Kiem dkk.

Mengapa spesies di Tebat Rasau tidak lebih dekat dengan P. bergii [Kalimantan Barat], yang secara geografis lebih dekat daratan Belitung?

“Sejauh ini informasi mengenai kedua spesies tersebut sangat terbatas, hingga koleksi lebih terkumpul, diasumsikan di sini bahwa kedua spesies tersebut mungkin telah hidup bersama di seluruh Kalimantan dan P. hilgendorfii mungkin juga ditemukan di sungai-sungai di Kalimantan Barat. Belum diketahui bagaimana caranya menemukan jalan ke sungai di Belitung, yang mungkin terjadi pada masa Pleistosen,” tegas penelitian tersebut.

Sungai Purba

Masih jurnal yang sama, dipaparkan bahwa sistem sungai Pleistosen di Sundaland telah direkonstruksi melalui studi geologi dan hidrologi pulau yang membuktikan keberadaan sungai purba oleh Molengraaf dan Weber [1919], Molengraaff [1921, 1922], dan Voris [2000].

Sebagian besar sungai purba tersebut telah menghilang di bawah Laut Jawa setelah tenggelamnya sebagian besar Sundaland pada akhir Zaman Es ketiga [11.000 hingga 10.000 SM]; sehingga hanya sedikit yang bertahan hingga saat ini [Hall dan Morley 2004], salah satunya adalah sungai purba di Geosite Tebat Rasau.

“Keberadaan ikan buntal air tawar di Tebat Rasau [Belitung], yang lebih mirip dengan spesies di Kalimantan Timur [P. hilgendorfii] juga menjadi salah satu bukti biologis yang mendukung Tebat Rasau sebagai sungai purba,” tulis Keim et al., [2021].

Selama Pleistosen setidaknya ada dua sistem sungai besar di Sundaland, dan sungai purba Tebat Rasau termasuk dalam sistem sungai timur yang mencakup sebagian besar sungai dan anak-anak sungainya di Kalimantan saat ini.

Sementara sistem sungai bagian barat meliputi sungai-sungai di Sumatera sampai daratan Asia Tenggara, termasuk Sungai Mekong dan anak-anak sungainya, namun tidak termasuk sungai-sungai di Kalimantan.

“Hal ini tampaknya juga menjadi alasan tidak adanya spesies P. leiurus dan P. palembangensis di Kalimantan, padahal dua spesies ini dianggap tersebar luas di Asia Tenggara. Akibatnya, ini membantah kemungkinan adanya satu dari dua spesies ini di Belitung, padahal Pulau Belitung relatif dekat dengan daratan Sumatera,” lanjutnya.

Mengutip IUCN Red List, spesies ikan buntal air tawar tidak beracun; Pao hilgendorfii dan Pao bergii, berstatus Kurang Data [Data Deficiente/DD]. Hal ini berdampak tidak diketahuinya ukuran dan tren populasinya, serta butuh informasi lebih banyak mengenai distribusi spesies, preferensi habitat, pemanfaatan, tingkat keparahan ancaman dan Tindakan konservasi.

“Tanpa data ini, tidak dapat ditentukan apakah memenuhi atau mendekati ambang batas untuk salah satu kriteria Daftar Merah. Oleh karena itu, spesies ini dinilai Kurang Data, membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi risiko kepunahannya,” dikutip dari IUCN Red List, Selasa [11/07/2023].

Referensi:

Keim, A.P. et al. [2021]. Tebat Rasau Geopark: Ethnobiology and Ethnogeology of a Pleistocene River in Belitung, Indonesia. Journal of Tropical Ethnobiology, 4[2], pp. 130–149. Available at: http://jte.pmei.or.id/index.php/jte/article/view/101.

Popta, C.M.L. [1905]. Suite des descriptions préliminaires des nouvelles espèces de poissons recueillies au Bornéo central par M. le Dr. AW Nieuwenhuis en 1898 et en 1900. Notes from the Leyden Museum, 25(4), pp. 171–186. Available at: https://repository.naturalis.nl/pub/508727.

IUCN Red List: https://www.iucnredlist.org/search?taxonomies=91348096&searchType=species

 

Artikel yang diterbitkan oleh Rahmadi R

Berita Lainnya

Index