ANALISD.com, Indonesia - Produk sawit Indonesia terancam tak bisa masuk dipasarkan ke kawasan Uni Eropa. Menyusul diberlakukannya Undang-undang (UU) Antideforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) sejak Mei 2023 lalu.

Di mana, dengan aturan terbaru itu, produk sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, dan turunannya yang masuk ke Uni Eropa harus memenuhi sejumlah syarat melalui uji tuntas. Produk yang dihasilkan dari proses memicu deforestasi per 31 Desember 2020 tidak boleh dijual ke Uni Eropa.

Dalih Uni Eropa, aturan baru itu diberlakukan untuk menekan laju deforestasi. Dan, mencegah berlanjutnya degradasi dan penyalahgunaan hutan.

Benarkah?

LPEM FEB UI pun menganalisis alasan di balik Uni Eropa memberlakukan EUDR. UU baru itu disebut bakal jadi penghambat ekspor berbagai komoditas dari negara berkembang ke Uni Eropa. Tak ketinggalan, produk unggulan ekspor Indonesia.

Disebutkan, kriteria utama dalam EUDR adalah produksi bebas deforestasi, ketertelusuran sumber daya produk, dan kegiatan produksi yang legal, seperti legalitas tanah, perlindungan lingkungan dan penjaminan hak tenaga kerja.

"Pengaturan EUDR menggunakan metriks/ tolak ukur yang ditentutan sendiri oleh Uni Eropa. Bukan menggunakan indikator-indikator pencapaian lingkungan yang sudah ada," tulis LPEM UI dalam Trade and Industry Brief edisi Juni 2023, dikutip Kamis (6/7/2023).

Kajian LPEM UI menemukan, UU itu bisa dijadikan sebagai alat bagi Uni Eropa untuk bernegosiasi dalam perundingan rencana kerja sama komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement/ I-EU CEPA).

Di mana, pada medio Mei 2023 lalu, kedua pihak sudah menyelesaikan perundingan putaran ke-14 di Brussel, Belgia.

"EUDR akan menjadi salah satu bargaining chip (strategi untuk memenangkan perundingan) UE untuk negosiasi perdagangan dengan Indonesia," sebut LPEM UI.

Dasar analisis LPEM UI mengacu pada pewaktuan dari EUDR yang persetujuan awalnya tercapai pada 6 Desember 2022 berdekatan dengan putaran ke-14 IEU CEPA.

"EUDR berpotensi memberikan dampak secara langsung yang lebih besar kepada negara-negara produsen tujuh komoditas tersebut. Karena eksportir harus memiliki dan menunjukkan dokumentasi spesifik bahwa produk mereka telah memenuhi kriteria yang ditetapkan," tulis LPEM UI.

"Bagi Indonesia, hadirnya EUDR ini dapat dilihat dari beberapa perspektif. Pertama, regulasi ini dapat didorong oleh upaya UE untuk menekan defisit neraca
perdagangan sekaligus melindungi produsen barang substitusinya di internal wilayah UE," tambah LPEM UI.

LPEM UI mencatat, defisit perdagangan UE terhadap Indonesia dalam beberapa terakhir memang mengalami lonjakan.

Mengutip ITC Trademap, LPEM UI mencatat, defisit perdagangan UE terhadap Indonesia pada tahun 2013 sebesar US$8,8 miliar. Tahun 2022 angka itu melonjak menjadi US$21,4 miliar.

Bagi Indonesia, EUDR akan jadi tantangan terbesar bagi ekspor minyak sawit (crude palm oil/ CPO).

Meski, sejak tahun 2018 ekspor minyak sawit RI ke kawasan itu dilaporkan terus menyusut, namun karena harga yang meningkat menyebabkan porsi ekspor ke UE tetap berperan besar.

"Indonesia perlu mengantisipasi kompensasi dari negosiasi EUDR tersebut dalam IEU CEPA. Permasalahan EUDR sebaiknya tidak sampai memengaruhi sikap Indonesia dalam pembatasan ekspor nikel dan bauksit," sebut LPEM UI.

Selain itu, LPEM UI mewanti-wanti potensi Uni Eropa menjadikan EUDR alat negosiasi agar pemerintah membuka keran impor yang kemudian akan berdampak pada kebijakan pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah untuk perusahaan asing.

"Kebijakan PBJ sebaiknya tetap memprioritaskan pada produsen dalam negeri. Khususnya fokus pada kemampuan UMKM untuk memenuhi kuota 40%," pungkas LPEM UI.

#Sorot

Index

Berita Lainnya

Index