ANALISD.com, Jakarta - Berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menuntut pembatalan dan pencabutan Undang-undang (UU) Nomor 6/2023 tentang Cipta Kerja. Mereka menilai UU ini mengancam lingkungan hidup dan hak-hak warga negara. Sejalan dengan itu, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Konfederasi Kasbi dan 12 organisasi masyarakat sipil juga sedang mengajukan gugatan uji formil UU Cipta Kerja ini ke Mahkamah Konstitusi dan sudah masukin proses persidangan.

Ribuan orang aksi dari gabungan serikat buruh, petani, mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil ini aksi pada 10 Agustus lalu menyuarakan penolakan itu.

Massa aksi bergerak dari Kantor International Labour Organization (ILO), hingga berorasi di kawasan Patung Arjuna Wiwaha. Mereka membawa spanduk dan poster berisi desakan pencabutan UU Ciptaker.

Uli Arta Siagian, Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, UU Ciptaker berpotensi mencabut hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Juga, hak memperoleh pengakuan maupun perlindungan atas wilayah kelola mereka. Tindakan-tindakan eksploitatif terhadap alam berisiko menyebabkan penurunan kualitas ekologi.

Bagi buruh, UU Ciptaker, berdampak pada upah, kontrak dan hubungan kerja, hingga pemberian pesangon yang layak_Foto Themmy Doaly.jpg

Bagi buruh, UU Ciptaker, berdampak pada upah, kontrak dan hubungan kerja, hingga pemberian pesangon yang layak_Foto Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Menurut dia, ancaman itu karena mandat UU Ciptaker untuk mempercepat penetapan kawasan hutan. Persoalannya, negara dapat mengklaim wilayah yang belum ada dokumen legalitas, walaupun masyarakat sudah tinggal di sana jauh sebelum kawasan jadi kawasan hutan bahkan sebelum Indonesia, ada.

“Penetapan kawasan hutan masih 70%, ini akan dikejar sampai 100%. Bisa dibayangkan kalau semua kawasan hutan itu dipercepat. Itu akan memperpanjang cerita konflik di wilayah lain,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 9 Agustus lalu.

Seharusnya,  negara koreksi terlebih dahulu penunjukan kawasan hutan. Setelah itu,  lakukan penetapan kawasan hutan lagi atau lanjutkan prosesnya.

Masalah lain, UU Ciptaker memandatkan pengintegrasian tata ruang wilayah darat maupun laut, dianggap menjadi momentum memfasilitasi proyek-proyek yang tak sesuai tata ruang. Begitu pula, kata Uli, keistimewaan proyek strategis nasional (PSN) yang berpotensi jalan tidak sesuai UU Penataan Ruang.

Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, UU Ciptaker hanyalah siasat untuk mendatangkan investasi sebanyak-banyaknya. Namun, investasi yang masuk bersifat ekstraktif, tidak ramah lingkungan, melanggar hak-hak buruh dan hak asasi manusia.

Sementara, pada sektor transisi energi, dia tidak melihat komitmen pemerintah dalam pengembangan dan transisi ke energi bersih dan berkelanjutan.

Poster berisi desakan pencabutan UU Ciptaker. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Poster berisi desakan pencabutan UU Ciptaker. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Rugikan buruh

Bagi buruh, dihapuskannya variable kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan penetapan upah minimum berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan. Hingga, kenaikan upah tidak akan mencapai kebutuhan hidup layak. Apalagi, sejak 2021, kenaikan upah sektoral tidak berlaku lagi.

Sunarno, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) khwatir, pemberlakuan UU Ciptaker makin memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebab, PHK hanya perlu melalui proses pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului perundingan.

Atribut aksi tolak UU Ciptaker_Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

Sebelum itu, 6 Juli lalu, ribuan petani dan buruh juga aksi tolak UU Ciptaker di depan Patung Arjuna Wijaya atau Patung Kuda. Mereka juga mengawal sidang lanjutan Mahakamah Konstitusi (MK) soal Pengujian Formil Undang-undang (UU) Nomor 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja.

Dengan mengenakan ponco (jas pelindung hujan), massa buruh dan tani membentangkan poster dan spanduk berisi penolakan UU Cipta Kerja. Karena, pemberlakuan UU ini dianggap hanya akan meminggirkan keberadaan masyarakat, khususnya petani dan buruh.

“Petani bisa makin terpuruk karena UU Cipta Kerja berpihak pada investor dan perusahaan. Kami khawatir terjadi ketidakadilan dan ketidaksejahteraan dengan adanya UU ini,” ujar Rendy,  petani, kepada Mongabay.

Aksi tolak UU Cipta Kerja juga dihadiri 25 perwakilan petani dari Sumatera Utara yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB). Selain menyatakan ketidaksepakatan pada UU Cipta Kerja, mereka berniat menagih janji pemerintah untuk menyelesaikan sengketa agraria di daerah itu.

UU Ciptaker dianggap mendatangkan investasi yang bersifat ekstraktif, tidak ramah lingkungan, melanggar hak-hak buruh dan hak asasi manusia. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

UU Ciptaker dianggap mendatangkan investasi yang bersifat ekstraktif, tidak ramah lingkungan, melanggar hak-hak buruh dan hak asasi manusia. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Delina perwakilan SPSB mengatakan, jauh sebelum UU Cipta Kerja ada, sengketa menahun antara petani dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II menyebabkan petani alih profesi, anak-anak mereka putus sekolah, dan mencekik ekonomi petani setempat.

Widi Wahyudi, perwakilan STMB khawatir, penetapan UU Cipta Kerja makin memperparah kondisi petani di berbagai tempat di Indonesia. Berkaca dari pengalamannya, lelaki yang belakangan harus kerja serabutan ini menilai, dalam upaya menyelesaikan konflik agraria pemerintah lebih sibuk mengurus persoalan administratif alih-alih keberlangsungan hidup masyarakat.

Apalagi, UU Cipta Kerja disebut memperpanjang umur hak guna usaha (HGU) dari 25 tahun jadi 90 tahun. “Hakikat UU Pokok Agraria akan terbunuh, karena negara lebih mementingkan investor,” ujar Widi.

Dewi Kartika, Sekretaris Jendral KPA mengatakan, UU Cipta Kerja merupakan upaya menutupi ketimpangan penguasaan tanah, mengabaikan konflik agraria, memiskinkan masyarakat di pedesaan dan perkotaan.

Massa aksi bergerak dari kantor International Labour Organization (ILO), hingga berorasi di kawasan patung Patung Arjuna Wiwaha. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Massa aksi bergerak dari kantor International Labour Organization (ILO), hingga berorasi di kawasan patung Patung Arjuna Wiwaha. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Dia khawatir, tanah-tanah masyarakat terancam proyek-proyek yang mendapat legitimasi UU Cipta Kerja, misal, proyek strategis nasional, kawasan ekonomi khusus, food estate sampai bank tanah.

Besarnya pendanaan untuk PSN dan kemudahan pengadaan tanah yang difasilitasi UU Cipta Kerja dinilai menunjukkan orientasi pembangunan yang liberal. Kondisi ini, katanya,  berbanding terbalik dengan APBN/ APBD minim untuk agenda reforma agraria. Juga sulitnya pemberian jaminan hak tanah untuk petani, buruh tani dan masyarakat adat.

Ditambah lagi, kata Dewi, UU Cipta Kerja menyatakan pangan impor setara dengan pangan produksi nasional. “Seharusnya, petani, peternak dan nelayan adalah produsen pangan negeri, bukan importir. Bukan korporasi pangan yang mengimpor beras dari luar negeri yang membuat gabah petani kita makin turun harga.”

Dia menilai, kemiskinan karena UU Cipta Kerja tidak hanya mengancam masyarakat pedesaan. Ketika petani kehilangan tanah, mereka harus mencari lapangan kerja dengan upah rendah di perkotaan.

Atas dasar itu, Dewi mengajak buruh dan petani memperkuat persatuan untuk konsisten menolak UU Cipta Kerja. Agar, problem pangan di pedesaan tidak berlanjut menjadi krisis kemiskinan dan ketimpangan di perkotaan.

Ribuan peserta aksi mereka dalam demonstrasi yang berlangsung di Jakarta, Kamis_Foto Themmy Doaly

Ribuan peserta aksi mereka dalam demonstrasi yang berlangsung di Jakarta. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

Gugatan hukum

Aksi unjuk rasa itu merupakan upaya mengawal gugatan judicial review yang diajukan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan 12 organisasi masyarakat sipil lain.

Asep Nana Mulyana, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham yang mewakili pemerintah dalam sidang itu mengatakan, Perppu Cipta Kerja bertujuan mendorong permintaan domestik di tengah penurunan permintaan global.

Berdasarkan data IMF dan World Bank, katanya, proyeksi penurunan harga komoditas pada 2023 dibanding 2022 akan berdampak pada performa ekspor komoditas dan penerimaan pemerintah Indonesia. Karena itu, langkah mitigasi yang perlu dilakukan adalah, pertama,  mendorong investasi dan konsumsi melalui percepatan implementasi cipta kerja melalui Perppu 2/2022 yang mudah, cepat dan pasti.

Kedua,       menjaga daya beli masyarakat. Ketiga, kebijakan tranformatif melalui hilirisasi sumber daya alam, transisi energi dan kebijakan ekonomi rendah karbon.

Keempat, kebijakan fiskal dan moneter fleksibel, responsif dan akomodatif dalam mendorong pertumbuhan perekonomian yang inklusif.

Kelima,  penguatan dan reformasi sektor keuangan melalui implementasi UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Aksi petani tuntut cabut UU Cipta Kerja di Jakarta, Juli lalu. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

****

 

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

Berita Lainnya

Index