ANALISD.com, Bali - Pada pertemuan Tingkat Tinggi Archipelagic and Island States (KTT AIS) Forum di Bali, 10-11 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, Indonesia akan jadi barisan terdepan untuk bersama-sama mengatasi sejumlah permasalahan negara kepulauan.  Perubahan iklim, kenaikan muka air laut, pencemaran oleh sampah dan limbah mengancam laut dan kedaulatan negara. KTT AIS ini salah satu komitmen Indonesia bekerja sama dan menyuarakan tantangan negara kepulauan.

“Indonesia sebagai negara maritim akan terus jadi barisan terdepan mendukung AIS Forum sebagai kerja sama inklusif negara pulau dan kepulauan,” katanya dalam keterangan pers usai memimpin KTT AIS  Forum.

Ada sejumlah komitmen dan hibah yang akan dimanfaatkan mengatasi perubahan iklim, pengembangan inovasi baru, dan tata kelola laut berkelanjutan.

Presiden contohkan,  manfaat konkret itu melalui beasiswa, riset bersama, startup, pelatihan digitalisasi, pendanaan inovatif, penghitungan karbon laut dan pelestarian hutan bakau.

Retno L. P. Marsudi menambahkan, hasil KTT pertama ini berupa deklarasi dengan dua hal besar. Pertama, pemimpin sepakat meningkatkan kerja sama pembentukan organisasi internasional, misal, membahas peta jalan.

Kedua, prioritas kerja sama yang akan dilakukan ke depan. Ada empat hal prioritas yang masuk deklarasi, yakni, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ekonomi biru dan ekowisata, mengatasi sampah laut, lalu tata kelola maritim yang baik.

Dia mengklaim, kalau forum lain kebanyakan top down, KTT AIS ini banyak gerakan berbasis komunitas untuk menyentuh kepentingan rakyat.

 

Nelayan saat melaut di perairan Kelurahan Sembulang, Pulau Rempang, Kota Batam, 12 September 2023. Apakah nelayan akan ada ruang tangkap ketika area pulau kecil dan persisirnya dimiliki pemodal? Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Retno contohkan, kelompok anak muda inovator dan punya ide baru mengatasi perubahan iklim. “We walk the talk. Menyangkut community based dan semua stakeholder,” katanya.

KTT AIS Forum 2023 ini, mengundang 51 negara pulau dan kepulauan serta sejumlah organisasi internasional. Dalam laman informasi forum ini disebutkan, KTT diikuti sembilan pimpinan organisasi internasional, antara lain dari Forum Negara Kepulauan Pasifik (PIF), Kelompok Kerja Sama Negara Melanesia (MSG), Kelompok Negara Komunitas Karibia (CARICOM), Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Negara pulau dan kepulauan sepakat membentuk AIS Forum yang saat itu secara kolektif oleh 21 negara yang hadir pada pertemuan antar menteri di Manado pada 2018 lewat Manado Joint Declaration.

Saat itu, inisiator utama atau yang mengusulkan pembentukan berdirinya AIS Forum adalah Indonesia. Setelah Ocean Conference 2017 di Kota New York dan Konferensi Forum Negara Pulau dan Kepulauan di Jakarta 2017, lahir pemahaman bersama di antara negara-negara partisipan AIS Forum.

 

Nelayan di Pulau Susu, Sumut, merasakan perubahan saat kondisi air laut berubah setelah di pesisir terbangun PLTU batubara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata mereka?

Berbagai organisasi masyarakat sipil jumpa pers dan merilis pernyataan bersama soal KTT ini.  Antara lain Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Forum Peduli Pulau Pari (FPPP), Walhi Bali, dan Walhi nasional.

Mereka kritik klaim pemerintah soal menyelamatkan pesisir, laut, dan masyarakat karena banyak persoalan dari konflik, eksploitasi di pesisir,  termasuk masalah di sejumlah regulasinya.

Melva Harahap, Manajer Kajian Kebencanaan Walhi Nasional, mengatakan, dalam satu dekade terakhir bencana iklim makin masif.

Menurut Melva, pada 2022 terjadi 1.057 cuaca ekstrem dan 26 kali gelombang pasang serta abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak nelayan tradisional tak bisa melaut.

Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, misal, sejumlah nelayan sudah tak bisa melaut selama tiga pekan sejak Desember 2022 karena cuaca buruk. Hasil tangkapan ikan tiga ton hilang di laut karena perahu nelayan kena hantam gelombang di Kota Kupang.

Nelayan meninggal karena cuaca buruk sebanyak 87 orang dalam 2010. Pada 2020,  naik jadi 251 orang.

Di Pulau kecil, bencana longsor di Pulau Serasan, Kepulauan Riau, pada pertengahan 2023 ini, menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk melindungi pulau kecil.  Belum lagi, katanya,  banyak pulau kecil dan pesisir  hancur untuk pertambangan nikel.

Masyarakat di  pulau kecil, katanya,  juga dipaksa pindah demi investasi, seperti di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia.

Apa yang dibahas dalam KTT ini, katanya, tidak terhubung langsung dengan kehidupan masyarakat nelayan. Dia contohkan, dalam isu ekonomi biru, ada capaian makro dalam sektor perikanan.

Kebijakan penangkapan ikan terukur, katanya,  malah memberi kuota besar pada kapal besar. “Bagaimana dengan nelayan yang terdampak krisis iklim? Apa regulasi yang disiapkan pemerintah? Apakah menyusun program jangka panjang hak nelayan?” tanyanya.

 

Penimbunan mangrove dan pesisir sungai di Nongsa Batam yang diprotes warga. Foto Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

 

Dekarbonisasi sektor pariwisata juga diilai tidak terhubung dengan masyarakat nelayan. “Narasi indah di KTT AIS tidak memecahkan masalah nelayan, sebagai klaim keberhasilan tata kelola laut.

Undang-undang Minerba hasil revisi juga mendorong wilayah pertambangan pesisir dan laut.  Ironisnya, penggugat UU ini, nelayan Bangka Belitung malah dikriminalisasi karena dinilai menghalangi pertambangan.

Demikian juga UU Cipta Kerja, kata Parid, lewat perppu membolehkan reklamasi, penangkapan skala besar, dan definisi nelayan dilonggarkan.

Made Krisna Dinata, Direktur Eksekutif Walhi Bali mengatakan, 10 tahun terakhir Bali sering diterjang bencana seperti banjir bandang, abrasi, dan lain-lain.

Dia mengutip Gubernur Bali, ada pengikisan 50 km garis pantai dalam lima tahun terkahir. Pembangunan infrastruktur di pesisir dan daratan dinilai mendegradasi lingkungan.

Abrasi di selatan seperti Kuta, Kedonganan, Kelan, dan sekitar cukup parah. Abrasi di Kelan, katanya,  merusak bangunan pinggir pantai.

Demikian juga sampah laut yang selalu hadir tiap tahun. Sisi lain,  tata kelola sampah masih buruk.

Pantai Pebuahan, Jembrana juga mengalami abrasi, lebih 70 rumah terdampak. Tak ada upaya maksimal menanggulangi abrasi. “Tak ada upaya mitigasi, setiap ada kegiatan internasional dibarengi pembangunan infrastruktur menyebabkan degradasi lingkungan,” katanya.

Dia contohkan,  pembangunan Jalan Tol Bali Mandara di atas laut untuk mendukung KTT APEC merusak mangrove di Teluk Benoa. Ada juga reklamasi pengembangan pelabuhan oleh Pelindo yang merusak 17 hektar mangrove dan lain-lain.

Amin Abdullah, Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat menyebut,  ada kemunduran dalam kehidupan nelayan.

 

Laut Wawonii, Sulawesi Tenggara,  dengan sebagian air berubah warga oranye, diduga cemaran ore nikel. Kehidupan masyarakat nelayan dan pesisir pun terganggu.  Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Dia sebutkan, dalam kebijakan PP No. 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, karena nelayan tradisional harus mengurus perizinan sangat rumit.

“Tahapan luar biasa, surat ukur, gross akta, dan lainnya. Setelah jadi kapal perikanan baru urus izin penangkapan, ini juga banyak runutannya. Tahap ketiga mengurus izin kegiatan melakukan  penangkapan, tahapan ini perlu duit dan waktu banyak,” katanya, seraya bilang, nelayan tidak bisa megurus sendiri.

Kapal besar akan berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya, salah satunya membuat rumpon besar  hingga berdampak pada migrasi ikan yang seharusnya ke teluk dan selat yang jadi wilayah tangkap nelayan kecil. Ikan pelagis besar, katanya,  berkumpul di rumpon-rumpon besar.

Dari kebijakan, melalui RZWP3K, perusahaan besar bisa menghilangkan fishing ground nelayan kecil karena izin pembudidaya terbuka

Berita Lainnya

Index