Petani Kinjil Dituduh Curi Sawit Plasma, Koalisi Tuntut Pembebasan

Petani Kinjil Dituduh Curi Sawit Plasma, Koalisi Tuntut Pembebasan
Aksi koalisi di depan kantor PT BGA, tuntut pembebasan para petani yang dikriminalisasi. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

ANALIS.com, Kalimantan Tengah - Ribuan koin rupiah pecahan bervariasi ditaburkan di depan pintu masuk kendaraan Kantor PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA), Jalan Melawai Raya, Jakarta Selatan, 19 Mei lalu. Aksi ini dilakukan Koalisi Keadilan untuk petani Kinjil yang protes penahanan Aleng, Suwadi dan Maju, warga yang dituding curi buah sawit oleh perusahaan bagian dari Harita Group ini di Kalimantan Tengah.

Sekitar Rp3.109.300 uang koin mereka tebarkan. Angka ini lebih besar dari tudingan kerugian perusahaan karena buah sawit ‘dicuri’ warga sebesar Rp2,9 juta.

Sesekali terdengar seruan ‘Nih kami kasih uang. Kalian kekurangan kan?’ Saat koin ditabur.  Petugas keamanan dan pekerja BGA melihat aksi itu dari dalam pagar tanpa memberikan reaksi apapun.

“Saya datang dari Kalteng untuk bertemu pimpinan BGA. Kami menuntut dibebaskannya Aleng, Suwadi dan Maju yang dituduh curi buah sawit di tanahnya sendiri,” kata Gusti Samudera, perwakilan masyarakat Kalimantan Tengah di tengah aksi.

Aleng Sugianto (63), Suwadi (40), dan Maju (63), merupakan tiga petani dari Desa Kinjil, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka ditahan di Polres Kotawaringin Barat karena berkonflik dengan anak usaha BGA, PT Bumijaya Gunajaya Abadi (BGB). Mereka dituduh mencuri sawit dari lahan perusahaan hingga menyebabkan menyebabkan kerugian perusahaan Rp2,9 juta. Warga kena terancam hukuman tujuh tahun penjara.

Tidak habis pikir dengan ulah BGB, koin pun dikumpulkan oleh Koalisi Keadilan untuk Kinjil di Palangka Raya dan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Niat mereka untuk memberikan uang lebih banyak yang dituduhkan hilang karena Aleng dan kawan-kawan.

“Mungkin BGA kekurangan uang, hingga kerugian Rp2,9 juta membuat rekan-rekan kita dipenjara. Karena itu, kami ke sini untuk berikan koin ini untuk bantu BGA,” ucap Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional di tengah aksi.

Upaya kriminalisasi

Kasus yang menjerat Aleng dan kawan-kawan sebenarnya bermula dari BGB yang mengajak masyarakat di sekitar konsesi di Kotawaringin Barat untuk bermitra dalam skema plasma pada 2005. Perjanjian awal, akan ada bagi hasil 50:50 antara perusahaan dengan masyarakat.

Setahun kemudian,  Aleng dan kawan-kawan menemukan keganjlan lahan yang dihitung sebagai skema inti-plasma hanya 0,3 hektar. Padahal, Aleng memberikan 8,3 hektar lahannya dan sepatutnya mendapatkan bagi hasil empat hektar lahan.

Keberatan, mereka protes dan meminta keluar dari skema inti-plasma. Berbagai cara ditempuh untuk bisa menyelesaikan persoalan ini, termasuk mengajak Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Tahun 2020, RSPO menyatakan tanah yang disengketakan di luar kapasitas mereka, karena berada di luar HGU perusahaan. Atas dasar itu, pemerintah desa mengeluarkan surat penyataan yang menyebut kalau tanah itu dikembalikan ke pemilik aslinya, Aleng dan Kitab, yang juga mempermasalahkan skema inti-plasma yang dijalankan BGB.

Aleng lepaskan seluas 8,3 hektar dan Kitab 11,24 hektar. “Perusahaan berkomitmen menyerahkan proses penyelesaian ke pemerintah desa dan pemerintah desa sepakati lahan itu dikembalikan ke pemilik aslinya,” kata Bayu Herinata, dari Walhi Kalimantan Tengah.

Saat kejadian, Aleng dkk sedang merawat sawit yang mereka tanam di lahan yang sudah dikembalikan. Mereka juga membersihkan sawit yang ada sebelum ditanam perusahaan di lahan itu.

Atas hal ini, perusahaan menuduh Aleng dan kawan-kawan yang berada di lahan yang sudah diserahkan itu sebagai pencurian buah sawit perusahaan. Puncaknya, Aleng dan kawan-kawan ditahan sejak akhir April lalu.

Penetapan tersangka pun tergolong cepat, hanya 24 jam sejak penahanan. Tidak hanya itu, penanganan kasus Aleng Cs pun langsung oleh Polres Kotawaringin Barat, bukan Polsek.

“Langsung diambil alih Polres, karena Polsek tidak mau menindaklanjuti. Ini indikasi kriminalisasi kuat. Palagi bukti yang dimunculkan perusahaan atau kepolisian sangat dicari-cari,” kata Bayu.

Aleng Cs merupakan sosok yang vokal dan di barisan depan saat memperjuangkan hak mereka di kasus ini. Karena itu, penangkapan mereka memperkuat indikasi kriminalisasi.

Bayu menyebut, ada pergerakan dari perusahaan yang berusaha memanen sawit di lahan yang tengah bersengketa ini. “Jadi, warga yang menjaga ditangkap biar mereka [perusahaan] leluasa panen. Tapi masih ada masyarakat yang standby di lahan-lahan ini.”

Tak ada itikad baik

Aksi di Jakarta yang melibatkan lebih dari 15 orang ini sebenarnya merupakan upaya yang terpaksa dilakukan karena mentok mediasi dan aksi di daerah. Beberapa kali perusahaan diajak berdiskusi oleh Koalisi Keadilan untuk Kinjil tetapi hasil nihil.

Bayu mengatakan, perusahaan tak mau diajak bertemu, bahkan ketika ingin membicarakan skema inti-plasma yang dinilai tak sesuai kesepakatan awal.

“Ini bukan aksi pertama. Kami sudah aksi di kepolisian dan perusahaan. Kalau di perusahaan kami minta mereka cabut laporan, sementara kalau di kepolisian kami dorong mereka untuk melakukan penyelesaian kasus di luar pengadilan,” kata Bayu.

Upaya restorative justice coba dilakukan karena sebelumnya kepolisian sudah menerapkan pada dua orang tersangka lain, Siar dan Jaka. Kedua anak yang masih berusia 16 tahun ini dilepaskan karena dianggap masih di bawah umur.

“Kalau dua anak bisa, kenapa Pak Aleng dan kawan-kawan tidak? Kan pertimbangannya mereka adalah kepala keluarga dan sumber ekonomi keluarganya.”

Tidak ada itikad baik perusahaan juga terlihat saat aksi di depan Kantor BGA. Beberapa kali, perusahaan justru intimidatif mengambil gambar para pendemo dan memepet para pendemo yang berdiri di trotoar.

Adam Kurniawan, Manajer Pengembangan Potensi Rakyat Walhi Nasional bahkan sempat bersitegang dengan pria yang diketahui bernama Johan Sukardi, Direktur  BGA.

“Pukul,” kata Johan, sambil menunjuk pipinya kala memepet Adam.

Sebelumnya, Adam menegur Johan yang berdiri di trotoar dan menghalangi masa aksi. “Hei, jangan di situ!” seru Adam pada Johan yang memegang umbul-umbul yang diikat pada batang kayu setinggi 1.5 meter.

Tensi yang meninggi ini sempat membuat Uli  Siagian meminta pertolongan polisi untuk menjaga suasana tetap kondusif. Polisi yang menjaga aksi berdiri tidak jauh dari trotoar.

“Tolong, Pak Polisi, bantu jaga kondisi. Karena kami sudah mengurus perizinan aksi ini,” katanya.

Uli bilang, tindakan represif sempat dia terima karena beberapa kali BGA memepet dan menyenggolnya. “Itu bentuk represi. Mereka tidak ada itikad baik untuk menerima dan mendengarkan suara masyarakat,” kata Uli.

BGA tidak ada yang mau berkomentar soal aksi dan protes koalisi masyarakat sipil ini. “Tidak, proses hukum sudah berjalan,” kata Johan.

Koalisi Keadilan untuk Kinjil yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil seperti Walhi Kalteng, Walhi Nasional, Greenpeace, Pantau Gambut, Pilnet, Progress, Save Our Borneo, LBH Palangka Raya, Sawit Watch, koalisi pemuda dan mahasiswa di Pangkalan Bun dan Palangka Raya ini akan memperkuat barisan.

“Kami akan mengawal Pak Aleng sampai titik terakhir. Seandainya mereka harus di pengadilan, kita akan perang di pengadilan,” kata Gusti.

Berita Lainnya

Index