ANALISD.com - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap reforma agraria belum ditempatkan sebagai fondasi pembangunan nasional. Anggapan tersebut didasarkan dari agenda reforma agraria yang ada dalam visi misi para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berebut suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.

"Menakar rencana reforma agraria yang dijanjikan para kandidat capres dan capwares, terdapat lima catatan pokok KPA terhadap visi-misi para paslon," kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, dalam rilisnya, Senin (11/12/2023) kemarin.

Yang pertama, para kandidat belum menempatkan reforma agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional di bidang agraria dan di pedesaan. Agraria mencakup bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dan di atas tanah. Artinya, agraria bermakna luas terkait dengan urusan-urusan pembangunan di bidang pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk masalah pangan. Padahal cita-cita keadilan dan kedaulatan agraria mewujud dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Lebih lanjut, cita-cita agraria itu diterjemahkan lebih jauh melalui UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi setelah UUD 1945. UUPA mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

"Seharusnya para kandidat memiliki visi-misi untuk mengembalikan agenda reforma agraria sesuai aspirasi rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa atas sumber-sumber agraria," kata Dewi.

Yang kedua, para kandidat belum menempatkan reforma agraria sebagai peta jalan penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah bagi petani. Hak atas tanah untuk kaum petani dan rakyat kecil lainnya belum menjadi bagian dari pemenuhan dan pemulihan HAM. Padahal, menurutnya, krisis agraria di Indonesia sarat dengan konflik agraria, perampasan tanah masyarakat, penggusuran dan jatuhnya korban di wilayah-wilayah konflik agraria.

Sepanjang 2015-2022, KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.710 letusan konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia dengan luasan terdampak mencapai 5,88 juta hektare. Letusan konflik tersebut didominasi oleh sektor investasi dan bisnis yakni perkebunan sebanyak 1.023 letusan konflik, properti (625), infrastruktur (477), kehutanan (196), tambang (180), pertanian/agribisnis (154), pesisir dan pulau-pulau kecil (74), fasilitas militer (40).

"Sejalan dengan konflik agraria, terjadi ragam kekerasan yang harus dialami petani, masyarakat adat, aktivis. Sedikitnya 69 jiwa harus kehilangan nyawa, 38 ditembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang diikriminalisasi pada periode yang sama," ucap Dewi.

Ketiga, reforma agraria yang diusung para kandidat masih memandang bahwa urusan reforma agraria sebatas urusan tanah semata, ditempatkan sebagai program yang terpisah (parsial) dari kebijakan di bidang pangan, pertanian dan kesejahteraan petani. Padahal, lanjut Dewi, pandemi Covid-19 telah membuka kotak pandora tentang betapa rentannya bangsa ini terhadap ancaman krisis pangan.

Begitu kebijakan lockdown diberlakukan secara global, Indonesia yang masih menjalankan kebijakan importasi pangan mengalami kepanikan krisis pangan. Hal tersebut, menurut Dewi, ironis, sebab Indonesia merupakan bangsa agraris yang sesungguhnya diberkahi tanah dan kekayaan alam yang melimpah.

Situasi ini merupakan buah dari kebijakan pembangunan di bidang agraria dan pedesaan yang bersifat eksploitatif dan lapar tanah untuk kepentingan badan-badan usaha besar. Terjadi arus cepat konversi tanah pertanian ke fungsi-fungsi non-pertanian.

"Banyak tanah pertanian rakyat tergusur dan dikonversi menjadi perkebunan sawit, bangunan infrastruktur, properti, food estate, destinasi pariwisata premium dan pusat-pusat industri. Masyarakat agraris di pedesaan kehilangan tanah yang menjadi alat produksinya yang utama," katanya.

Dewi bilang, data BPS menunjukkan selama periode 2014-2019 telah terjadi penyusutan lahan pertanian (sawah) hingga 1 juta hektare akibat konversi lahan. Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I menunjukkan petani gurem (peasants, small farmers), yakni petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektare semakin bertambah menjadi 16,89 juta rumah tangga petani dari 14,25 juta di 2013.

Keempat, pelaksanaan reforma agraria mustahil jika dilakukan tanpa kelembagaan pelaksana yang otoritatif dan bersifat lintas sektor, yang langsung dipimpin oleh Presiden. Dewi menerangkan, baru-baru ini Presiden menandatangani revisi Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Perpres ini merupakan revisi terhadap Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Sayangnya apa yang menjadi aspirasi rakyat tidak didengar, salah satunya soal kelembagaan pelaksana reforma agraria, yang lagi-lagi kembali dipimpin setingkat menteri. Padahal, aspirasi Gerakan Reforma Agraria pada 2019 adalah perubahan kelembagaan dimana Presiden harus memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria, dan Presiden pada saat itu menyetujuinya.

Pengalaman selama hampir satu dekade kebijakan reforma agraria, Dewi menuturkan, menyimpulkan bahwa pelaksanaan reforma agraria yang hanya dipimpin setingkat menko dan menteri telah menyebabkan tujuang-tujuan reforma agraria tidak dapat dieksekusi, bahkan terjadi pembelokkan reforma agraria sekedar pensertifikatan tanah. Ego-sektoral antarkementerian/lembaga gagal dikikis oleh selevel menko sekalipun.

Sementera perbaikan ketimpangan penguasaan tanah dan penyelesaian konflik agraria menuntut kerjasama efektif antar sektor kementerian yang berkaitan dengan pertanahan, perkebunan, kehutanan, pertanian, pertambangan, pesisir, perairan, termasuk kementerian yang terkait pedesaan, BUMN, keuangan, hingga dukungan kepolisian dan TNI. Idealnya, pelaksanaan reforma agraria secara

Kelima, rencana reforma agraria dalam visi-misi para kandidat tidak konsekuen dan konsisten, masih lip-service dan kontradiktif dengan rencana pembangunan lainnya. Dewi menjelaskan, jika ditelaah dan dianalisis lebih dalam, agenda reforma agraria para kandidat masih seperti “gula-gula” atau sekedar tempelan program untuk menarik pemilih utamanya dari kaum tani dan gerakan sosial, sebab di dalam rumusan visi-misi banyak agenda-agenda pembangunan yang kontra-produktif bagi pelaksanaan reforma agraria itu sendiri.

Beberapa catatan mengenai janji dan kebijakan yang kami nilai kontra-reforma agraria dari pasangan calon 1, 2 dan 3, di antaranya masih kuat menempatkan program sertifikasi tanah (legalisasi asset) sebagai agenda reforma agraria, bukan koreksi ketimpangan dan penuntasan konflik agraria, masih menjalankan dan menerapkan kebijakan food estate dan contract farming.

Kemudian, melanjutkan pembangunan IKN di mana salah satunya kebijakan sangat kontroversial dan inkonstitusional dengan mendorong 190 tahun HGU dan 160 tahun HGB, yang bertentangan dengan UUPA 1960 dan putusan MK, melanjutkan program Bank Tanah sebagai mesin konsolidasi tanah untuk kepentingan investor dan menyelewengkan agenda reforma agraria.

Selanjutnya, melanggengkan domien verklaring atas tanah dan kehutanan, tidak ada agenda pembaruan hukum yang fundamental terhadap UU Cipta Kerja (dan PP/Perpres turunannya), yang berorientasi pada kepentingan para pemilik modal di bidang agraria dan SDA.

Atas dasar itu, mengingat situasi akut ketimpangan, konflik agraria, kemiskinan struktural, krisis pangan dan regenerasi petani, kami mengingatkan kembali bahwa Presiden-Wakil Presiden dan DPR terpilih ke depan penting menempatkan agenda reforma agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional.

"Memastikan pengalokasian tanah dan kekayaan alam yang senafas dengan cita-cita kemerdekaan, konstitusi dan UUPA menjadi komitmen Negara, dalam hal ini pemegang kekuasaan untuk menghadirkan keadilan sosial, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat," katanya.

Kemunduran agraria

Dewi menguraikan, selama kurun waktu 9 tahun terakhir telah terjadi kemunduran agraria, berupa ketimpangan penguasaan tanah yang tajam dan sistemik. Yang mana segelintir kelompok, sebanyak 1% (pengusaha, badan usaha) menguasai sekitar 68% kekayaan asset nasional berupa tanah/aset tanah.

"Kita seperti kembali ke era kolonial, di mana klaim-klaim sepihak oleh negara atas tanah atau yang dikenal azas domien verklaring semakin menguat dan merjalela," kata Dewi.

Dewi melanjutkan, yang terjadi kini merupakan sebuah ironi. Sebab visi dan misi konstitusionalisme agraria yang telah diukir oleh para pendiri dan pemikir bangsa tidak dijalankan secara penuh dan konsekwen, bahkan dikhianati berkali-kali oleh kekuasaan demi kekuasaan. Ketika Orde Baru memimpin dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dipeti-eskan secara politik, ragam UU sektoral dan liberal terkait pengaturan agraria dan sumber daya alam dilahirkan.

Terbitnya UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri di masa Orde Baru, lanjut Dewi, mendominasi pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia oleh penyelenggara pemrintahan. Terjadi pergeseran orientasi politik agraria dari UUPA yang populis, ke UU sektoral yang liberal dan kapitalistik.

Akibatnya, azas domein verklaring--Negaraisasi Tanah-Hutan--dan kemegahan asing di Tanah-Air yang telah ditutup rapat oleh UUPA, justru dibuka kembali pintunya lebar-lebar melalui penerbitan UU Penanaman Modal Asing. Sementara UU Pokok Kehutanan melakukan penunjukan dan penetapan kawasan hutan secara sepihak, tertutup, penuh manipulasi dan korupsi yang menyebabkan desa-desa masuk dalam klaim Negara atas nama kawasan hutan.

"Upaya pemulihan hak-hak rakyat pascakemerdekaan yang menjadi cita-cita Konstitusi dan UUPA praktis menguap. Demikianlah, “keterlanjuran” politik agraria liberal-kapitalistik semacam ini ternyata diterus-teruskan hingga hingga masa reformasi saat ini," ujarnya.

Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), kata Dewi, adalah wujud nyata dan terbaru penyelewengan penyelenggara negara secara kolektif, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif terhadap konstitusionalisme agraria, yang telah susah payah dibangun para pendiri-pemikir bangsa.

Menurut Dewi, UUCK mendorong satu tatanan ekonomi dan politik neoliberal yang berorientasi kuat memfasilitasi para pemilik modal, menghasilkan kemudahan-kemudahan berbisnis melalui cara-cara baru perampasan tanah rakyat atas nama proyek-proyek pembangunan dan investasi (PSN, KEK, KSPN, Bank Tanah, HPL, forest amnesty, food estate, IKN, dan lain-lain).

Tak sampai di situ, Dewi menyebut, UUCK juga menempatkan rakyat utamanya kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan di pedesaan dan masyarakat miskin di perkotaan sebatas obyek pembangunan. Tidak ada posisi dan peran strategis rakyat di dalam proses-proses pengambilan keputusan seperti perumusan UU dan persetujuan rencana serta model pembangunan.

Dewi melanjutkan, pengalaman pahit ketimpangan agraria dan kemiskinan akibat tiga setengah abad kolaborasi kolonialisme dan feodalisme, serta 32 tahun Orde Baru ternyata tidak menghasilkan efek jera bagi pemegang kekuasaan di masa reformasi sekarang ini. Justru yang terjadi adalah para elit penguasa, baik eksekutif maupun legislatif terus menerus memproduksi peraturan perundang-undangan dan membentuk lembaga-lembaga baru yang justru mengakibatkan ketimpangan dan penderitaan rakyat semakin parah dan berkepanjangan.

"Itulah konteks legacy agraria yang buruk, yang menjadi pekerjaan rumah besar para Presiden dan DPR RI hasil Pemilu 2024," ucap Dewi.

Berita Lainnya

Index