ANALISD.com - Kalangan organisasi lingkungan mendesak pemerintah meninjau ulang rencana pemutihan kebun sawit di kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar di Indonesia. Mereka menyebut, kebijakan itu membahayakan lingkungan dan cenderung menguntungkan korporasi besar.

Seturut identifikasi Pantau Gambut, dari keseluruhan kebun sawit yang hendak diputihkan sekitar 407.000 hektar atau 13-14%, berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG).Kawasan-kawasan  itu berada dalam kategori rentan terbakar.

Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut mengatakan, sebanyak 72% kebun sawit di KHG yang akan diputihkan berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk), 27% kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).

“Analisa sepanjang 2023, medium dan high risk yang kami proyeksikan pada Maret (terjadi kebakaran hutan), itu terjadi sekarang. Di area KHG saja,” katanya, dalam keterangan bersama TuK Indonesia, Pantau Gambut dan Greenpeace Indonesia, 25 Oktober lalu.

Pantau Gambut juga mendapati 11 grup korporasi dalam skema pemutihan di KHG, yang punya histori luasan area terbakar pada karhutla 2015-2020. Temuan itu, mereka peroleh setelah mengolah data burn area Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Ironisnya, 91,64% pemegang konsesi tidak menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla yang terjadi di wilayahnya,” kata Wahyu.

Peta sawit dalam kawasan hutan

 

Pantau Gambut juga mendapati, dari 32 perusahaan sawit yang beroperasi di area KHG, hanya lima yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya. Sedangkan, 27 perusahaan (84%) beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

Atas situasi itu, Wahyu menilai, kebijakan pemutihan 3,3 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan bertentangan dengan komitmen nationally determined contributions (NDC) Indonesia. Juga, menimbulkan pertanyaan terkait supremasi penegakan hukum bidang lingkungan hidup dan berdampak negatif bagi citra Indonesia sebagai pengusung ekonomi hijau.

Dari sisi ekonomi, Tuk Indonesia dalam studi kasus di Kalimantan Tengah (Kalteng) menemukan, realisasi pajak dari sektor sawit jauh dari potensi penerimaan. Padahal, pendapatan negara disebut sebagai salah satu alasan pemutihan kebun sawit di kawasan hutan.

Abdul Haris, pengkampanye TuK Indonesia mengatakan, dari potensi Rp6,4 triliun, perkebunan sawit di Kalteng disebut hanya mampu merealisasikan Rp2,3 triliun. Angka itupun disebut realisasi pajak dari seluruh sektor.

“Temuan itu menunjukkan tidak rasionalnya jadikan pendapatan negara sebagai alasan memutihkan kebun sawit di kawasan hutan,” katanya.

Ditambah lagi, dari 320 usaha yang akan diputihkan, hanya 72 terdaftar di Kalteng. Selebihnya, 173 usaha tak memiliki izin perkebunan.

Dia juga mengingatkan,  lembaga jasa keuangan untuk memperhatikan masalah ini. Berdasarkan catatan Tuk Indonesia, terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang mendapat sokongan pembiayaan dari lembaga jasa keuangan.

Perusahaan-perusahaan itu disebut memiliki total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia.

Aris menilai, jasa keuangan tidak bisa terpisahkan dari masalah ini. Apalagi, produk-produk sawit di kawasan hutan akan mengalir ke negara-negara rantai pasok, seperti Amerika dan Eropa. Negara-negara yang disebutnya punya standar berkelanjutan.

“Ini seharusnya mejadi perhatian serius lembaga jasa keuangan dalam mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti menanam sawit di dalam kawasan hutan, bahkan terlibat dalam kebakaran hutan,” katanya.

 

Ilustrasi. Kebakaran di lahan gambut Rawa Tripa . Foto: JUnaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Tiga fase

Rencana pemutihan kebun sawit di kawasan hutan bukanlah yang pertama kali terjadi. Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, melalui PP 60 tahun 2012, pemerintah telah memberi peluang pelepasan kawasan hutan.

Syaratnya, pemegang izin di areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada menteri. “Dengan batas waktu paling lama enam bulan,” katanya.

Pada fase kedua, PP 60/2012 diubah jadi PP 104/2015. Lewat PP ini, masa tenggang mengajukan pelepasan kawasan hutan juga bertambah jadi satu tahun. Selain itu, perkebunan di kawasan hutan lindung dan konservasi diberi kesempatan melanjutkan usaha selama satu daur tanaman pokok.

“Di kedua fase itu, perusahaan-perusahaan masih ekspansi kawasan hutan. Padahal, ada UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tegas melarang aktivitas di luar kehutanan. Bawa golok saja bisa dipidana. Tapi perusahaan masih menebang di kawasan hutan,” ujar Syahrul.

Di fase ketiga, UU Cipta Kerja menyisipkan dua pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal 110 A menyediakan masa tenggang selama tiga tahu–hingga 2 November 2023–bagi setiap orang yang memiliki perizinan berusaha dalam kawasan hutan untuk menyelesaikan persyaratan. Juga, mengubah sanksi pidana jadi sanksi administratif, seperti denda atau pencabutan perizinan berusaha.

Lalu, Pasal 110 B mengatur pemberian sanksi bagi setiap orang yang tanpa memiliki perizinan berusaha, melakukan kegiatan lain di kawasan hutan, sebelum 2 November 2023.

Sanksi yang dimaksud adalah penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif dan paksaan pemerintah.

“Perkebunan sawit yang beroperasi ilegal adalah pihak paling diuntungkan dengan UU Cipta Kerja. Termasuk Pasal 110 A dan 110 B yang memberikan peluang pemutihan untuk sawit-sawit ilegal di kawasan hutan ini.”

Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah 'keterlanjuran' ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto:

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan catatan Greenpeace dan TheTreeMap, total tanaman sawit dalam kawasan hutan di Indonesia seluas 3.118.804 hektar. Sawit-sawit itu juga berada di hutan konservasi dan lindung, masing-masing seluas 90.200 hektar dan 146.871 hektar.

Syahrul menilai, persoalan itu memperlihatkan tata kelola buruk, tidak ada transparansi dan penegakan hukum lemah. Alih-alih memperbaiki, pemerintah justru memutihkan kebun sawit di kawasan hutan.

Mereka mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuka nama-nama perusahaan yang akan diputihkan pada 2 November ini. “Artinya, setelah itu tidak ada lagi mekanisme pemutihan.”

Apa kata pemerintah? Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, pendekatan hukum dalam UU Cipta Kerja adalah ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.

Pengenaan sanksi administratif,  katanya, untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat di dalam kawasan. “Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktivitas dalam kawasan sebelum UU Cipta Kerja. Jika masih melakukan kegiatan setelah UU Cipta Kerja disahkan, langsung kena penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,” kata Bambang.

Luhut B. Pandjaitan,  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyebut, akan menindak tegas pelaku usaha yang tak menghiraukan upaya pemerintah memperbaiki tata kelola sawit.

Berdasarkan tangkapan satelit 2021, tutupan sawit diketahui mencapai 16,8 juta hektar, dengan 3,3 juta hektar dalam kawasan hutan.

Dari hasil audit, pemerintah menemukan banyak perusahaan belum memiliki izin seperti Izin Lokasi, perkebunan, dan hak guna usaha.

“Kami berharap, persoalan ini dapat diselesaikan dengan mekanisme Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja,” kata Luhut dikutip dari situs Kemenko Marves.

“Ke depan, satgas akan mendorong setiap pelaku usaha berkewajiban melengkapi izin-izin yang diperlukan.”

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index