Masyarakat Pulau Bayur Riau Tolak Tambang Batubara

Masyarakat Pulau Bayur Riau Tolak Tambang Batubara
Masyarakat Pulau Bayur membentang spanduk di tengah rapat bersama Komisi I DPRD Riau, membahas penolakan operasi tambang batubara, Juni 2023. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

ANALISD.com, Riau - Masyarakat Desa Pulau  Bayur  membentang spanduk empat kali satu meter pada dinding ruang rapat Komisi I DPRD Riau. Hari itu, 26 Juni, siang, tengah berlangsung rapat antara ketua dan dua anggota komisi bersama masyarakat Desa Pulau Bayur, Kecamatan Cerenti, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Spanduk menegaskan penolakan masyarakat Pulau Bayur terhadap aktivitas tambang batubara oleh PT Fabrik Komponen Industri Energi (FKIE). Ada dua alasan masyarakat, Pulau Bayur tak untuk ditambang dan kebun maupun ladang sumber penghidupan masa depan. Juga ada tagar, Save Pulau Bayur dan cabut IUP FKIE.

Eddy A Mohd Yatim, Ketua Komisi I terus mendengarkan keluh kesah masyarakat. Pertemuan itu berlangsung sekitar dua jam. Tiap warga yang hendak bicara diberi kesempatan, tanpa terkecuali.

Ada yang duduk juga berdiri karena tak kebagian kursi. Persamuhan itu juga terbuka untuk diliput awak media.

Masyarakat Pulau Bayur menolak rencana penambangan batubara di desa mereka  sejak tahun lalu. Waktu itu, masyarakat melihat orang-orang perusahaan survei lokasi, mengerahkan alat berat, bersihkan lahan, buat akses keluar masuk kendaraan hingga negosiasi pembebasan lahan yang disepakati dengan beberapa warga.

“Tambang batubara meresahkan masyarakat desa. Kami tidak setuju dengan izin pertambangan di Pulau Bayur,” kata Dalismar, Ketua Forum Masyarakat Peduli Pulau Bayur (FMPPB).

Mengutip pemberitaan beberapa media online antara Februari hingga Mei 2023, masyarakat pernah menyambangi Kantor Camat Cerenti, meminta perusahaan menghentikan aktivitas. Protes itu meluas dan direspon Pemerintah Kuantan Singingi dengan rapat di Balai Desa Pulau Bayur.

Pertemuan yang terlaksana Maret itu tidak sesuai harapan masyarakat. Hanya segelintir pemilik kebun yang bersinggungan dengan rencana penambangan diundang. Sempat kisruh dan tidak kondusif, rapat pindah di kantor camat.

Perusahaan tetap melanjutkan kegiatan. Masyarakat pun menutup jalan keluar masuk kendaraan dan alat berat. Sebagian jembatan dipotong hingga hanya bisa dilalui sepeda motor. Puncaknya, perusahaan melaporkan sembilan warga atas tuduhan menghalangi-halangi pekerjaan setelah selang air mereka terpotong.

Masweni, warga yang ikut penolakan dan salah satu yang dilaporkan bilang,  sebelum naik ke tebing menghentikan kegiatan perusahaan, mereka sudah beri imbauan dan peringatan terlebih dahulu. Waktu itu, juga hadir beberapa polisi tetapi perusahaan bergeming.

“Hampir 50-an puluhan orang naik ke atas tidak pernah memotong selang air. Kami hanya melarang pengeboran. Daripada masyarakat rugi, lebih baik perusahaan pergi. Perusahaan itu entah kapan masuk ke desa. Tidak ada yang tahu. Tiba-tiba ada saja,” kata Masweni.

Keterangan Masweni dibenarkan Baharudin, termasuk dilaporkan ke Polda Riau karena ikut aksi, saat itu. Katanya, masyarakat naik ke tebing hanya hendak menghentikan perusahaan membersihkan lahan. Di lokasi, masyarakat tak pernah melihat ada pemotongan selang air. Mereka baru tahu setelah ada pemanggilan.

Saat ini, masyarakat desa merasa terintimidasi atas laporan itu. Tidak ada yang berani memenuhi panggilan kepolisian. Selain karena jarak tempuh Pulau Bayur ke Pekanbaru, Markas Polda Riau, cukup jauh, juga mengingat biaya dan lebih mengutamakan mencari rezeki di kebun untuk biaya hidup sehari-hari.

“Perusahaan arogan. Apapun alasan penolakan masyarakat, mereka akan tetap bekerja,” kata Mardianto Manan, anggota Komisi I DPRD Riau, membantu menjelaskan kejadian di Pulau Bayur.

FMPPB juga melayangkan surat berisi penolakan ke sejumlah instansi Pemerintah Kuantan Singingi. Termasuk ke DPRD kabupaten bahkan Polres Kuantan Singingi. Namun tak pernah ada respon hingga kini.

Masyarakat Pulau Bayur memohon pada Komisi I DPRD Riau membantu penyelesaian masalah mereka.

Eddy janji memanggil pihak-pihak terkait dengan masalah ini termasuk memastikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang dilaporkan ke Polda Riau, karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Selain itu, dia juga akan membawa persoalan ini untuk dibahas pada lintas komisi, karena komisi I hanya mengurusi bidang hukum dan pemerintahan.

Tak patuh?

Dari data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, yang diperoleh Juli lalu, pemilik saham mayoritas perusahaan batubara ini Hadi Basalamah. Ada juga nama Amelie Raya Sari dan Rosalie Putri Sari sebagai komisaris. Reni Anggreani dan Indah Tamara Marina, masing sebagai direktur dan komisaris utama.

FKIE memperoleh persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi bahan galian batubara, 15 Oktober 2014. Izin ini diberikan Bupati Sukarmis. Saat ini, dia sebagai anggota DPRD Riau periode 2019-2024. Tercatat menempati posisi anggota Komisi IV membidangi pembangunan, antara lain meliputi pertambangan dan energi.

Hanya saja, sejak memperoleh izin atau setidaknya sampai 2021, FKIE tak langsung beraktivitas dan tidak pernah ada pemberitahuan maupun sosialisasi pada masyarakat. Tahu-tahu, pada Oktober 2022, perusahaan melobi masyarakat untuk menjual lahan dan berangsung-angsur mengerahkan peralatan untuk memulai operasi.

Perusahaan yang bekerja di lapangan bukan FKIE, melainkan PT Linka Dewaro Energi (LDE). Padahal, pemilik IUP seluas 9.822 hektar mencakup Desa Pulau Jambu, Pulau Bayur, Sikakak, Koto Cerenti, Teluk Pauh, Kampung Baru hingga Tanjung Medan, itu masih atas nama FKIE.

Saat ini, LDE menguasai 23 hektar rencana areal tambang, hasil jual beli lahan dengan masyarakat.

Keputusan Bupati Kuantan Singingi Nomor: 434a/X2014, jelas pemberian izin pada FKIE. Dalam diktum keempat, keenam dan ketujuh keputusan itu menyebutkan, perusahaan dilarang memindahkan IUP tanpa persetujuan bupati, harus menyampaikan RKAB paling lambat 60 hari setelah izin terbit dan harus memulai aktivitas setelah rencana kerja disetujui, sejak 90 hari kerja. Mestinya, perusahaan sudah memulai operasi pada 2015.

Pada diktum kedelapan, bupati dapat memberhentikan sementara, mencabut atau membatalkan IUP bila perusahaan tidak memenuhi kewajiban dan larangan yang dijelaskan pada diktum-diktum sebelumnya.

“IUP itu terbit tidak prosedur. Setelah ada izin baru ada pengkondisian lahan. Gara-gara itu terjadi pro dan kontra di tengah masyarakat yang menolak dan setuju tambang,” kata Sadrianto, tokoh masyarakat Kuantan Singingi, yang ikut pertemuan bersama Komisi I DPRD Riau.

Mardianto Manan mengatakan, penguasaan lahan terkesan dengan cara-cara intimidatif, supaya masyarakat melepaskan hak milik pada perusahaan. Hanya sekitar 10 warga yang jual lahan. Itu pun masyarakat luar Pulau Bayur yang kebetulan memiliki lahan di sana. Mayoritas masyarakat menolak menyerahkan lahan.

Suhardiman Amby,  Plt Bupati Kuantan Singingi, lemparkan persoalan itu ke pusat.  Dia mengatakan,  pertambangan batubara merupakan kewenangan pemerintah pusat lewat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Termasuk kewajiban dampak lingkungan yang harus diantisipasi dan diatasi perusahaan tambang, adalah urusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Memang izin awal dikeluarkan bupati. Tapi sesuai Undang-undang, saat ini, izin yang keluar masa lalu dilakukan harmonisasi. Daerah hanya kebagian debu dan lumpur. Semua kewenangan sudah di Jakarta. Kecuali galian c pasir dan koral, itu sudah dikembalikan ke pemerintah provinsi (gubernur),” kata Suhardiman, lewat aplikasi perpesanan, 6 Juli lalu.

Boy Jerry Even Sembiring,  Direktur Eksekutif Walhi Riau, dalam rilis Mei lalu mengatakan, pemerintah kabupaten tidak memiliki kewenangan lagi dalam pemberian, pencabutan atau pembatalan izin tambang. Namun, katanya, bupati bisa berpihak pada masyarakat dengan mengirim surat ke KESDM agar mengevaluasi izin FKIE.

Di samping masalah keterbukaan dan partisipasi masyarakat terhadap rencana investasi batubara, Rustam Effendi, juga tokoh masyarakat Kuantan Singingi, mempersoalkan pemberian izin tambang tak sesuai peruntukan ruang dan wilayah di kabupaten yang punya slogan bersatu nogori maju, itu.

Rustam bilang, berdasarkan Peraturan Daerah 1/2004, tentang RTRW Kuantan Singingi, menjelaskan, Kecamatan Cerenti hanya sebagai lahan pertanian. “Karena itu sumber mata pencarian pokok. Kalau untuk pertanian, kenapa jadi pertambangan? Berarti kebijakan Pemerintah Kuansing tidak konsisten.”

Saat ini, kata Mardianto Manan, Pemerintah Kuantan Singingi menyusun RTRW baru. Atas dasar itu, Eddy pun meminta masyarakat mengawal proses penyusunan jangan sampai mengubah peruntukan ruang alias dilegalkan jadi kawasan pertambangan.

Suhardiman bilang, Perda RTRW Kuantan Singingi 2004 sudah dianulir SK Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) jadi harus merujuk Perda RTRW Riau yang terbit 2018. Masalahnya, perda ini juga harus revisi karena beberapa pasal melanggar peraturan lebih tinggi.

Mengenai operasi produksi tambang batubara di Pulau Bayur oleh LDE, bukan FKIE, Suhardiman tidak ingin pemerintah daerah disalahkan. Dia menyarankan pakai saluran pengadilan untuk menguji keabsahan praktik itu.

Mongabay memperoleh selembar surat berkop PT Fabrik Komponen Industri Energi, tertanggal 8 Oktober 2021. Isinya, Hadi Basalamah, Direktur Utama, menugaskan Project Manager Dadang Hartanto, Koordinator Lapangan Apri Yadi Yansyah dan Tim Humas Ependi, mengurus sosialisasi masyarakat untuk drilling di area kerja IUP operasi produksi, Desa Pulau Bayur dan sekitar.

Sementara  Ridwan,  Direktur Operasional PT Linka Dewaro Energi, menjelaskan, soal operasi perusahaan. Mereka mulai bekerja awal 2023.  Dia bilang, ada pertemuan dengan beberapa tokoh desa.

Sebelum 2022, masyarakat Pulau Bayur sudah ada komunikasi dan bekerja dengan perusahaan tetapi muncul persoalan.

“Misal ada pengeboran. Satu titik pengeboran Rp350.000. Oleh tim humas perusahaan, sebelum LDE masuk, tidak dibayar penuh. Bahkan sampai tidak dibayarkan. Sampai akhirnya didengar masyarakat. Akhirnya terjadi keributan. Muncullah pro dan kontra. Padahal, saat itu sudah terjalin kesepakatan,” katanya.

Akhir 2022 masuk LDE. Awal Januari 2023, perusahaan survei lapangan berdasarkan informasi FKIE. “Kami temui tokoh masyarakat dan pemuda. Dihadiri aparat desa. Kami sampaikan rencana penambangan berdasarkan IUP FKIE.”

LDE  mengerjakan tambang di izin FKIE dia bilang, FKIE punya hak mesubkontrakkan kepada kontraktor pemegang izin usaha jasa penambangan (IUJP), termasuk LDE.

Dalam proses sosialisasi, masyarakat Pulau Bayur, berkeras tolak tambang batubara. Beberapa kali komunikasi, baik kecamatan maupun kabupaten, masyarakat disarankan untuk mengikuti.

Akhirnya, sampai pada kesepakatan pembebasan lahan. Lahan tidak produktif atau kosong Rp125 juta per hektar, lahan kebun karet di bawah lima tahun atau kebun lain Rp150 juta per hektar. Kebun sawit di bawah lima tahun Rp175 juta per hektar, sawit di atas lima tahun Rp200 juta per hektar.

“Masyarakat sepakat dan setuju. Maka terjadilah MoU. Masyarakat menyetujui lahan untuk ditambang. Sekitar 30 nama, lebih kurang 40 sampai 50 hektar telah dibayar. Saat ini, sudah masuk pengeboran batubara,” katanya dalam keterangan kepada Mongabay.

Ketika ditanya Masyarakat Desa Bayur khawatir lahan atau kebun terganggu, kata Ridwan, mereka tak menyentuh Desa Pulau Bayur.

“Sama sekali tidak ada. Yang kena itu hanya sebagian perkebunan dan sebagian lagi hutan. Masyarakat yang lahan kena tambang sudah diganti rugi. Mereka setuju tanah dibeli dan punya hak jual lahan. Yang protes itu, kalau memang ada lahan di sana, kami tidak ganggu. Kami tidak memaksa mereka jual lahannya.”

Kegiatan tambang batubara berdampak dengan akses mereka ke kebun? “Kalau itu yang kita bahas, daerah dan negara tidak akan maju. Kita turut serta dalam pembangunan daerah. Segala macam bentuk perubahan pasti ada perjuangan dan pengorbanan. Tapi tidak disia-siakan. Bukan diusir. Bukan dirampas,” katanya berdalih.

Dia klaim kekhawatiran soal dampak sebagai alasan klasik untuk mengintervensi perusahaan. “Sampai kapanpun tak akan maju kampung kita.”

Dia juga bicara soal produksi batubara dari sana,  akan mereka jual di dalam negeri, kemungkinan PLTU dan pabrik di Riau.

“Hari ini, harga turun. Bahkan tambang banyak collaps berhentikan pekerja. Biaya produksi dengan harga penjualan tidak seimbang.”

Dia sebutkan juga, batubara mereka rendah kalori. “Baru booming bisa dipakai perusahaan luar maupun dalam negeri, terhitung 2018. Selama ini mereka tidak menambang karena pasar tidak ada. Dengan inovasi low kalori bisa dicampur dengan high kalori. Itu salah satu alasan juga FKIE tidak produksi.”

Rugikan masyarakat

Sejak ada pembersihan lahan untuk persiapan penambangan batubara, masyarakat mengeluhkan kondisi lingkungan di Pulau Bayur. Kala musim hujan, jalanan jadi becek.

Ketika kemarau, perkebunan karet dan sawit—komoditas utama masyarakat—kering. Kondisi makin parah oleh debu yang timbul karena lalu lalang kendaraan perusahaan.

“Sekarang, lahan yang dikelola LDE, bersempadan dengan kebun saya. Mereka tengah melakukan penggalian. Sangat berpengaruh buruk bagi diri saya sendiri,” kata Masweni.

Ketika panas, katanyam kebun jadi gersang karena tak mampu menyerap air lagi. Saat ke kebun dia harus pakai kaca mata dan masker menghindari debu. Kalau musim hujan, dia terpaksa dorong motor karena jalan berlumpur sejak perusahaan beroperasi.

“Saya pernah bilang ke perusahaan, itu lahan saya. Mereka jual beli lahan tanpa sepengetahuan saya,” katanya.

Kecemasan serupa juga membayangi pikiran Herman, warga lain. Lahan sekitar 100 meter dari tambang batubara. Dia ingin masyarakat Pulau Bayur tetap sejahtera sebagai petani.  Dia berharap tambang batubara tak beroperasi.

Masyarakat Pulau Bayur kukuh menolak tambang batubara. “Tidak ada jalan lain. Kita perang. Untuk hidup anak cucuk kita,” kata Rustam Effendi.

Dia was-was dampak tambang ini bakal mereka rasakan puluhan tahun.

Suhardiman membantah gejolak di masyarakat. Kalau memang ada pun, itu urusan kepolisian untuk mengamankan investasi. Soal lahan masyarakat, katanya, merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN), lewat Kantor Pertanahan Kuantan Singingi.

Dia juga mempertanyakan masyarakat yang menolak tambang batubara ini.

“Kalau ada lahan masyarakat yang tidak mau diganti untung atau dikerjasamakan, lalu ada perampasan hak-hak masyarakat lokal tanpa ada penggantian, itu pasti berurusan dengan saya,” katanya,

Menurut Boy, melihat daya rusak tambang batubara yang sudah terjadi di tempat lain, wajar masyarakat Pulau Bayur menolak aktivitas di desanya.

Masyarakat, katanya,  khawatir operasi tambang bakal merusak lingkungan sekaligus merampas ruang hidup mereka. “Penolakan terhadap FKIE dan LDE merupakan hak konstitusional masyarakat.”

 

 

*******

 

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

#Lingkungan Hidup

Index

Berita Lainnya

Index