• Generasi muda Riau menyuarakan tuntutan kepada negara. Dari soal transportasi publik, pengelolaan sampah, penegakan hukum korporasi perusak lingkungan dan transisi energi bersih berkeadilan.Ada juga masalah ketersediaan ruang terbuka hijau, pengelolaan limbah industri, pengembangan teknologi ramah lingkungan serta ruang partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan menyangkut kebijakan lingkungan.
  •  Fhara Dilla Risky, siswi SMAN 2 Pekanbaru, mengatakan, anak muda Riau memiliki hak untuk menentukan nasibnya ke depan. Tuntutan mereka merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan ekologis tiap generasi.
  •  Rencana transisi energi pemerintah yang juga ditolak anak muda Riau, adalah pembangunan pembangkit listrik biomassa yang bersumber dari cangkang sawit. Target ini berpotensi membuka peluang bagi perusahaan dan cukong buka lahan baru untuk perkebunan sawit.
  •  Aksi anak muda Riau ini juga diisi parodi berbau janji-janji politik. Seorang memperagakan diri sebagai calon anggota legislatif dari satu partai. Dia seolah berkampanye, didampingi seorang tim sukses depan buruh, tani dan nelayan. Saat menerima keluhan dari masyarakat kelas bawah itu, sang caleg berjanji meningkatkan kesejehateraan kaum miskin.

 

ANALISD.com, Pekanbaru - Baliho 2×4 meter berdiri di trotoar depan Kantor Gubernur Riau, saat hari bebas berkendara, pagi 25 Juni lalu. Ia berisi delapan tuntutan orang muda Riau pada negara. Ada soal transportasi publik, pengelolaan sampah, penegakan hukum korporasi perusak lingkungan dan transisi energi bersih berkeadilan.

Ada juga masalah ketersediaan ruang terbuka hijau, pengelolaan limbah industri, pengembangan teknologi ramah lingkungan serta ruang partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan menyangkut kebijakan lingkungan.

Tiap-tiap tuntutan itu juga dipajang pada standing kayu penyangga bingkai yang berjejer. Di bawahnya, berderet 14 payung merah dan hijau yang menampakkan tulisan: call for justice. Pada bahu trotoar bersandar beberapa pamflet, memuat peringatan bahaya sampah plastik. Terakhir, kain putih bertuliskan: kota bertuah bebas sampah, membentang di atas aspal.

Para pejalan kaki, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, yang melintas bergantian merangkai tandatangan di tepi kain. Itu sebagai bentuk dukungan mereka pada anak muda.

“Senang melihat anak muda masih peduli dengan persoalan lingkungan sekitar dan kota tempat tinggalnya. Saya spontan berhenti di sini untuk beri tanda tangan. Menurut saya, masalah lingkungan jadi tanggungjawab kita juga,” kata Fitri, warga Pekanbaru.

Menurut dia, anak muda perlu ambil bagian dalam upaya penyelamatan lingkungan. Sebab, generasi sekarang dan akan datang merupakan paling terdampak terhadap perubahan iklim. “Saya berharap, kita cepat sadar dan mulai berbenah terutama dari diri sendiri.”

Aksi anak muda Riau ini juga diisi sedikit parodi berbau janji-janji politik. Seorang memperagakan diri sebagai calon anggota legislatif dari satu partai. Dia seolah berkampanye, didampingi seorang tim sukses depan buruh, tani dan nelayan. Saat menerima keluhan dari masyarakat kelas bawah itu, sang caleg berjanji meningkatkan kesejehateraan kaum miskin.

Delapan tuntutan anak muda Riau, ini lahir pasca mereka mengikuti seminar dan lokakarya bertajuk yang Muda yang Bersuara, akhir tahun lalu.

Gawe ini diikuti 28 pelajar dan mahasiswa se-Pekanbaru, sebagai upaya pengarusutamaan isu keadilan iklim dan keadilan antargenerasi.

“Menurut saya, ada beberapa cara mengatasi perubahan iklim, seperti menanam pohon skala besar, hingga dapat mengurangi pemanasan global itu,” kata Julihendri yang baru menyelesaikan SMAN 5 Pekanbaru.

Selain itu, katanya, juga mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghemat pemakaian bahan bakar. “Dengan cara bersepeda, jalan kaki atau menggunakan jasa angkutan umum,” katanya.

Fhara Dilla Risky, siswi SMAN 2 Pekanbaru, mengatakan, anak muda Riau memiliki hak untuk menentukan nasibnya ke depan. Tuntutan mereka merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan ekologis tiap generasi.

“Kami sebagai kelompok muda, merupakan ahli waris dan pewaris bagi bumi. Sayangnya,  makin hari justru makin rapuh. Setiap harinya, tiga sampai lima bencana terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagian besar adalah bencana iklim,” kata Fhara, prihatin.

Dia mengajak anak muda lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Bisa mulai dari hal kecil untuk perubahan yang besar, seperti selalu membawa tumbler dan totebag kalau berpergian. “Agar mengurangi pencemaran lingkungan dari sampah plastik.”

Apalagi, katanya, pemerintah masih kurang optimal menangani permasalahan sampah. 

Aksi anak muda Riau suarakan delapan tuntutan pada pemerintah. Foto: Walhi Riau

Bedah tuntutan

Satu dari delapan tuntutan anak muda Riau paling menonjol, menyoal pengelolaan sampah. Di Pekanbaru, pengadilan negeri telah menyatakan pemerintah kota lalai mengatasi permasalahan limbah padat sisa kegiatan sehari-hari manusia itu.

Antara lain, masih sangat minim tempat penampungan sementara, banyak tumpukan sampah tidak pada tempatnya hingga tempat pembuangan akhir yang masih menerapkan model open dumping alias ditumpuk pada areal terbuka.

“Pembuangan sampah model itu akan memperluas dampak pencemaran. Juga,  akan terus membutuhkan lahan semakin besar,” kata Umi Marufah,  Koordinator Riset dan Kebijakan Walhi Riau.

Seharusnya, Pemerintah Kota Pekanbaru sudah beralih ke sistem sanitary landfill.  Dengan membuang sampah pada satu area berlubang alias ditimbun dalam tanah. Paling penting, katanya,  mengatasi permasalahan sampah di hulu yakni,  menghentikan penggunaan plastik sekali pakai.

Selain masalah sampah, anak muda Riau menuntut negara, menghukum korporasi perkebunan, kehutanan dan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan merampas ruang kehidupan rakyat.

Tuntutan itu berangkat dari masalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan pengeruk sumber daya alam yang masih kerap terjadi. Misal, penyedotan pasir laut di Pulau Rupat yang sempat dilakukan PT Logomas Utama, sebelum akhirnya dihentikan secara permanen oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pemerintah belum mencabut izin Logomas. Sementara ruang kelola masyarakat Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, terutama nelayan kecil, sudah terlanjur terusik akibat alat pengeruk pasir perusahaan yang bekerja di bawah laut. Ikan sulit didapat. Laut sempat keruh. Terumbu karang dan padang lamun rusak.

“Masih ada ketimpangan dalam penegakan hukum bagi perusahaan pelanggar HAM,” tegas Umi.

Selain itu, menyoal transisi energi. Anak muda Riau menginginkan energi berkeadilan yang bersumber dari energi bersih, sesuai kondisi ketersediaan energi lokal dan memperhatikan aspek perlindungan masyarakat.

Anak muda Riau menolak rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Ia bukan energi terbarukan yang bersih juga bukan solusi mengatasi permasalahan sampah. Justru, katanya,  akan makin mencemari udara dan tentu berdampak pada kesehatan tak kalah buruk dengan energi fosil.

Rencana transisi energi pemerintah yang juga ditolak anak muda Riau, adalah pembangunan pembangkit listrik biomassa yang bersumber dari cangkang sawit. Target ini berpotensi membuka peluang bagi perusahaan dan cukong buka lahan baru untuk perkebunan sawit.

“Jadi yang dibilang, Riau terdepan dalam energi terbarukan adalah semu semata. Bisa dibilang energi palsu. Ternyata tidak benar-benar menyelesaikan persoalan energi.”

Peralihan energi dari kotor ke bersih berkelanjutan, katanya,  harus memastikan aspek keadilan bagi masyarakat. Jangan sampai,  hanya slogan energi baru terbarukan, tetapi sarat pelanggaran hak asasi manusia atau tidak berkelanjutan, karena menyebabkan kerusakan dan perampasan lahan lebih besar.

“Pembangunan dengan melenyapkan ruang hidup banyak orang tidak bisa dibiarkan. Sekalipun sumber energinya bersih, tapi praktiknya enggak adil, sama saja,” tegas Umi.

 

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

#Lingkungan Hidup

Index

Berita Lainnya

Index