ANALISD.com, Maluku - Bunyi serangga malam bersahut-sahutan bersambut dengan burung mencicit riuh di balik pepohonan. Mentari mulai masuk ke peraduan, sebentar lagi malam menjemput. Suasana tenang dan damai. Kondisi ini mungkin tak bisa dinikmati Masyarakat Adat Bati Kelusi dan Bati Tabalean, Desa Kelaba, Kecamatan Kian Darat, Seram Bagian Timur, Maluku.

Mengapa? Kedamaian warga terancam terusik karena hutan dan gunung tempat kehidupan mereka dikuasai perusahaan minyak dan gas (migas). Perusahaan migas mulai pengeboran. Dua perusahaan itu PT Balam Energy Limited dan PT Bureau Geophysical Prospecting (BGP).

Warga mulai protes. Pada 26 juli 2022, berikat kain berang–kain merah saat ritual adat orang Maluku—Masyarakat Adat Bati Kilusi dan Bati Tabalean, berkumpul di hutan adat. Mereka memasang sasi adat guna menghalangi dua perusahaan migas yang beroperasi tanpa izin di tanah ulayat.

Ritual sasi berlangsung khusuk diiringi isak tangis pria paruh baya. Dia sesenggukan berbicara dalam bahasa lokal, sambil bersimpuh mencium tanah. Dia menghentak tanah tempat bersimpuh di dekat lubang yang dibor perusahaan. Isak tangis pecah terdengar dari sejumlah warga adat yang lain.

“Secepatnya angkat kaki, dan jangan lagi melakukan operasi di sini selamanya” kata tokoh adat serentak.

Bagi mereka tanah ibarat anak cucu yang harus dilindungi. Mengebor tanah, sama saja melukai ubun-ubun anak mereka.

Ritual adat dengan memasang janur kelapa sebagai tanda larangan beraktivitas di lokasi itu. Selain janur, sejumlah kain merah dipasang mengelilingi lokasi itu.

Kelimodar, pemuda Bati sempat histeris saat memasang janur sasi.

Pengeboran perusahaan migas meresahkan mereka. Aktivitas tanpa izin dan pemberitahuan.

“Perusahaan sudah melanggar dan mencoba merusak tanah Bati. Harus bayar denda, satu lubang bor,  Rp1 miliar,” kata warga ramai-ramai.

Selain itu, mereka juga sasi di hutan Kapitan Duba, tempat perusahaan bangun kamp karyawan. Sempat terjadi adu mulut antara masyarakat dengan pekerja di situ.

Masyarakat adat juga terganggu dan histeris melihat sejumlah aparat Brimob menjaga lokasi.

“Kalian tidak bisa masuk di sini, disini tempat ritual adat kami, kami sudah palang tempat ini beberapa kali tapi tetap saja masuk dan aktivitas di sini,” teriak pemuda Bati.

Zainudin Kelsaba, keturunan Suku Bati merasa terganggu dengan aktivitas perusahaan di Gunung Bati.  “Gunung Bati itu tidak bisa diganggu siapapun,” katanya.

Untuk itu, sepanjang mereka hidup dan menghuni wilayah itu akan terus mempertahankan eksistensi Bati sebagai negeri adat, negeri leluhur yang sakral. Jadi, katanya, tak tidak boleh ada aktivitas orang luar.

Mereka, katanya, hidup tak bisa berpisah dari alam karena sudah jadi satu kesatuan.

“Bati ini sakral. Kami dan makhluk-makhluk yang tidak bisa lihat dengan mata, berdampingan kehidupan kami. Apapun aktivitas perusahaan, kami sangat menolak. Tidak boleh ada kegiatan di sana,” katanya.

Tempat keramat

Sambil menunjukkan sejumlah lubang yang dipalang, Zain melangkah menuju batu besar yang dipenuhi semak belukar dan pohon. Ini merupakan batu keramat yang mereka yakini sebagai tempat peradaban manusia pertama di Gunung Bati.

Batu keramat itu, katanya, sudah ada di sana ribuan tahun.

Pangkal batu ini, katanya,  berada di sekitar Kampung Bati Kelusi dan ujung di hutan. Dengan kehadiran tambang migas, katanya, mengganggu tempat sakral masyarakat adat.

Dia meminta, seluruh organisasi masyarakat adat membantu Komunitas Bati melawan perusahaan agar tak beraktivitas di sana.

“Gunung ini rumah bagi kami. Pohon, batu, adalah bagian dari kehidupan kami.”

Senada Yunus Rumalean, tetua adat Bati Tabalean. Dia pun resah atas kehadiran dua perusahaan di lokasi keramat mereka. Dia meminta,  kedua perusahaan keluar dari Gunung Bati.

Titik bor perusahaan, kata Yunus, berada di tempat para leluhur yang dianggap sakral.

“Ada mimpi-mimpi tetua adat bahwa kampung ini kena banjir karena itu menjadi peringatan leluhur,” ucap Zainudin menerjemahkan pernyataan Yunus yang gunakan bahasa lokal.

Tak hanya mengganggu tempat sakral mereka, kehadiran perusahaan juga membahayakan kehidupan masyarakat adat. Lokasi penyimpanan dinamit perusahaan tak jauh dari permukiman penduduk Desa Bati Tabaleam.

Dari pantauan Mongabay, jarak antara penyimpanan dinamit dengan rumah penduduk sekitar 30-50 meter. Dinamit-dinamit ini dalam bangunan rumah kecil yang dibangun dekat perkebunan cengkih.  Terlihat juga beberapa botol tabung gas yang hanya tergantung pada beberapa pohon cengkih dekat rumah dinamit itu.

“Di belakang beta ini ada tempat penyimpanan dinamit milik perusahaan. Sekitar dua, tiga meter sudah perkebunan warga yang sangat terancam sekali tempat penyimpanan dinamit ini,” kata Rahman Rumuar.

Bahkan, kata Rahman, rumah tempat penyimpanan dinamit itu tak ada penjagaan.

“Ini sangat rawan sekali, sangat tidak mempertimbangkan keselamatan pekerja dan masyarakat sekitar.”

Warga pun meminta perusahaan segera menghentikan aktivitas mereka termasuk rumah penyimpanan dinamit.

Pieter Jacob Pelupessy,  dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan Universitas Pattimura, mengatakan,  hutan adat Bati merupakan lokasi sakral hingga tidak bisa terpisah dari masyarakat adat.

“Menurut beta itu wilayah adat di Bati hingga itu wilayah mempunyai nyawa.”

Ratusan tahun, kata Pelupessy, nenek moyang orang bati sudah menjaga tanah bati dengan baik. Apalagi, wilayah itu merupakan hutan tersisa di Pulau Seram yang masih terjaga dengan baik.

Peneliti dan penulis buku Esuriun Orang Bati ini, mengatakan, orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur menyebut daerah kediaman mereka dengan nama tana (tanah) Bati. Ia terletak di wilayah adat Weurartafela Negeri Kian Darat, Kecamatan Seram Timur dan Desa Kilimoi, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten Seram Bagian Timur.

Dalam bukunya, Pelupessy menyebutkan, orang Bati mendiami lereng-lereng bukit dan pegunungan. Barulah pada 2009 Pemerintah Seram Bagian Timur membuka akses jalan penghubung untuk menghubungkan kampung atau dusun di Tana Bati.

Sebagian besar yang ditempati orang Bati masih hutan belantara di mana terdapat pohon-pohon besar dan rindang.

Wilayah sakral di hutan Bati harus terjaga dan harus mereka pelihara. Ia sangat fatal bagi mereka. Kalau sampai rusak, katanya, berarti merusak tubuh dari wilayah itu.

Gerakan Save Bati

Upaya mempertahankan tanah ulayat sebagai bagian dari identitas Masyarakat Adat Seram Timur, khusus Orang Bati, terus disuarakan berbagai elemen masyarakat dan pemuda adat di Maluku.

Ratusan orang, pemuda, dan mahasiswa tergabung dalam gerakan Save Bati turun jalan memprotes aktivitas perusahaan migas di tanah ulayat Bati, bertutut-turut dari pertengahan Agustus hingga Oktober 2022.

Aksi mereka memenuhi ruas jalan protokol utama di Kota Bula, Seram Bagian Timur (SBT), Maluku. Para pengunjuk rasa menolak kehadiran kedua perusahaan di tanah ulayat Bati.

Bahril Kelibai, koordinator aksi Save Bati mengatakan, aktivitas perusahaan menerobos hutan adat Bati tanpa izin.

“Mereka melakukan pengeboran di tiga titik pada lokasi yang dianggap sakral oleh orang Bati adalah bentuk kejahatan lingkungan dan pelecehan terhadap Masyarakat Adat Bati.”

Spanduk putih terbentang meminta dukungan masyarakat dengan membubuhkan tanda tangan menolak eksplorasi dua perusahaan migas di wilayah adat Bati.

Selain unjuk rasa mereka juga menggelar forum diskusi daring yang mengakat tema: “Hutan adat dalam ancaman kejahatan koorporasi”.

Dalam diskusi itu, Yunis Rumalean,  perwakilan Masyarakat Bati Tabalean mengatakan, Bati merupakan kepingan surga cantik di Seram Bagian Timur. Dalam kosmologi Masyarakat Seram bahkan Maluku,  secara umum meyakini tentang kesakralan Bati.

“Bati adalah wajah peradaban Bangsa Maluku. Masyarakat Adat Bati sangat menjaga keutuhan hak-hak kesulungan mereka yang tidak ingin tersentuh oleh pemilik modal yang ingin merusak tatanan adat yang mereka jaga selama ini,” katanya.

Aksi Save Bati di depan Kantor ESDM di Jakarta. Foto: Save Bati

Lenny Patty,  Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku mengatakan,  AMAN terus melakukan pendampingan, penguatan perjuangan masyarakat adat di Maluku, khusus Bati.

Dia menerangkan, situasi Maluku terkini, secara faktual mengakui keberadaan masyarakat adat. Namun dalam praktiknya,  kebijakan pemerintah justru menyangkal status masyarakat adat sebagai penyandang hak dan subyek hukum atas wilayah adatnya. Situasi Bati, katanya, jadi contoh nyata bagaimana praktik-praktik nakal itu langgeng.

“Pemerintah mengakui masyarakat adat, namun dalam praktik kebijakan pemerintah justru menyangkal, menyandra kepentingan masyarakat adat,” kata Patty.

Save Bati juga aksi ke Kantor Bupati dan DPRD  Seram Bagian Timur, Kantor Gubernur maupun DPRD Maluku. Save Bati juga menyuarakan penolakan ini sampai ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.

Saat aksi Save Bati November lalu ditemui Abdul Mukti Keliobas,  Bupati Seram Bagian Timur. Dia berjanji menindaklanjuti tuntutan masyarakat, termasuk penghentian aktivitas dua perusahaan di Gunung Bati.

“Pada prinsipnya saya akan mendengar apapun yang menjadi jeritan Masyarakat Adat Bati,” kata bupati di hadapan warga.

Dia berharap, Pemerintah Maluku mempertimbangkan dan meninjau kembali izin eksplorasi dua perusahaan migas ini.

“Kita bisa sama-sama turun di lokasi, bicara masyarakat, dengar dari masyarakat, dari situ kita bisa putuskan sama-sama. Jika masyarakat tidak mau menginginkan aktivitas apapun maka harus dihentikan. Mereka lebih tahu mana yang menjadi daerah sakral, mana daerah orang tua leluhur harus dijaga.”

Ilham Hoedrawi,  Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Seram Bagian Timur, mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup pada 2019 pernah diundang perusahaan untuk membahas dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) di Kota Ambon.

Dokumen itu, katanya, melalui proses uji, nilai, kemudian melihat kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul oleh perusahaan dalam mengelola lingkungan.

Untuk Komunitas Suku Bati, katanya, akan mengacu pada rencana tata ruang Seram Bagian Timur yang ditetapkan dengan peraturan daerah Nomor 7/2013  yang menetapkan Suku Bati dan sekitar sebagai kawasan budaya.

“Kawasan itu semestinya dilindungi dan dijaga, karena kita tidak mungkin membuat budaya baru. Apa yang ada itu sebagai kondisi sosial masyarakat yang harus dipertahankan,” kata Ilham.

Hutan Bati, ruang hidup Masyarakat Adat Bati. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Dia menyayangkan, tak ada koordinasi perusahaan dengan pemerintah setempat walau  sudah kajian dokumen amdal di provinsi yang difasilitasi Dinas Lingkungan Hidup Maluku.

“Maksud saya keberadaan perusahaan saat akan memulai aktivitas seismic ini mestinya berkoordinasi dengan beberapa instansi pemerintahan baik tata ruang, Kesbangpol, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan paling penting Dinas Lingkungan Hidup kabupaten. Sampai saat ini belum ada koordinasi mereka lakukan,” katanya April lalu.

BGP, katanya,  yang difasilitasi PT Balam Energi itu pernah ketemu pemerintah daerah guna memberitahukan kesiapan masuk.

“Artinya, permisi kita sudah datang, namun terkait koordinasi teknis itu belum. Kami dari DLH kabupaten belum pernah menerima informasi apapun dari perusahaan.”

Dia minta, perusahaan sosialisasi terlebih dahulu sebelum beraktivitas. Berdasarkan UU Nomor 22/2021 menyebutkan, perusahaan migas tidak boleh beraktivitas di dalam fasilitas umum seperti kawasan budaya, kawasan adat, dan tanah adat, tanah masyarakat tanpa mendapatkan izin khusus dari yang memanfaatkan kawasan-kawasan itu.

Devry Setyadi,  Seismic Operation Supervisor Balam Energy Ltd, mengatakan, Balam Energi mendapatkan izin dari pemerintah pusat untuk mengelola blok Seram, yakni di Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur.

Untuk Seram Bagian Timur dan Maluku Tengah, pencarian data potensi sumberdaya migas dan seismik sudah sejak 2020 di laut. Panjang total lintasan seismic sekitar 200 km di Maluku Tengah dan 120 km di Seram Bagian Timur.

Pada 2022, Balam eksplorasi di Seram Bagian Timur tepatnya di Gunung Bati,  Kecamatan Kian Darat dan Kecamatan Kilmuri.

Devry klaim semua sudah melalui prosedur. Mereka, katanya,  telah tatap muka dengan para perangkat pemerintah negeri maupun raja dan warga Bati.

“Kita telah bertemu semua tokoh adat, pemerintah negeri, tokoh agama di kian darat. Semua itu,  melalui tahapan prosedural. Sebelum kegiatan pun, kita mengawali dengan ritual adat oleh tetua-tetua adat bati di sana,” aku Devry.

Bagi Orang Bati, bagaimana pun Gunung dan hutan Bati, harus terjaga sebagai tempat sakral mereka.

“Kami hidup dengan alam, tidak perlu ada modifikasi, ada moderenisasi, cukup saja kami hidup dengan alam kami. Kami puas dan nikmat, nyaman, dan bahagia hidup dengan alam kami,” kata Zainudin.

Aksi penolakan pengeboran di Hutan Bati oleh Gabungan Organisasi Perempuan di Seram Bagian Timur. Foto: Save Bati

#Energi

Index

Berita Lainnya

Index