Aliansi Lintas Sektor hasil konferensi internasional ‘Transisi Yang Berkeadilan di Industri Sawit’ membawa harapan perubahan. “Kita membutuhkan transformasi sosial-ekologis yang radikal di industri sawit,” demikian petikan dalam deklarasi yang dirumuskan 30 November lalu.

Deklarasi ini dirumuskan setelah aliansi terbentuk di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Selain Indonesia, hadir pula perwakilan organisasi buruh dari Jerman, Kamerun, Thailand, India, Spanyol dan Malaysia.

Masing-masing perwakilan memberikan pandangan serta pengalamannya mengenai perburuhan di negaranya.

Just transition berarti strategi perubahan yang dilakukan oleh gerakan buruh yang bersekutu dengan gerakan keadilan lingkungan, petani, nelayan, gerakan perempuan, dan masyarakat adat,” tulis deklarasi itu.

Transisi berkeadilan bertujuan untuk transformasi sosial-ekologis yang berfokus pada kebutuhan manusia dalam ekonomi nol karbon, dengan menghormati alam yang lebih dari sekadar manusia.

Secara rinci,  deklarasi juga menuntut upah layak semua pekerja, termasuk perawatan kesehatan dan pensiun yang memberi martabat di hari tua. Kemudian, menuntut kontrak permanen untuk semua pekerja dan mengakhiri kontrak jangka pendek dan sistem upah harian.

Aliansi juga menuntut persamaan hak bagi buruh perempuan, perempuan petani, dan perempuan adat. Buruh perempuan yang dipekerjakan sebagai buruh harian harus diberikan kontrak permanen dan upah setara.

Selain itu, perlu pula upaya mendukung partisipasi aktif perempuan dalam gerakan sosial, termasuk gerakan buruh tani dan gerakan lingkungan. Perempuan perlu memiliki peran aktif dalam pengambilan keputusan dan ruang yang aman untuk menyuarakan kepentingan dan tuntutan mereka.

“Pekerjaan reproduksi perlu dibagi secara lebih setara antara perempuan dan laki-laki.”

 

Indonesia nomer satu produsen sawit dunia, dengan tata kelola buruk. Pembenahan mulai Pemerintah Indonesia lakukan, tetapi banyak kalangan keluhkan transparansi minim. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Mereka juga menuntut perlindungan kesehatan dan keselamatan bagi para pekerja, termasuk menyediakan akses gratis ke klinik dan infrastruktur kesehatan yang baik.

Dalam deklarasi, aliansi juga menuntut hak atas air bersih. Solusi konkret dapat mencakup penanaman spesies pohon asli di sepanjang tepi sungai, pelarangan penggunaan pestisida yang berbahaya, dan kewajiban membangun pembangkit listrik tenaga biogas di pabrik.

Mereka juga menuntut penghentian penggunaan pestisida dan pupuk berbahaya. “Sebagai gantinya, kami menyerukan penggunaan pengelolaan hama terpadu atau pestisida dan pupuk yang ramah lingkungan,” seruan di dalam deklarasi itu.

Mereka pun menyerukan penghentian ekspansi dan deforestasi. Harus ada jaminan pekerjaan bagi para pekerja, namun dengan syarat memperbaiki kondisi kerja di perkebunan yang ada.

Aliansi dalam deklarasi juga menyerukan reformasi agraria dan mengembalikan tanah-tanah masyarakat kepada rakyat. Utang petani kecil yang terjebak dalam sistem plasma harus dihapuskan hingga mereka memiliki sarana untuk melaksanakan transisi yang adil.

Industri sawit membutuhkan transisi dari produksi monokultur skala besar ke lanskap mosaik. Hal ini, sebut deklarasi itu,  dapat mencakup transformasi perkebunan menjadi sistem tanaman campuran. Dengan gunakan kayu asli dan pohon buah-buahan, tumpang sari dengan tanaman pertanian, dan kebun bagi pekerja untuk memproduksi makanan untuk konsumsi mereka sendiri.

Di Indonesia, data Sawit Watch 2022 mencatat, luas perkebunan sawit mencapai 25,07 juta hektar. Dari luasan itu, 60% dikuasai perusahaan besar. Sisanya, 35% petani, dan 5% perkebunan negara.

Tenaga kerja mencapai 16,2 juta orang, namun hanya 4,2 juta orang tercatat sebagai pekerja langsung dan 12 juta lainnya masuk dalam kategori pekerja tidak langsung, dengan mayoritas buruh perempuan.

Sawit Watch memberikan catatan untuk data itu, terkait hingga kini belum ada data resmi mengenai tenaga kerja buruh sawit di Indonesia. Data Sawit Watch merupakan hasil perhitungan dan tak diperoleh secara real time.

 

Pembukaan hutan ilegal untuk kelapa sawit di Provinsi Riau. Gambar oleh Rhett A Butler/Mongabay.

 

Potret ini juga terjadi di lima negara yang ikut dalam konferensi internasional ini. Perwakilan Kamboja menyatakan,  kondisi di negaranya tidak jauh berbeda.

“Tetapi kawan-kawan di Indonesia beruntung ketika masuk bekerja sudah ada serikat dengan kita berserikat bisa menuntut apa yang seharusnya didapatkan,” kata Vitha Doung, dari Federasi Pekerja Agrikultural Kamboja.

Pierkey Herera, dari Komite Koordinasi Sawit Kamboja mengatakan, mereka mengkonsolidasikan gerakan serikat pekerja dalam bentuk solidaritas agar lebih kuat dan bersama-sama melawan intimidasi oleh pemerintah.

“Kita mendorong membuat perjanjian perdamaian yang difasilitasi pemerintah dan melakukan upaya litigasi untuk mendapatkan hak-hak kita sebagai buruh sawit di Kamboja,” katanya.

Solidaritas ini perlu untuk menyusun strategi dan gerakan yang sama serta memberikan edukasi terhadap para buruh sawit.

 

Buruh perempuan sedang menyemport tanaman sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Buruh perempuan sedang menyemport tanaman sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Sebagai negara yang dikuasai militer, tak sedikit korban berjatuhan dalam dalam industri sawit. Ada buruh yang meninggal karena pestisida . Bahkan,  dalam tiga tahun terakhir banyak yang terbunuh.

Kamboja tidak memiliki ruang kuat dalam advokasi untuk mendapatkan hak-hak pekerja.

Para aktivis ini juga mendapatkan ancaman dari otoritas lokal pemeintahan dan penegak hukum. “Saya ingin memberikan ucapan terima kasih terhadap para pemimpin serikat yang menjadi kekuatan bagi kami,” katanya.

Perwakilan Kamerun, Aminata Finda Massaquoi, bekerja pada isu perempuan pedesaan mengisahkan perjuangannya mendampingi desa di sana. Sebuah perusahaan besar mengambil lahan warga yang tak punya kuasa untuk melawan.

Sebuah film dokumenter diputar untuk memperlihatkan perjuangan masyarakat melawan pihak yang relasi kuasa lebih kuat. Dikisahkan, sejak kedatangan perusahaan, masyarakat, khusus perempuan, menghadapi insiden kekerasan, kriminalisasi, dan pelecehan.

Perlawanan kuat juga muncul, sebagian besar dipimpin perempuan. Perlawanan yang berbicara dengan satu suara yang sama: tanah harus dikembalikan kepada masyarakat adat.

 

Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), aksi tuntut plasma dari perusahaan sawit PT HMBP sejak September lalu. Foto: dokumen video warga

 

Untuk isu sama, Suryani dari Solidaritas Perempuan, menekankan, solidiritas perempuan merupakan organisasi yang anggotanya individu baik laki-laki dan perempuan.

Permasalahan lahan dan keadilan iklim sangat memberikan pengaruh pada perempuan yang bekerja di akar rumput. Sebut saja perempuan tani, nelayan perempuan, buruh migran dan banyak lagi.

“Penting untuk membangun gerakan politik feminis di akar rumput untuk menguatkan pengetahuan buruh, termasuk hak perempuan untuk berserikat dan kelompok, karena kami percaya perempuan tidak mau berserikat karena tidak tahu,” katanya.

Perempuan akan dapat bergerak bila memahami hak-haknya tentu dengan dialog yang baik. Misal, berhak memilih pakaian dan mengalokasikan upah untuk kebutuhannya.

Peningkatan kapasitas perempuan pun perlu untuk menyuarakan hak dan advokasi hingga dapat mendorong perubahan. “Penting untuk mengitegrasikan perjuangan buruh, tanah, dan perempuan adat.”

 

Perlu pembenahan tata kelola industri sawit dari hulu ke hilir, termasuk perhatian kepada petani agar punya posisi tawar, bukan hanya diatur pebisnis skala besar. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Petani sawit di Indonesia, masih hadapi banyak persoalan. Petani sawit jadi bagian dalam Aliansi Sawit Berkeadilan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kartika Manurung, aktivis perempuan, menambahkan, konteks transisi yang adil perlu bicara tentang hak-hak perempuan dan bagaimana perempuan terlibat di dalamnya sebagai subyek dan pelaku.

“Perempuan harus terlibat, misal, hak atas buruh, tanah, dan lingkungan,” katanya.

Masalah yang dialami buruh perempuan saat ini adalah mereka tak memahami proses perekrutan, bagaimana kontrak kerja serta sistem pengupahan yang berlaku. Dengan begitu, sangat rentan bagi perempuan mengalami ketidakadilan dari sisi ketenagakerjaan.

Akses untuk keselamatan kerja minim, termasuk pula akses untuk layanan kesehatan. “Terkadang sulit bergabung dan terlibat di serikat buruh karena sibuk,” katanya.

Peningkatan pemahaman mendasar akan pentingnya berserikat pun harus terus didorong. Walau terlibat dalam serikat bagi perempuan sudah merupakan langkah yang baik, namun penting memastikan pemahaman peran mereka dalam serikat itu.

“Jangan sampai kita datang rapat serikat di belakang untuk buat teh saja. Kita harus di depan, harus memastikan isu-isu perempuan menjadi isu-isu serikat.” (Selesai)

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index