ANALISD.com, Sumbar - Sepanjang tahun 2023,  lahan gambut di Kabupaten Pesisir Selatan,  Sumatera Barat,  terbakar berulang kali. Organisasi lingkungan dan akademisi mengkritik serta mempertanyakan upaya pemerintah terlebih saat mereka seakan lempar tanggung jawab.

Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi dan Riset Walhi Sumbar mengatakan,  kebakaran hutan di Sumbar banyak terjadi di lahan gambut. Statusnya, kebanyakan hutan produksi konversi di Pesisir Selatan seperti di Lunang dan Tapan.

Dia memberi beberapa catatan untuk kebakaran kali ini. Pertama, dari pantauan Citra Satelit Nasa ditemukan 99 titik panas (hotspot) di Sumbar, lebih 30 berada di pesisir selatan. Kedua, hotspot juga pada konsesi sawit beberapa perusahaan sawit.

Kemudian, kebakaran hutan di kawasan hutan produksi ini adalah lahan gambut bertutupan. Keempat, tiap tahun terjadi kebakaran hutan termasuk tahun ini sudah dua kali,  Mei dan September.

Kelima, kebakaran hutan diduga karena bakar lahan untuk pembukaan kebun sawit.

Pemerintah, katanya,  harus mengatasi dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terhadap kesehatan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab.

Suasana Nagari Paru Sijunjung, seharian tertutup asap pekan lalu. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

Tanggung jawab itu, katanya, harus dilakukan dalam waktu dekat. “Asap ini sudah lebih dari tiga minggu.”

Pemerintah, katanya, juga harus mengidentifikasi peningkatan kasus ISPA, karena asap karhutla, memberikan pengobatan, dan kompensasi kepada warga.

Yozarwardi,  Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat mengatakan,  informasi lima titik panas masih mereka cermati. “Itu hasil pencermatan kami dari Sipongi Jumat pagi lalu. Tiga hotspot ini tidak muncul tapi dari laporan anggota kami di lapangan,” katanya.

Pada 14 September,  titik api paling banyak, sekitar 86 yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota. “Terbanyak Pesisir Selatan kita lihat dengan Sipongi, Satelit Terra Aqua, dan Nasa-NOAA.”

Menurut Yozarwardi, banyaknya asap bukan dari karhutla di Sumbar. “Karena kami koordinasi dengan BMKG menunjukkan tidak signifikan kebakaran hutan dan lahan di Sumbar lebih banyak dari Sumatera Selatan dan Jambi,” katanya.

Donny Gusrizal, Kepala Pelaksana BPBD Pesisir Selatan Sumbar mengatakan,  selalu memantau data dari satelit.

“Saat kita dapat laporan dari satelit dan masyarakat, sesuai dengan surat keputusan satgas kita berkoordinasi dengan kecamatan baik Polsek,  Babinsa, Danramil, kecamatan,  nagari dan masyarakat.  Kita segera turun lapangan dan pemadaman.”

Petugas gabungan berusaha memadamkan api kebakaran hutan dan lahan gambut di Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 26 Mei lalu. Foto: Adi Prima.

BPBD Pessel mengatakan,  antisipasi mereka dengan sosialisasi ke masyarakat tentang dampak kebakaran. Mereka juga  berkoordinasi dengan kesatuan pengelolaan hutan produksi tentang teknisnya.

“Juga ada rapat di pemerintahan provinsi ternyata asap ini dominan bukan berasal dari Pesse tapi kebakaran hutan wilayah tetangga,” katanya.

Donny mengatakan, yang paling penting adalah penegakan hukum. Namun,  mereka merasa kesulitan karena kekurangan peralatan untuk pemadaman saat api cukup besar.

BPBD, katanya,  memang dapat dukungan dari BNPB namun mereka kekurangan termasuk pos biaya operasional.

Pada Mei lalu,  gambut di Pesisir Selatan juga terbakar. Sekitar 100 hektar habis dilalap api. Juli lalu Mongabay bertanya pada Rumainur,  Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik soal karhutla di wilayah itu. Dia tidak memberikan data luas karhutla setiap tahun.

Menurut catatan BPBD kebakaran pada 5 September terjadi di Nagari Taluk Ampalu, Keamatan Pancung Soal dan Nagari Pondok Parian, Kecamatan Lunang. Luasan terbakar sekitar 10 hektar lahan gambut di kebun sawit yang bersebelahan dengan perusahaan sawit.

Pada 12 September,  kebakaran terjadi di Pantai Maharani Kecamatan Silaut. Yang terbakar adalah lahan yang bersebelahan dengan kebakaran Mei lalu di pinggir pantai.

“Akses sulit tapi sudah padam,” kata Donny.

Pada 13 September,  lokasi terbakar sekitar dua hektar di Nagari Tapan Koto Anau.

Meski begitu, kata  Rumainur,  dalam 10 tahun terakhir kebakaran terus terjadi. “Sering terbakar. Hampir tiap tahun. Cuma kecil, padam, kecil, padam,” katanya, seraya bilang, El-Nino akan meningkatkan risiko kebakaran hutan.

Indang Dewata,  pakar lingkungan hidup dari Universitas Negeri Padang mengatakan, seharusnya yang menjadi konsen pemerintah itu sumber api terlebih yang berada di konsesi atau area perusahaan.

“ Artinya,  ada penegakan hukum. Hari ini kita membicarakan asap, kalau dalam lingkungan asap itu dampak, yang harusnya dibicarakan itu adalah sumber asap,” katanya.

Dia mengatakan,  karhutla berulang dan data angka-angka dari pemerintah makin lama makin tidak bermakna karena tidak ada tindakan.

“Kadang angka-angka itu tidak lagi bermakna. Cuma statistik atau untuk menakut-nakuti? Tindak lanjutnya tidak ada?”

Nagari Paru di Kabupaten Sijunjungpekan lalu. Asap menutupi desa dari pagi sampai sore. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

Untuk itu, katanya, setiap ada investasi atau perizinan usaha serta industri harus ada pertimbangan ekologi, ekonomi dan sosial.

“Hari ini,  industri hanya mempertimbangkan ekonomi. Lingkungan dan sosial tidak dipertimbangkan. Alasannya untuk kesejahteraan rakyat, rakyat yang mana?” katanya.

Azwar Rasyidin, pakar hidrologis Universitas Andalas mengatakan,  harus ada tata kelola kanal baik di perusahaan atau di konsesi. Pengelolaan kanal ini, katanya,  juga harus diatur sedemikian rupa.

Kebakaran di satu titik bisa muncul di titik lain pada satu hamparan lahan gambut. “Jadi bisa saja kebakaran di satu tempat karena pembakaran di tempat lain.”

Indang juga menjelaskan,  mengenai konsep triangle of fire. Pertama,  kebakaran secara alamiah seperti ada panas tinggi di gambut dan terbakar.  Kedua,  karhutla karena tindakan tidak disengaja dari manusia atau sengaja seperti pembalakan liar maupun aktivitas perkebunan dan lain-lain.

Ketiga,  karhutla mencakup segi pengelolaan termasuk investasi. “Kecenderungan membakar efektif, murah dan mudah serta menguntungkan tapi akibatnya kerusakan ekologis.”

Ketika karthutla terjadi, katanya, manusia dan keragaman hayati pun  terancam, dari tanaman, satwa besar maupun kecil, seperti burung, semut dan lain-lain akan terpengaruh.

Petani, katanya,  sangat terdampak karhutla.

“Untuk proses fotosintesis, ketika tumbuhan atau petani dan padinya mulai tumbuh jadi padi, karena kekurangan sinar matahari padi akan hampa. Dampaknya dua sampai tiga bulan ke depan akan memengaruhi pendapatan petani.”

Seharusnya,  kata Indang, hal seperti ini jadi perhatian serius pemerintah.

Belum lagi, katanya,  peningkatan angka warga sakit seperti ISPA. Masyarakat tak mampu, katanya,  jadi lebih sulit.

Seharusnya,  perhatian bersama tak sekadar ritual karena terjadi dari tahun ke tahun. “Jadi, aspek penegakan hukum jadi lebih penting.”

Meskipun begitu,  kata Indang, masalah ini tak bisa ditangani dari satu sisi saja. Banyak kerugian selain kesehatan, termasuk ekonomi.

#Hutan

Index

Berita Lainnya

Index