Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rosan Roeslani mengatakan, pembahasan mengenai isu mineral kritis dalam negosiasi Kerangka Kerja Kesejahteraan Ekonomi Indo-Pasifik atau Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) rampung pada November tahun ini. 

Hasil kesepakatan itu nantinya bakal menjadi rujukan, sekaligus jalan bagi negara-negara ASEAN untuk mengejar insentif peningkatan perdagangan dan investasi transisi energi melalui program Inflation Reduction Act (IRA) atau Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang terbit pada Agustus 2022 lalu.  

Melalui IRA, pemerintah Amerika Serikat (AS) menggelontorkan US$ 369 miliar untuk menjaga ketahanan energi nasional sekaligus menekan dampak perubahan iklim. 

"Agar negara-negara ASEAN bisa menikmati insentif dari Pemerintah Amerika Serikat melalui program IRA yang kebetulan kami ajukan melalui inisiatif IPEF," kata Rosan saat Konferensi Pers KTT ASEAN ke-43 di Jakarta Conventional Center (JCC) pada Selasa (5/9).

Kendati demikian, di sisi lain, program tersebut juga menimbulkan kekhawatiran diskriminasi pajak untuk mineral kritis asal Indonesia yang diatur dalam IRA. 

Kekhawatiran tersebut timbul karena Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan adanya dominasi perusahaan Cina dalam industri nikel. IPEF merupakan inisiatif AS yang secara resmi diluncurkan oleh Presiden AS Joe Biden pada 23 Mei 2022 di Tokyo, Jepang. 

Terdapat 14 negara yang berpartisipasi dalam IPEF yaitu Amerika Serikat, Australia, Fiji, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Serta negara-negara ASEAN seperti Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. 

Rosan menyampaikan bahwa bersama negara-negara anggota ASEAN yang menjadi anggota IPEF, Indonesia akan mendukung upaya untuk meningkatkan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka.

"Inisiatif IPEF ini sudah kami bicarakan dengan negara-negara ASEAN lainnya, akan membantu untuk menyuarakan bersama dan kebetulan ada tujuh negara ASEAN anggota IPEF," kata Rosan.

Rosan optimistis, kesepakatan tersebut dapat membuahkan hasil positif mengingat dua negara ASEAN yang tergabung di EPF, Indonesia dan Filipina memiliki potensi cadangan bijih nikel atau mineral kritis melimpah. Komoditas tambang tersebut belakangan menjadi salah satu bahan baku komponen baterai kendaraan listrik.

Badan Survei Geologi AS mencatat produksi nikel di dunia diperkirakan mencapai 3,3 juta metrik ton pada 2022. Indonesia berada di urutan pertama dengan total produksinya diperkirakan mencapai 1,6 juta metrik ton atau menyumbang 48,48% dari total produksi nikel global sepanjang tahun lalu. 

Adapun Filipina yang berada di peringkat kedua dengan produksi nikel sebesar 330.000 metrik ton. "Potensi cadangan di Filipina dan Indonesia banyak, maka kami akan suarakan itu ke mitra kami di AS," ujar Rosan. 

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melangsungkan pertemuan dengan Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo di sela pertemuan tingkat Menteri IPEF di Detroit, AS pada Jumat (26/5).

Airlangga menyampaikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah cadangan nikel yang besar, sehingga dapat menjadi mitra strategis AS dalam mengembangkan kendaraan listrik. 

Mendag AS Gina Raimondo mengapresiasi dukungan Indonesia dalam Indo-Pacific Economic Framework. Ia menyampaikan, kerja sama pengembangan baterai kendaraan listrik dapat memberikan dampak besar bagi kedua negara, khususnya penyediaan lapangan kerja. 

“Indo-Pacific Economic Framework dapat menjadi pintu masuk investasi pelaku usaha Amerika ke Indonesia, khususnya di sektor critical mineral, semikonduktor, dan teknologi tinggi,” kata Raimondo.
 

#Energi

Index

Berita Lainnya

Index