ANALISD.com, Sulawesi Tenggara - Perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), beroperasi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.  Operasi tambang ini pun mendapat penolakan warga sejak awal. Pada 2022, warga Pulau Wawonii menggugat Perda RTRW Kabupaten Konawe yang mengatur alokasi ruang untuk pertambangan ke Mahkamah Agung dan menang.

Perusahaan  anak usaha Harita Group ini balik mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi UU No.27/2007 soal Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Koalisi organisasi masyarakat sipil antara lain terdiri dari YLBHI, Jatam Nasional, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Walhi , dan Trend Asia desak Mahkamah Konstitusi tolak gugatan perusahaan demi keselamatan pulau-pulau kecil dari ancaman industri ekstraktif, seperti tambang nikel ini.

Dalam UU No.27/2007, pulau kecil memiliki luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2, termasuk Kabupaten Konawe Kepulauan masuk kategori pulau kecil yang dikecualikan kegiatan pertambangan. Kabupaten Konawe Kepulauan seluas sekitar 706km2.

GKP menggugat Pasal 37 huruf K, yang menyebutkan, dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

 

Pengerukan ore nikel PT GKP di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Koalisi menilai,  permohonan GKP itu sebagai upaya GKP melegalkan pertambangan di Pulau Wawonii.  Kalau MK kabulkan permohonan itu, berdaya rusak parah karena akan mencakup semua pertambangan di pulau-pulau kecil di Indonesia. Kerusakan ekologis dan konflik sosial pun bisa makin parah.

Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional, mengatakan, Pulau Wawonii sebagai tempat lahir dan identitas masyarakat yang tidak bisa tergantikan. Ketika pulau kecil ditambang, bisa dikatakan terjadi eco genosida.

“Ketika tanah dan pesisir dirusak, bagaimana masyarakat bisa melanjutkan hidup. Ini dibunuh pelan-pelan… Orang Wawonii ketika pulau hilang dan diperparah dengan perubahan iklim, mau pulang ke mana?,” katanya.

 

Warga akan ke kebun, menyeberangi jalan tambang PT GKP di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Pantauan Jatam, laut yang berubah warna menjadi oranye karena tercemar lumpur limbah nikel sangat merugikan masyarakat, termasuk kelompok perempuan nelayan perairan dangkal. Mereka kehilangan ruang hidup untuk mencair biota laut saat air surut. Tempat pencarian utama mereka, katanya,  di pesisir berubah jadi Jeti GKP.

Belum lagi krisis air yang melanda selama berbulan-bulan membuat  masyarakat termasuk perempuan pesisir rentan. Saat menstruasi, misal, perempuan  membutuhkan banyak air bersih, tetapi air malah tercemar.

 

Sedimen lumpur oranye di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Jantung segitga karang dunia rusak

La Ode M. Aslan, pakar perikanan dan kelautan Universitas Halu Oleo Kendari, bingung dengan sikap pemerintah daerah dan pusat yang menerbitkan izin pertambangan di Pulau Wawonii. Padahal pulau itu sudah ditetapkan menjadi wilayah agraris maritim atau kawasan perikanan terpadu oleh BJ Habibie, ketika menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek).

Penambangan nikel di Pulau Wawonii,  yang mencemari laut Banda dengan limbah lumpur bisa merusak megabiodiversitas jantung segitiga karang dunia. Berhubung keberadaan Pulau Wawonii, katanya,  tepat di tengah segitiga karang dunia.

“Nikel salah satu logam berat. Kalau jumlah over dosis di satu perairan, habislah!”

 

Laut Wawonii dengan sebagian air berubah warga oranye, diduga cemaran ore nikel. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Aslan khawatir,  tingginya kadar merkuri dalam limbah nikel yang mencemari lingkungan pesisir dan manusia, juga menyebabkan para perempuan menjadi mandul di kemudian hari.

“Negara Indonesia negara paling aman buat para investor tambang karena (aturannya) tidak macam-macam,” sindir Aslan.

Aan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Pulau Wawonii, menceritakan perubahan kehidupan social masyarakat malah terjadi konflik sosial antar sesama warga,  seperti para orang tua yang terlibat dalam perseteruan pro-kontra kehadiran GKP.

Mereka  tidak saling sapa dalam keseharian, sebagaian warga mulai beralih kerja di perusahaan, beralih dari petani, biaya hidup di sana pun sama dengan perkotaan.

Untuk memenuhi kebutuhan protein, katanya,  warga terpaksa belanja ikan sampai ke Kota Kendari, dengan waktu tempuh tiga jam lebih dengan kapal laut. Padahal, mereka berada di tengah pulau yang sebelumnya, dengan mudah dapatkan protein dari ikan.

“Masuknya GKP di pulau kami cukup menimbulkan dampak luar biasa dari segi sosial, lingkungan dan ekonomi,” kata Aan.

 

Pembukaan hutan untuk tambang nikel di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

Pembukaan hutan untuk tambang nikel di Pulau Wawonii. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

*******

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

#Energi

Index

Berita Lainnya

Index