ANALISD.com - Pada masyarakat adat di Indonesia, yang hidupnya di dalam atau sekitar hutan, sungai, danau, dan laut, memiliki sejumlah mitos. Mitos-mitos ini menunjukan kekuatan supranatural yang menguasai alam semesta. Mitos ini dikisahkan dengan simbol manusia dan hewan yang bersifat sakral, sehingga melahirkan sejumlah ritual.

Sejumlah masyarakat atau komunitas adat di Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung memiliki mitos. Di Sumatera Selatan, dikenal Si Pahit Lidah, sosok manusia sakti yang mampu membuat manusia, hewan, atau benda-benda buatan manusia, menjadi batu [andesit].

Sampai saat ini, banyak tempat atau batu di sejumlah wilayah di Sumatera Selatan, yang disakralkan. Tidak sedikit, di lokasi disakralkan itu dilangsungkan sebuah ritual, sebagai penghormatan terhadap Si Pahit Lidah.

Di Kepulauan Bangka Belitung dikenal kisah Akek Antak, sosok manusia sakti yang hidup di masa lalu. Keberadaannya terhubung dengan batu [granit]. Selain mampu membuat makhluk hidup dan benda menjadi batu, Akek Antak juga dikenal dengan jejak telapak kaki pada sejumlah batu.

Kisah Akek Antak ini dikenal pada setiap masyarakat adat yang hidup di sekitar geopark di Pulau Bangka, seperti Bukit Penyabung, Pantai Bembang, Pantai Jerangkat, Pantai Penganak, Tanjung Tengkalat, Pantai Punggur Puing, Gunung Permisan, Sungai Olin, dan Pantai Tapak Dewa.

Selain mitos terkait sosok manusia, juga ditemukan mitos terkait hewan. Di Sumatera Selatan dan di Kepulauan Bangka Belitung, dikenal mitos buaya putih, sebagai penunggu atau penjaga danau, rawa dan sungai.

Di Palembang, misalnya dikenal mitos buaya putih dan antu banyu yang menjaga Sungai Musi. Sementara di Pagaralam, dikenal mitos harimau putih atau manusia harimau, yang hidup di hutan rimba dan di Gunung Dempo.

Hendra Gunawan, Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], mengatakan bahwa beragam mitos yang mendorong masyarakat atau komunitas adat untuk menjaga hutan, gunung, sungai dan laut, harus dipahami sebagai kearifan lokal atau pengetahuan lokal, yang perlu dilestarikan atau diteruskan.

Jelasnya, mitos jangan dipahami sebagai lawan dari fakta. “Sehingga ketika cerita atau kepercayaan masyarakat yang terkait dengan pengetahuan atau kearifan dalam pengelolaan sumber daya atau hidup harmonis dengan alam, itu bukan semata mitos tapi sebuah pengetahuan atau kearifan lokal,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [5/8/2023].

Hendra mencontohkan keberadaan hutan keramat, seperti dijelaskan di channel Youtube Jagattani TV. Dijelaskannya, hutan keramat itu adalah hutan yang dilindungi, dijaga, dirawat, dilestarikan oleh satu komunitas. Biasanya komunitas adat atau komunitas lokal. Masyarakat adat melindunginya, karena hutan itu memiliki nilai-nilai yang dihormati dan dihargai.

Nilai-nilai itu. Pertama, nilai spiritual. Kedua, nilai kultural. Ketiga, nilai sosial, dan keempat, nilai intrisik dari hutan tersebut. “Ini yang penting. Nilai yang melekat pada hutan itu. Yakni manfaat. Misalnya, guna melindungi mata air di dalam hutan itu.”

Telapak kaki Akek Antak yang ukurannya cukup besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Menghindari bencana

Dikarenakan semua mitos itu terkait dengan kekuatan supranatural yang menguasai alam semesta, “Maka, masyarakat adat akan menjaga atau tidak merusak wilayah atau benda yang disakralkan terkait mitos tersebut,” kata Dr. Husni Tamrin, budayawan Palembang, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [5/8/2023].

“Jika alam dirusak, maka dia [kekuatan supranatural] akan memberikan berbagai bencana dan penyakit, yang membuat manusia menderita atau meninggal dunia,” jelas Husni.

Wujud dari penjagaan wilayah sakral ini, membuat banyak hutan rimba, bukit, gunung, sungai, danau, laut, terus terjaga hingga saat ini.

“Biasanya disebut sebagai wilayah larangan. Misalnya hutan larangan, bukit larangan, sungai larangan, rawa larangan, dan lainnya.”

Pengertian dilarang ini terkait dengan aktivitas manusia. Baik untuk membuat permukiman, ladang, kebun, atau mengakses untuk mencari kayu, ikan, dan sejumlah satwa.

“Masyarakat adat akan patuh dengan hal ini, sebab mereka takut mendapatkan sanksi dari kekuatan supranatural [mitos] tersebut. Misalnya terserang penyakit, hidup sial, dan kematian.”

Dijelaskan Husni, baik Si Pahit Lidah maupun Akek Antak, sama-sama menunjukan sikap yang tidak suka terhadap manusia serakah, sombong, atau tidak patuh dengan penguasa alam semesta.

“Mereka akan memberikan hukuman terhadap manusia-manusia yang sombong atau serakah terhadap alam semesta, dengan kekuatan yang diberikan penguasa alam semesta.”

Banyak pesan, yang menyebutkan, jika kesombongan atau keserakahan tersebut dilakukan kelompok atau komunitas, maka kemarahannya berupa bencana kekeringan, banjir, krisis pangan atau serangan wabah penyakit.

Beberapa dukun atau tokoh adat di Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan jika bukit-bukit rusak, maka Pulau Bangka, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, akan tenggelam.

“Ada tujuh bukit di Pulau Bangka yang harus dilindungi. Salah satunya Gunung [Bukit] Maras ini. Jika Gunung Maras ini rusak [hutan maupun lahannya], maka Pulau Bangka tenggelam, termasuk Pulau Sumatera dan Jawa. Itu pesan dari leluhur kami, sehingga harus menjaga bukit-bukit ini. Bencana tersebut dikarenakan para penguasa [supranatural] di Gunung Maras ini marah,” kata Umran [75], tokoh adat Suku Maras, yang ditemui Mongabay Indonesia di kediamannya di Dusun Rambang, Desa Berbura, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, tahun 2021 lalu.

Ketujuh bukit itu, yakni Gunung Maras, Bukit Menumbing, Gunung Pelawan, Bukit Mangkol, Gunung Muda, Bukit Nenek, dan Bukit Batu Kepale.

“Leluhur kami mengajarkan agar melindungi hutan dan bukit. Jika hutan dan bukit rusak, maka akan terjadi banjir besar. Pulau Bangka tenggelam,” kata Abok Geboi [54], tokoh adat Suku Mapur, yang menetap di Dusun Aik Abik, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka.

Suku Melayu  di Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah, setiap tahun melakukan taber laot atau sedekah laut di pantai Batu Beriga. Ritual ini sebagai tanda mengunci laut selama tiga hari. Mengunci artinya, warga di Desa Batu Beriga dan sekitarnya dilarang pergi ke laut. Baik mencari ikan, mandi, dan kegiatan lain.

Mitosnya, tiga hari itu merupakan waktunya untuk para penguasa laut. “Jika dilanggar, bencana akan menimpa si pelanggar. Banyak yang hilang nyawa,” kata Jamaludin, Ketua Adat Dusun Beriga.

Perubahan iklim

Handoyo, peneliti dari Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], mengatakan dinilai dari fungsi sosial dan budaya, dapat dikatakan mitos-mitos pada masyarakat adat berfungsi sebagai mitigasi lingkungan.

“Mereka hidup berhadapan langsung dengan alam. Jadi, sangat wajar mereka memikirkan alam. Sebab semua kebutuhan hidup mereka diambil langsung dari alam,” terangnya, Sabtu [5/8/2023].

Konteks kekinian, apa yang dilakukan masyarakat adat dengan mitos-mitosnya, dapat dipahami sebagai upaya mencegah perubahan iklim global. “Mereka menjaga keseimbangan alam. Iklim terjaga, sehingga aktivitas sosial dan budaya berjalan berkelanjutan, tanpa gangguan seperti bencana alam, dan serangan penyakit.”

“Ada baiknya kita menghargai mitos-mitos tersebut. Tentunya, sebagai upaya mengatasi persoalan lingkungan hari ini, perubahan iklim, yang dampak buruknya luar biasa bagi umat manusia,” tandasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh Rahmadi R

Berita Lainnya

Index