ANALISD.com, Bogor - DPR kembali melakukan pembahasan terhadap RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE). RUU tersebut telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang diproyeksikan akan selesai di tahun 2023. Forest Watch Indonesia menilai Draft RUU KSDAHE yang ada tidak mengalami banyak perubahan dibanding undang-undang sebelumnya yaitu UU No 5 tahun 1990. Bahkan, dianggap masih bias darat karena belum mengatur secara spesifik tentang konservasi ekosistem hayati yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang memiliki kekayaan alam hayati yang khas dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, Indonesia memiliki sejumlah 19.108 pulau-pulau kecil dengan total luasan wilayah sekitar 7,1 juta hektare. Itulah yang menjadikan Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Sampai tahun 2022, seluas 3,48 juta hektare atau hampir setengah daratan pulau-pulau kecil masih ditutupi hutan alam. Pendekatan pengelolaan pulau-pulau kecil sampai hari ini masih menerapkan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Hasil analisis kami, sekitar 62% wilayah pulau-pulau kecil masuk ke dalam kawasan hutan. Sekitar 38% ditunjuk sebagai kawasan hutan produksi, 36% sebagai Area penggunaan lain (APL), 15% sebagai hutan lindung, dan hanya 11% sebagai kawasan konservasi. Status fungsi kawasan hutan tersebut kerap kali menjadi pintu masuk bagi eksploitasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil tidak terlepas dari ancaman eksploitasi sumber daya alam yang berbasis industri ekstraktif. Dari total luasan wilayah pulau-pulau kecil, sekitar 17 % atau 1,2 juta hektare telah dibebani izin konsesi industri ekstraktif yaitu sekitar 551,6 ribu hektare konsesi pertambangan, 309,8 ribu hektare konsesi PBPH-HA (Hak Pengusahaan Hutan), 94.9 ribu hektare berupa konsesi PBPH-HT (Hutan Tanaman), 192,1 hektare izin konsesi perkebunan dan sisanya sekitar 37,8 ribu hektare tumpang tindih antar perizinan. Aktivitas eksploitasi sumber daya alam tersebut di pulau-pulau kecil terbukti menjadi penyebab hilangnya hutan dan kerusakan lingkungan. FWI mencatat selama periode 2017-2021 ada sekitar 318,5 ribu hektare hutan alam di pulau-pulau kecil yang rusak dan sekitar 18% terjadi di dalam konsesi perusahaan. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati di pulau-pulau kecil seharusnya menggunakan pendekatan secara khusus. Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak bisa disamakan dengan pulau besar, tidak bisa disamakan pulau satu dengan pulau lainnya, serta tidak bisa menggunakan prinsip “cocokologi” seperti yang terjadi saat ini. Ada beberapa catatan yang perlu ditindaklanjuti dalam pembahasan RUU KSDAHE kedepan, yaitu;

Pertama, RUU KSDAHE hendaknya mengkoreksi dan mengatur ulang penunjukan dan penetapan kawasan kawasan hutan yang selama ini dianggap kurang tepat karena menjadi pintu bagi terjadinya kerusakan hutan dan konflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Draft RUU yang ada saat ini, mengatur tentang penetapan wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK). Namun pulau-pulau kecil tidak dilihat sebagai ekosistem yang khas dan membutuhkan pendekatan khusus. Menyamakan dengan pulau utama atau pulau besar, yakni pendekatan geospasial dan pendekatan status fungsi kawasan hutan. Metode yang sama dalam penunjukan kawasan hutan selama ini telah terbukti tidak bisa mengkonservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di pulau-pulau kecil, justru menjadi jalan masuknya industri ekstraktif. Hal ini tentu berpotensi terjadinya bias dalam menentukan wilayah yang penting untuk dikonservasi. RUU KSDAHE dinilai penting untuk mendudukan kembali pendekatan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia “Penunjukan status fungsi kawasan hutan yang ada selama ini menempatkan pulau-pulau kecil dalam keterancaman bencana ekologis. Sebagai contoh di Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku, jika kita lihat dari foto citra tampak seperti satu pulau besar, namun rupanya terdiri atas sekitar 800 pulau-pulau kecil, hanya satu pulau yang masuk kategori pulau besar. Sekitar 96% pulau-pulau di Kepulauan Aru merupakan kawasan hutan dan 87% fungsi kawasannya berupa hutan produksi (HP dan HPK). Inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi ragam industri eksploitatif yang silih berganti dan terus berdatangan ke Kepulauan Aru. Seperti perusahaan HPH yang menguasai 54 ribu hektare, perkebunan tebu seluas 450 ribu hektare dan peternakan sapi seluas 50.05 ribu hektare. Contoh lain, Pulau Wawonii di Provinsi Sulawesi Tenggara, luas pulau 70.7 ribu hektar dan 57.3 ribu hektare-nya kawasan hutan yang 73% nya berupa hutan produksi. Setidaknya sejumlah perusahaan tambang menguasai daratan di Pulau Wawonii 47.3 ribu hektare dan 84 jumlah desa masuk kedalam konsesinya. Contoh lain lagi di Pulau Rupat Provinsi Riau, memiliki luas daratan 150.2 ribu hektare dan 90.4 ribu hektare-nya kawasan hutan dan 99% nya berupa hutan produksi. Setidaknya perusahaan kehutanan menguasai 39 ribu hektare dan mengokupasi 7 desa disana. Draft RUU KSDAHE yang ada saat ini tidak mengubah pendekatan apa-apa dan justru melegalkan praktik industri ekstraktif di pulau-pulau kecil. Fungsi perlindungan seharusnya melekat pada statusnya sebagai pulau-pulau kecil bukan statusnya kawasan hutan atau bukan. ” Ucap Aziz Juru Kampanye Forest Watch Indonesia. Kedua, RUU KSDAHE dinilai tidak mampu mengurai permasalahan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penetapan dan pengukuhan wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK) yang berasal dari ekosistem penting di luar kawasan konservasi bersifat sentralistik. Pemerintah Daerah tidak bisa menentukan nasib ekosistem di pesisir dan pulau-pulau kecil untuk dikonservasi/dilindungi meskipun dalam status fungsi hutan lindung atau hutan produksi. Hal ini tidak sejalan dengan Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan dalam urusan pengelolaan kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung kepada Pemerintah Daerah Provinsi. Akan terjadi konflik kepentingan dalam penetapan atau persetujuan wilayah yang penting untuk dikonservasi dan/atau untuk dieksploitasi malah justru kedepannya.

“Dalam RUU KSDAHE, Sentralistik Pusat dalam menetapkan dan mengukuhkan Ekosistem penting di luar kawasan konservasi berpotensi rawan konflik kepentingan karena tidak adanya kontrol dari tapak, yakni Pemerintah Daerah. Pusat memiliki kewenangan penuh dalam melakukan penetapan dan persetujuan terhadap ekosistem penting di luar kawasan konservasi. Pemerintah Daerah hanya diberikan wewenang untuk menetapkan ekosistem penting yang berasal dari luar kawasan hutan, itupun setelah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Artinya Pemerintah Daerah tidak bisa menentukan nasib terhadap ekosistem di daerahnya, apakah penting untuk dikonservasi atau tidak. Sebagai contoh, Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 2.64 juta hektare (KLHK, 2020), dan sekitar 2.44 juta hektare-nya berstatus kawasan hutan yang tersebar di 263 kabupaten/kota di 34 Provinsi di Indonesia. Kerusakan hutan mangrove selama periode 2017 sampai 2020 sudah mencapai 170.5 ribu hektare, dan 55 persennya terjadi di kawasan hutan. Ini berimbas terhadap sejumlah 34 Kepala Daerah yang akan kehilangan kewenangannya dan tidak bisa menyelamatkan ekosistem mangrove yang tersisa. Di sisi lain, Pusat memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin-izin pertambangan, HPH, HTI, Proyek Strategis Nasional, Proyek Energi, sampai Food Estate yang berasal dari kawasan hutan. Ditambah Pusat juga yang menentukan dan menetapkan kawasan konservasi dan ekosistem-ekosistem penting di luar kawasan konservasi sebagai Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan. RUU ini tidak bersifat korektif terhadap pelaksanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebelumnya, tidak menyelesaikan konflik kepentingan, dan tidak akan mampu mengkonservasi apa yang seharusnya dikonservasi”. Ucap Anggi Manajer Kampanye Forest Watch Indonesia “Terakhir, RUU KSDAHE seharusnya menjawab masalah inklusivitas dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Indonesia. Inklusivitas tersebut dicerminkan dari perubahan pendekatan penyelenggaraan konservasi yang semula sentralistik ke pendekatan yang lebih kolaboratif antar masyarakat/masyarakat adat dan Pemerintah. Hal tersebut dilakukan dengan cara melibatkan penuh masyarakat/masyarakat adat dalam pembahasan RUU dan mengedepankan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC)”. Tutup Anggi.

 

Berita Lainnya

Index