Film dokumenter berjudul 17 Surat Cinta yang tayang belum lama ini telah mengungkap bagaimana suatu kawasan konservasi, yaitu Suaka Margasatwa Rawa Singkil, di Provinsi Aceh, mengalami deforestasi dan rusak parah. Sejak 2022 luasan area yang terdeforestasi mencapai 2.000 hektare. Hilangnya hutan alam berikut kerusakan yang terjadi di Rawa Singkil itu tentu saja ironis, sebab kawasan yang mestinya aman dan terlindungi karena peran pentingnya, justru menjadi lokasi paling tak terlindungi.
Di satu sisi, Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Amazon (Amerika Selatan) dan Kongo (Afrika Selatan). Selain tutupan hutannya yang sangat luas di Indonesia juga memiliki jenis keanekaragaman hayati yang tinggi. Guna melindungi hutan dan jenis-jenis keanekaragaman hayati di dalamnya, pemerintah Indonesia juga sudah menetapkan jutaan hektare kawasan konservasi.
Kawasan konservasi yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia mencapai 26,89 juta hektare. Angka ini bahkan lebih luas dari wilayah territorial Inggris Raya. Contoh jenis-jenis kawasan konservasi yang ada di Indonesia antara lain, taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman hutan raya.
Undang-Undang KSDAE No. 32 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 5 1990 menjelaskan bahwa tujuan penetapan kawasan konservasi antara lain untuk melindungi dan mengawetkan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Artinya kawasan ini harus dalam kondisi yang tetap alami dan terjaga betul kelestariannya.
Di atas kertas kawasan konservasi seharusnya menjadi kawasan yang paling aman dan menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Namun fakta di lapangan tidak seperti itu.
- Baca Juga Sandiwara Pagar Laut di Pantai PSN PIK 2
Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau, misalnya. Kawasan ini merupakan kawasan taman nasional yang diresmikan oleh pemerintah pada 2004, untuk melindungi spesies endemik Indonesia yang terancam punah, yaitu gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).
Luas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) mencapai 83 ribu hektare, namun 40 ribu hektare atau hampir setengah dari kawasan taman nasional ini berupa kebun sawit. Sedangkan 28 ribu hektare lainnya sudah mengalami alih fungsi lahan, dan sudah menjadi area terbuka. Sedangkan untuk kondisi berhutan hanya tersisa 13 ribu hektare saja. Dengan lain perkataan, dari total luasan TNTN hanya tersisa 20 persen saja yang bertutupan hutan alam.
Dengan adanya deforestasi dan aktivitas di dalam kawasan TNTN yang tinggi, tentu akan sangat mengancam keberadaan satwa liar di dalamnya, seperti gajah sumatra dan harimau sumatra. Di saat banyak satwa yang sedang berjuang untuk menjauh dari pusaran kepunahan, kawasan konservasi yang harusnya menjadi kawasan yang paling aman justru sudah mengalami gangguan yang sebegitu luar biasanya.
Kawasan TNTN bukan satu-satunya kawasan konservasi yang rusak dan mengalami deforestasi. Pada 2015 setidaknya 30 persen hutan alam dan kawasan konservasi di Indonesia dinyatakan rusak. Penyebabnya tak lain karena perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan.