ANALISD.com, Jakarta - Sejumlah organisasi nonpemerintah menilai komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjaga keberlangsungan lingkungan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dengan membuka peluang untuk investasi tanpa memperhatikan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, mereka meragukan Indonesia dapat mencapai target emisi karbon nol bersih pada 2060.

Komitmen pada lingkungan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pembukaan Hannover Messe 2023, di Hannover Congress Centrum, Hannover, Jerman, Minggu (16/4/2023). Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyebut, aksi nyata pemerintah, antara lain, tampak dari turunnya laju deforestasi secara signifikan dan terendah selama 20 tahun terakhir, kebakaran hutan turun 88 persen, rehabilitasi 600.000 hektar hutan mangrove pada 2024, dan pembangunan 30.000 hektar kawasan industri hijau.

Pidato tersebut juga sempat menjadi sorotan publik lantaran Presiden Joko Widodo mengatakan pada 2023, 23 persen energi di Indonesia berasal dari energi baru terbarukan (EBT), dan pada tahun 2025 seluruh pembangkit batubara ditutup. Selanjutnya, pihak Istana segera mengklarifikasinya, yakni pada tahun 2025, 23 persen energi berasal dari EBT, dan tahun 2050 seluruh pembangkit batubara akan ditutup.

Selang dua hari, Pantau Gambut, organisasi nonpemerintah, menemukan lima titik panas pada area gambut sangat dalam di Medang Kampai, Kota Dumai, Provinsi Riau. Lokasi tersebut hanyalah satu dari area-area berisiko tinggi yang masuk ke dalam analisis Pantau Gambut melalui kajian Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) 2023.

DOKUMENTASI PANTAU GAMBUT

Peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut Indonesia Tahun 2023

Juru Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana,Senin (24/4/2023), menilai data yang disampaikan pemerintah hanya mendukung pernyataan. Hal itu di antaranya ditunjukkan dengan tidak memasukkan variabel siklus iklim di Indonesia saat menyebut luasan karhutla. Menurut Wahyu, data yang disampaikan oleh Presiden belum obyektif lantaran tidak melihat data pada tahun 2015 dan 2019 saat karhutla terbesar terjadi.

Berdasarkan kajian dengan menggunakan dataset tahun 2015 dan 2019, Pantau Gambut menemukan sedikitnya 16,4 juta hektar area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) rentan terbakar. Seluas 3,8 juta hektar dari area tersebut masuk ke dalam kerentanan tinggi (high risk) sementara 12,6 juta hektar tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium risk).

Jika dilihat secara proporsi, Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG rentan terbanyak, yakni 97 persen dari total 1.421 hektar area KHG Sungai Ifuleki Bian sampai Sungai Dalik berada pada tingkat kerentanan tinggi. Lalu, jika dilihat dari sisi luasan area, Kalimantan Tengah menjadi provinsi rentan terluas dengan total luasan lebih dari 1,13 juta hektar yang tersebar pada 13 KHG.

Perlu diingat, kata Wahyu, lahan gambut di Indonesia menyimpan sedikitnya 57 gigaton karbon atau sekitar 30 persen karbon dunia. Jika lahan gambut dikeringkan atau dialihfungsikan, lahan gambut berpotensi menyumbang 63 persen dari total emisi karbon dunia.

”Ada variabel El Nino yang cenderung kering pada saat ini,” ujar Wahyu. Fenomena El Nino yang berpeluang terjadi tahun ini dapat meningkatkan potensi karhutla.

DOKUMENTASI PANTAU GAMBUT

Data Kesatuan Hidrologis Gambut dengan luasan High Risk Terbesar

Selain itu, Pantau Gambut turut mencatat, terdapat 857 perkebunan sawit seluas 3,4 juta hektar yang aktif beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi perizinan kehutanan yang sah. ”Klaim komitmen yang disampaikan oleh pemerintah dalam setiap forum, baik nasional maupun internasional seharusnya berbanding lurus dengan kebijakan dan langkah strategis yang diambil oleh Presiden,” kata Wahyu.

Secara terpisah, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian, mempertanyakan upaya pemerintah mengimplementasikan emisi karbon nol bersih (net zero emission). Ia menilai komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon tidak diimbangi dengan kebijakan yang berpihak pada lingkungan.

”Apa yang disampaikan oleh Presiden bisa dibilang 'jauh panggang dari api'. Transisi energi untuk mengurangi emisi karbon justru menciptakan potensi perusakan lingkungan,” katanya.

Uli mencontohkan terkait tambang nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik. ”Sebesar 80 persen lokasinya (tambang) ada di kawasan hutan sehingga ini bersifat kontradiktif,” ujarnya.

Walhi juga mencatat, sebanyak 48 persen kawasan mangrove dikapling untuk pertambangan. Hal ini pun kontradiktif dengan upaya rehabilitasi 600.000 hektar hutan mangrove dapat tercapai pada 2024.

Deforestasi bergeser

Berdasarkan data KLHK sampai tahun 2020, angka deforestasi masih lebih dari 100.000 hektar. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra menyampaikan, angka ini tidak bisa dilihat sebagai penurunan dibanding tahun sebelumnya.

 

Menurut Syahrul, lokasi terjadinya deforestasi terus bergeser ke daerah-daerah yang memiliki sisa hutan alam cukup luas. Sementara daerah yang sudah cukup lama kehilangan hutan alamnya, angka deforestasinya tentu turun signifikan.

”Saat ini, pemerintah masih merencanakan deforestasi kurang lebih 300.000 hektar per tahun. Deforestasi ini akan terjadi di area-area, seperti di Papua yang secara keseluruhan memiliki kawasan hutan alam tersisa terluas di Indonesia. Terdapat sekitar 600.000 hektar hutan alam berada di area konsesi yang bisa dikonversi kapan pun dan saat ini, perlahan mulai dikonversi," ujarnya.

Ia pun mengkritik keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak menunjukkan komitmen pemerintah dalam menurunkan deforestasi.

Lalu, terkait dengan karhutla, selama tiga tahun terakhir Indonesia mengalami fase moderat La Nina atau kondisi cenderung basah. Namun, Indonesia masih mengalami kebakaran hutan.

”Tahun 2020 saat terjadi La Nina moderate kebakaran hutan mencapai 296.942,00 hektar. Lalu pada tahun 2021, terjadi kebakaran hutan 358.867,00 hektar. Kemudian, tahun 2022 terjadi kebakaran seluas 204.894 hektar,” lanjutnya.

Tahun ini, Indonesia berpeluang mengalami El Nino atau kondisi cenderung kering yang dapat meningkatkan potensi kebakaran hutan.

”Kebijakan pemerintah terhadap pemulihan ekosistem gambut sangat minim. Bahkan, hampir semua KHG berada pada kondisi kritis. Pascakebakaran 2019, upaya pemulihan tak berjalan maksimal dan kanal-kanal di lahan gambut tetap ada sehingga pemulihan KHG belum berjalan sebagaimana mestinya," kata Syahrul.

Berita Lainnya

Index