Krisis iklim telah menyebabkan gangguan besar pada siklus air di planet bumi, dengan banjir besar dan kekeringan parah yang memengaruhi miliaran orang, menurut temuan sebuah laporan.
Air, sebagai sumber daya alam paling vital bagi manusia, kini terpengaruh oleh perubahan pola akibat pemanasan global. Analisis bencana air pada tahun 2024—yang menjadi tahun terpanas dalam sejarah—menyebutkan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan setidaknya 8.700 kematian, memaksa 40 juta orang meninggalkan tempat tinggal mereka, dan mengakibatkan kerugian ekonomi lebih dari $550 miliar.
Laporan bertajuk 2024 Global Water Monitor Report mencatat bahwa curah hujan harian maksimum yang memecahkan rekor terjadi di 35 wilayah sungai di dunia, termasuk Indonesia. Di Asia Selatan, total curah hujan ekstrem melanda Cekungan Gangga Brahmaputra, Cekungan Sumatra, dan cekungan sekitarnya di Indonesia. Di Afrika Barat, Cekungan Niger mencatat curah hujan harian tertinggi yang pernah diamati. Wilayah Eropa, seperti Pantai Baltik Barat, Inggris, dan Wales, juga mengalami curah hujan ekstrem, sementara beberapa wilayah Arktik mencatat puncak curah hujan harian yang signifikan.
Laporan tersebut menjelaskan bahwa peningkatan suhu akibat pembakaran bahan bakar fosil mengganggu siklus air dalam berbagai cara. Udara yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air, memicu hujan lebat. Lautan yang lebih hangat menyediakan energi tambahan untuk badai dan topan, meningkatkan daya rusaknya. Selain itu, pemanasan global meningkatkan kekeringan dengan mempercepat penguapan dari tanah dan mengubah pola curah hujan.
Banjir bandang yang mematikan melanda Nepal dan Brasil pada tahun 2024, sementara banjir sungai menyebabkan kerusakan besar di Eropa Tengah, Tiongkok, dan Bangladesh. Topan Super Yagi yang menghantam Asia Tenggara pada September lalu, serta Badai Boris yang melanda Eropa pada bulan yang sama, diperburuk oleh krisis iklim.
Kekeringan juga memberikan dampak besar, termasuk berkurangnya setengah produksi tanaman di Afrika bagian selatan, yang menyebabkan lebih dari 30 juta orang menghadapi kekurangan pangan. Petani terpaksa memusnahkan ternak mereka akibat pengeringan padang rumput, dan produksi listrik dari bendungan tenaga air menurun, memicu pemadaman listrik yang meluas.
"Pada tahun 2024, Bumi mencatatkan tahun terpanas dalam sejarah, dan sistem air di seluruh dunia mengalami tekanan terberat, menciptakan kehancuran pada siklus air," ungkap Prof. Albert van Dijk, pemimpin laporan 2024 Global Water Monitor Report, Senin, 6 Januari 2025. Ia menambahkan bahwa tahun 2024 mencerminkan tren kondisi ekstrem, termasuk banjir yang semakin parah, kekeringan berkepanjangan, dan rekor cuaca ekstrem lainnya. Laporan ini juga memperingatkan bahwa situasi dapat memburuk pada 2025 jika emisi karbon terus meningkat.
Laporan ini disusun oleh tim peneliti internasional dari universitas di Australia, Arab Saudi, Tiongkok, Jerman, dan negara lainnya. Dengan data dari ribuan stasiun bumi dan satelit, mereka menganalisis variabel air utama seperti curah hujan, kelembapan tanah, aliran sungai, dan banjir. Temuan mereka menunjukkan bahwa rekor curah hujan terus dipecahkan dengan frekuensi lebih tinggi, di mana rekor bulanan terjadi 27% lebih sering pada 2024 dibandingkan tahun 2000, dan rekor harian meningkat 52%.
Bencana banjir sungai yang merusak pasokan pangan terjadi di Tiongkok Selatan, Spanyol, Bangladesh, serta Kota Porto Alegre, Brasil. Hujan lebat juga memicu banjir bandang yang meluas di Afghanistan dan Pakistan, menewaskan lebih dari 1.000 orang dan membuat 1,5 juta lainnya mengungsi. Di sisi lain, kekeringan ekstrem melanda Amazon, dengan kebakaran hutan yang menghanguskan lebih dari 52.000 km² pada bulan September, melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca.
Para peneliti memprediksi bahwa kekeringan dapat memburuk pada 2025 di wilayah Amerika Selatan bagian utara, Afrika bagian selatan, dan sebagian Asia, sementara wilayah seperti Sahel dan Eropa mungkin menghadapi risiko banjir yang lebih tinggi.
"Kita harus bersiap menghadapi kondisi ekstrem yang lebih parah," ujar Van Dijk. "Ini mencakup penguatan pertahanan banjir, pengembangan sistem pangan dan pasokan air yang tahan kekeringan, serta peningkatan sistem peringatan dini. Air adalah sumber daya paling vital kita, dan ekstremitasnya – baik berupa banjir maupun kekeringan – merupakan ancaman terbesar yang kita hadapi."