Gerakan #BersihkanIndonesia

Pembangkit Gas Fosil Tidak Boleh Masuk Skema JETP

Pembangkit Gas Fosil Tidak Boleh Masuk Skema JETP
Foto : Ilustrasi

ANALISD.COM - Satu hari berselang pengumuman sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan rencana memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema pendanaan JETP. Dana JETP diperoleh dari negara anggota International Partners Group (IPG) yang berkomitmen memberikan US$20 miliar dolar untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia.

Kementerian ESDM mengutarakan, proyek pembangkit gas fosil ini akan menggantikan pembangkit diesel (PLTD), dan mengklaimnya sebagai cara efektif untuk menurunkan emisi.

“Rencana pemerintah mengonversi PLTD ke sumber energi fosil lain seperti gas, terlebih dilakukan dalam kerangka inisiatif transisi energi JETP, ialah langkah mundur dan akan melemahkan kemampuan negara dalam mencapai target dekarbonisasinya sendiri,” ujar Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia.

Merujuk RUPTL 2021-2030, terdapat 5200 unit PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. Di RUPTL, dedieselisasi dilakukan secara bertahap. Tahap 1 di 200 lokasi dengan kapasitas 225 MW dan tahap 2 konversi lebih lanjut dengan total kapasitas capai 1,2 GW. Jika ribuan PLTD ini dikonversi ke gas, kata Andri, maka akan merusak rencana transisi energi.

“Terdapat resiko besar di mana JETP tidak dapat berkontribusi signifikan bagi Indonesia dalam mencapai target dekarbonisasi sektor kelistrikan pada 2030 dan Net Zero Emission lebih cepat pada 2050,” tekan Andri.

Lebih lanjut, Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menambahkan, rencana dedieselisasi dengan pembangkit gas fosil juga akan memperlambat upaya Indonesia dalam mengurangi emisi sektor ketenagalistrikan tidak melebihi 290 juta ton CO2 pada 2030 atau lebih rendah 67 juta ton Co2 dibandingkan dengan kondisi business as usual (BaU) sebesar 357 juta ton Co2 seperti dirilis pada 22 Februari 2023.

Pembangkit gas fosil memiliki kontribusi besar terhadap gas metana. Laporan “Persoalan Gas di Indonesia” mengungkap, saat gas fosil diproduksi, diangkut, dan dikonsumsi, maka metana dalam jumlah besar akan keluar dan menyebabkan emisi gas rumah kaca (Trend Asia, 2020).

Assessment report ke-6 IPCC telah menyatakan untuk bisa mencapai target 1,5 derajat, kita harus mengurangi satu per tiga dari total metana yang ada saat ini. Jumlah ini berarti mengurangi 34 persen dari jumlah emisi metana saat ini. IPCC juga menekankan bahwa emisi metana perlu mencapai penurunan 51 persen pada 2050 untuk menekan kenaikan suhu. Rencana konversi ini tentunya tidak sejalan dengan arahan IPCC untuk melakukan pengurangan metana secara masif,” pungkas Grita.

Sementara, pemerintah Indonesia sebelumnya telah menandatangani Global Methane Pledge saat perhelatan COP26 di Glasgow. Indonesia berjanji mengambil tindakan sukarela untuk turut berkontribusi dalam upaya kolektif mengurangi emisi metana global setidaknya 30 persen dari tingkat tahun 2020 yang dapat menghilangkan pemanasan lebih dari 0,2 derajat Celsius pada 2050.

Selain persoalan lingkungan, gas juga bukan sumber energi yang ekonomis. Gas memiliki volatilitas tinggi, harga yang mahal, dan bahkan secara biaya listrik rata-rata (LCOE) lebih mahal dibanding energi terbarukan. “Kebijakan mengonversi PLTD ke gas akan menutup ruang bagi pembangkit energi terbarukan yang capaiannya masih terlalu kecil, hanya 12 persen,” ujar Bondan Andriyanu, Climate And Energy Campaigner Greenpeace Indonesia.

Menurut Bondan, rencana ini akan menjadi batu sandungan dalam mempercepat capaian penerapan energi terbarukan setidaknya mencapai 34 persen pada 2030 sebagaimana yang telah ditargetkan diawal dalam kesepakatan JETP.

“Dengan masuknya gas untuk menggantikan PLTD juga mencerminkan bahwa pemerintah masih setengah hati dalam melakukan transisi energi,” imbuhnya.

Bauran energi terbarukan Indonesia yang mengalami penurunan menjadi 10.4 persen pada akhir tahun 2022 seharusnya dikejar dengan penambahan energi terbarukan, bukan bahan bakar fosil gas. Hal ini juga perlu dilakukan mengingat bahwa Indonesia mempunyai target dalam NDC untuk mencapai 23 persen energi terbarukan pada 2025, dan 34 persen pada 2030 berdasarkan target dalam JETP.

Menurut Andri, penambahan infrastruktur energi gas fosil juga berpotensi jadi aset terlantar dan menyia-nyiakan dana publik.

Karena itu, ia menekankan, negara-negara G7+ dan entitas yang terlibat dalam pendanaan JETP harus tegas melarang proyek pembangkit gas fosil menggunakan dana JETP. “Negara G7+ tidak boleh lepas tangan dan harus memastikan penggunaan dana JETP untuk proyek-proyek energi terbarukan yang mempercepat usaha Indonesia mencapai NZE,” kata Andri.

Terakhir, Suriadi Darmoko, Juru Kampanye 350 Indonesia, menyoroti persoalan tidak adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat sipil yang representatif dalam sekretariat JETP. Kedua hal tersebut menjadi titik lemah dari rencana implementasi JETP di Indonesia.

Menurutnya, keterbukaan informasi dan peranan masyarakat sipil yang memadai akan membantu pengawasan upaya transisi energi berkeadilan. “Tanpa pengawasan masyarakat sipil, kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dalam kerangka JETP seperti dedieselisasi dengan gas fosil akan membuat strategi dekarbonisasi Indonesia terus terjebak dalam solusi palsu yang membahayakan dan memaksa Indonesia terus bergantung pada energi fosil,” tutup Suriadi.

Berita Lainnya

Index