ANALISD.com - Aisyah Rumain, perempuan Bati Kilusi terlihat sibuk di beranda rumahnya, yang terbuat dari papan. Dia sedang menyulam tagalaya, ayakan berbahan dasar bambu. Dia baru pulang dari kebun. Wajah perempuan 65 tahun ini terlihat lelah.

Kebun Aisyah, tak jauh dari kampung tempat tinggalnya. Keluarga Aisyah tinggal di perbukitan, jauh dari pesisir, jauh dari perkampungan lain.

Bagi Aisyah, pemukiman, hutan dan kebun adalah peninggalan leluhur hingga harus dijaga. Tak hanya sebagai tempat tinggal, dan tanaman pangan juga sumber beragam tumbuhan obat-obatan maupun tempat sakral.

Perempuan anak tiga ini bercocok tanam bersama suami di kebun. Berbagai tanaman pangan dan bumbu dapur ditanam, seperti, cabai, tomat, sayur-mayur, ubi kayu, sampai ubi jalar.

Di kebun mereka juga ada tanaman seperti kelapa, sagu, pala dan cengkih.

Katong punya pekerjaan lain seperti menganyam misal, tagalaya, ayakan sagu. Bisa hasilkan uang. Katong bisa berkebun tanam sayur, cabai, patatas, kasbi untuk menyambung hidup,” kata Aisyah, sambil menyulam tagalaya.

 

Perempuan Bati, protes rencana kehadiran perusahaan migas ke kampung mereka. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Data BPS, Kian Darat 2019, tanaman produksi seperti pala, kelapa, cengkih, kopi, kakao, dan jambi mete. Dengan kuantitas terbanyak pala, kelapa, dan cengkih.

Bagi dia, kebun dan hutan adat yang dititipkan oleh leluhur mereka harus dijaga dan diperjuangkan, sehingga bisa menjadi warisan bagi anak-cucu mereka kelak.

Dia pun was-was saat mendengar perusahaan minyak dan gas akan masuk kampung mereka. Dia takut kehadiran  perusahaan bakal mengganggu hubungan mereka dengan alam. Masyarakat Bati hidup dari hasil kebun dan hutan adat.

Masyarakat mendengar kabar akan ada dua perusahaan migas, PT Balam Energy Limited dan PT Bureau Geophysical Prospecting (BGP) masuk kampung mereka.

“Kita tidak mau perusahaan ini masuk kemudian mengganggu katong punya tatanan adat, katong punya alam ini yang selama ini katong merasa nikmat tidak boleh lagi diganggu dengan aktivitas perusahaan di Gunung Bati.”

Mayoritas orang Bati hidup tradisional dan bergantung dari alam. Mereka hidup dengan berburu dan memanfaatkan alam sekitar dan memegang teguh adat istiadat.

Hutan adat Bati tergusur untuk perusahaan m igas. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Pieter Jacob Pelupessy,  Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, dalam bukunya berjudul “Esurium Orang Bati” menjelaskan, faktor penting hubungan Orang Bati dengan lingkungan.

Masyarakat yang terabaikan, dan terisolasi, bisa beradaptasi dan mengelola serta memanfaatkan kekayaan alam dengan kearifan adat.

Dosen sosiologi yang menyelesaikan penelitian hampir 20 tahun ini bilang, kehidupan Orang Bati menggantungkan hidup pada hutan (esu), sebagai sumber makanan menciptakan kedaulatan pangan komunitas. Mereka, katanya,  tak menggantungkan hidup pada orang lain. Bahan makanan yang tersedia dalam esu seperti sagu (suat).

Hutan sagu (yesu kiya), katanya, dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati, maupun marga (etar) cukup luas dikelola secara baik.

Untuk itu,  hutan dan perempuan adat Bati senantiasa menyatu. Hutan adalah tempat Orang Bati berasal hingga jadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup.

“Hutan pada awalnya kami berasal. Makna hutan bagi Orang Bati diungkapkan hutan memberi kehidupan pada masa damai, dan jadi tempat berlindung di masa perang.”

Untuk kekayaan dalam hutan, katanya, merupakan sumber kekuatan bertahan hidup.

Oleh karena itu, hutan di Orang Bati tidak dapat dimasuki orang luar sesuka hati. Hutan, katanya, diawasi ketat Orang Bati. Orang luar pun dilarang masuk ke hutan tanpa izin pemilik.

Di area hutan sagu, katanya, biasa juga menyediakan air kehidupan penting bagi sagu maupun Orang Bati. “Untuk itu hutan sagu di Tana Bati harus dijaga dan dilindungi.”  Sebaliknya, pemusnahan hutan sagu berarti memusnahkan kehidupan Orang Bati.

Dalam buku itu juga menyebutkan, secara geografis tanah Bati ini berada di Pulau Seram Bagian Timur (SBT), terbentang dari pesisir pantai sampai pegunungan.

Wilayah pesisir pantai sudah ada jalan penghubung yang kini jadi jalan nasional juga jalan menuju Tana Bati,  walau masih banyak kerusakan. Jarak mencapai kampung atau dusun-dusun yang ditempati orang Bati (Bati Pantai) berjarak empat sampai lima km. Sedang jarak mencapai kampung atau dusun (wanuya) Bati Tengah dan Bati Dalam sekitar 6-7 km. Kalau ke Kampung Bati Kilusi (Bati Awal) kurang sekitar 13-14 km dari pesisir pantai.

Bati Kilusi merupakan dusun terjauh dari Komunitas Bati lainnya dengan jumlah penduduk sekitar 100 orang.

Airsyah Rumain, perempuan Bati, sedang menyanyam bambu. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Olivia Chadidjah Salampessy,  Wakil Ketua Komnas Perempuan mengatakan, perempuan adat sangat dirugikan dalam pusaran konflik sumber daya alam. Memperbincangkan masyarakat adat, katanya,  tak bisa terpisahkan dengan  perempuan adat.

“Tanah, sawah,ladang, kerajinan tangan lokal bahkan ritual adalah bagian dari identitas perempuan adat.”

“Termasuk pula dengan penyemaian bibit, pengolahan dan perawatan sawah, ladang hingga panen serta pengolahan konsumsi pasca panen jadi bagian dari siklus hidup perempuan,” kata mantan Wakil Walikota Ambon ini.

Karena itulah, siklus kehidupan perempuan adat kuat melekat dan berelasi dengan alam, termasuk menjalankan spiritualitas maupun budaya yang bertumpu pada tanah. Perempuan adat, sangat berperan penting menjaga nilai-nilai budaya dan merawat kearifan lokal.

Dalam catatan Komnas Perempuan, sepanjang 2020 hingga paruhan kedua 2022, Komnas Perempuan menerima 13 laporan pengaduan tentang kondisi perempuan adat dalam pusaran konflik sumber daya alam di berbagai wilayah nusantara.

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan Universitas Pattimura, Dr. Pieter Jacob Pelupessy. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

Perempuan adat, katanya,  rentan pada kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, lingkungan aman dan sehat lenyap, hadapi polusi udara dan tanah rusak, juga sumber-sumber pertanian dan perkebunan.  “Kesulitan air bersih, kehilangan sumber penghidupan, berkurang istirahat, terpapar penyakit seperti ISPA, kulit gatal-gatal, depresi, dan lain-lain,” katanya.

Kondisi ini dikuatkan dalam temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM dan Komnas Perempuan (2016) berdasarkan pendalaman 40 kasus tersebar di tujuh wilayah di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

Apriliska Titahena, aktivis perempuan Pulau Seram mengatakan, perempuan penting berdiri pada garis terdepan.  Kehadiran perusahaan, katanya, sangat berdampak buruk bagi perempuan.

“Bati adalah harga diri masyrarakat adat Seram Timur, Alifuru, masyarakat Maluku, tentu saja perempuan adat Alifuru harus berbicara atas nama Bati. Perempuan dan tanah, adalah harga diri masyarakat adat.”

Aisyah Rumain pun berharap, keturunan Suku Bati dan masyarakat yang peduli bisa berjuang bersama-sama menolak kehadiran perusahaan migas ini.

“Beta berharap anak cucu di kampung maupun di luar sama-sama ikut membantu perusahaan tidak boleh di sini. Negeri ini negeri yang sakral, negeri barakat, negeri yang harus dirawat dan dilestarikan sesuai adat turun temurun.”

 

Orang Bati, menjaga hutan adat mereka. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

*******

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

Berita Lainnya

Index