ANALISD.com, Maluku Utara - Perwakilan nelayan tuna dari Pulau Morotai, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kota Ternate, Maluku Utara, bersama beberapa instansi terkait berkumpul membahas permasalahan nelayan kecil khusus tuna dalam agenda pertemuan regular Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna Provinsi Maluku Utara di Ternate, Senin (11/5/2023) lalu.

Mereka mengungkapkan berbagai permasalahan, seperti pengurusan izin armada nelayan kecil, prosedur pengurusan izin rumpon yang sulit hingga hasil tangkapan ikan yang kian hari terus menurun.

Dalam pertemuan itu, juga diserahkan hibah Radio Nelayan Nusantara (RNN) oleh Yayasan Penelitian dan Pengembangan Telematika (YPPTI) bekerjasama dengan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) untuk nelayan tuna Kelurahan Jambula, Kota Ternate yang tergabung dalam Koperasi Nelayan Tuna Bubula Ma Cahaya. Radio ini menjadi alat komunikasi nelayan untuk memastikan posisi dan kondisi nelayan saat melaut.

Soal izin rumpon misalnya, nelayan kecil di Maluku Utara sangat sulit mendapatkannya karena berbagai persyaratan dan prosedur perizinan sangat memberatkan dan sulit dipenuhi para nelayan. Meski pengurusan perizinan rumpon yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu dilakukan secara online.

“Nelayan kecil sulit mengurusnya. Apalagi izin rumpon ini tidak bisa satu orang nelayan tetapi bergabung dalam bentuk koperasi. Belum lagi harus mendaftarkan kapal terlebih dahulu selanjutnya pengajuan izin dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan terakhir pengajuan perizinan rumpon,” kata Sabili Asmar, nelayan tuna asal Kabupaten Pulau Morotai.

Sementara di Maluku Utara sulit menemukan nelayan kecil yang tergabung dalam koperasi dan memiliki armada tangkap. Padahal alat tangkap merupakan salah satu syarat perizinan. Nelayan juga mengeluhkan ribetnya prosedur pengurusan perizinan.

Sekadar diketahui di seluruh Indonesia baru ada satu izin rumpon yang diurus nelayan tuna di Desa Madopolo, Obi Timur, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pengurusan izinnya selama 7 bulan dengan dibantu MDPI sebagai nelayan dampingan mereka.

Keberadaan rumpon seringkali memunculkan konflik di tingkat nelayan. Pasalnya ada rumpon yang dipasang pengusaha besar dan hanya ditangkap ikannya oleh armada tangkap milik pengusaha. Sementara nelayan kecil sulit memanfaatkan rumpon tersebut dalam menangkap ikan. Armada tangkap nelayan kecil juga kalah bersaing dengan yang dimiliki pengusaha.

Di laut Maluku Utara, semua rumpon yang tersebar tidak memiliki izin dan sebagian besar milik pemodal dari Sulawesi Utara. Dalam catatan Dinas Perikanan Kelautan (DKP) Provinsi Maluku Utara, saat ada kurang lebih 1.300 rumpon yang tersebar di perairan Malut.

“Masalah ini kami minta ada perhatian dari Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara untuk segera melakukan penertiban rumpon rumpon milik pengusaha luar Maluku Utara dan tak berizin tersebut. Saat ini saja nelayan kecil seperti kami sudah sangat kesulitan menangkap ikan tuna,” jelas Nori Luang nelayan tuna Kecamatan Ibu, Halmahera Barat.

Kepala DKP Malut Abdullah Assagaf yang hadir dalam rapat tersebut mengatakan, persoalan rumpon menjadi masalah serius karena sering kali memunculkan konflik di lapangan. Pada 2023 ini, DKP akan melakukan beberapa penertiban. Diakuinya wilayah laut Maluku Utara yang luas membutuhkan biaya operasional besar. Karena itu upaya penertiban juga dilakukan secara bertahap.

Laporan nelayan ini, katanya, akan menjadi perhatian karena jadi sumber utama pendapatan dan hajat hidup masyarakat nelayan. ”Kita akan tetap memberi perhatian agar nelayan kecil Malut juga bisa menangkap ikan dengan nyaman,” katanya.

Dia bilang rumpon pengusaha luar Maluku Utara ini sangat meresahkan nelayan setempat karena ikan tidak lagi mendekat ke area tangkap yang bisa dijangkau nelayan kecil di Halmahera Barat. Karena jika mereka melaut cukup jauh sangat menguras modal untuk beli BBM. Selain itu, saat ini hasil tangkapan nelayan juga semakin berkurang.

Abdullah juga meminta para pihak yang berhubungan dengan pengurusan berbagai izin nelayan agar lebih memudahkan perizinan mereka.

Tangkapan Menurun

Nelayan tuna dari Kota Ternate juga mengeluhkan terus menurunnya hasil tangkapannya, baik ukuran maupun jumlahnya sejak 2017.

“Saat ini lebih banyak yang tertangkap baby tuna. Sementara tuna yang ditangkap sesuai ukuran di atas 30 kilogram itu makin sulit di dapat,” kata Salman Adam nelayan asal kota Ternate.

Jika ingin mendapatkan ikan berukuran besar, mereka harus melaut di atas 12 mil yang semakin menguras modal dan BBM. Itu pun belum tentu mendapatkan hasil tangkapan sesuai harapan.

Penurunan hasil tangkapan ikan juga diperkuat data MDPI yang melakukan pengumpulan data hasil tangkapan nelayan rumpon maupun non rumpon dalam periode lima tahun terakhir.

Pada 2017 misalnya ikan tuna kecil yang tertangkap hanya 14 persen sementara ikan tuna besar mencapai 86 persen. Pada 2018 ikan tuna kecil yang tertangkap mencapai 71 persen sementara ikan tuna besar hanya 29 persen. Pada 2019 ikan besar yang ditangkap mengalami kenaikan yakni 53 persen dibanding tuna kecil yakni 71 persen. Sementara di 2020 dan 2021 ikan tuna besar yang ditangkap terus menurun yakni 35 dan 36 persen. Sementara tuna kecil yang tertangkap adalah 65 dan 64 persen.

“Tren hasil tangkapan ikan tuna yang terus menurun saat ini menunjukan bahwa sedang terjadi perubahan dan tekanan terhadap perikanan kita. Bahkan di tahun 2021 ukuran terbesar ikan hanya mencapai 150 cm sampai 160 cm. Ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya,” kata Muhammad Armand Ahmad Site Leader MDPI Maluku Utara.

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index