Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (ED Walhi) Sulawesi Tengah mengecam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Parigi Moutong, yang memvonis terdakwa BRIPKA Hendra tidak terbukti dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas hilangnya nyawa Erfaldi, dalam pembacaan putusan (Jumat, 3 Maret 2023)..

Sebelumnya, BRIPKA Hendra salah satu anggota kepolisian Resort Parigi Moutong, diduga kuat melakukan perbuatan melawan hukum dalam penanganan masa aksi dari Aliansi Rakyat Tani (ARTI) yang sedang melakukan demonstrasi penolakan tambang emas milik PT Trio Kencana, pada Februari tahun lalu. Terdakwa BRIPKA Hendra dituntut atas peristiwa penembakan yang menyebabkan hilangnya nyawa Erfaldi (Alm), seorang pemuda asal desa Tada, Tinombo Selatan, yang tewas tertembak pada peristiwa demonstrasi tersebut.

Kepala Departemen Advokasi & Kampanye Walhi Sulteng, Aulia Hakim, menilai putusan tersebut hanya menambah daftar panjang rendahnya hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM, sekaligus juga melukai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Putusan tersebut mencerminkan bahwa institusi pengadilan hanya menjadi alat untuk merawat dan melanggengkan impunitas terhadap para aparat keamanan yang melakukan tindakan semena-mena di luar aturan hukum dengan mengatasnamakan penegakan hukum.

“Negara memperlihatkan watak aslinya dalam menegakkan keadilan, tidak ada keberpihakan Negara terhadap warga yang mempertahankan hak-hak nya yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, termasuk Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.” Hal itu terbukti pada kasus penembakan Erfaldi ini” ujar Aulia (04/03/23)

Seperti diketahui, Erfaldi (Alm) tewas tertembak dengan kondisi mengalami luka tembak di bagian punggung kanan, pada 12 Februari 2022. Pemuda asal desa Tada, Parigi Moutong ini sempat dilarikan ke Puskemas setempat namun tidak tertolong. Menurut keterangan dari hasil uji balistik terhadap senjata api jenis Mek HS-9 serta satu proyektil yang ditemukan pada jaket Erfaldi, pada 02 Maret 2022 di Laboratorskriminalistik. Diketahui senjata api dan proyektil tersebut benar merupakan milik BRIPKA Hendra. Sehingga, berdasar hasil uji balistik tersebut, di waktu yang bersamaan Kapolda Sulawesi Tengah mengumumkan bahwa BRIPKA Hendra sebagai tersangka atas tewasnya Erfaldi.

“Kami menyayangkan putusan Majelis Hakim yang membebaskan BRIPKA Hendra, harusnya majelis hakim dalam putusannya out of the box (melihat dari sisi luar, dan lepas dari kebiasaan-kebiasaan). Pasalnya tindakan BRIPKA Hendra ini bertentangan dengan aturan pengendalian masa sesuai dengan Peraturan Kapolri (PERKAP) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 Ayat (1) huruf d yang jelas menyebutkan larangan untuk membawa senjata tajam dan peluru tajam dalam melakukan pengendalian unjuk rasa” jelas Aulia.

Oleh karena itu Walhi Sulteng mendorong “Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 114/PPU-X/2012 demi keadilan” imbuhnya.

Secara prinsip, hal ini sangatlah bertolak belakang dengan hukum HAM Internasional dan Konstitusi Indonesia sendiri. Mengingat pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) oleh aparat keamanan merupakan pelanggaran hak hidup yang merupakan hak fundamental setiap orang. Sebagaimana tertuang dalam hukum HAM Internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) menegaskan, “bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorangpun yang boleh dirampas hak hidupnya”. Belum lagi, peristiwa ini tentu bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 serta UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengingat apa yang dilakukan Erfaldi adalah dalam rangka mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana sudah dijamin dalam Konstitusi dan Hukum di Indonesia.

Narahubung:
Aulia Hakim (0851-6126-3873)
Kepala Departemen Advokasi & Kampanye WALHI Sulteng

Berita Lainnya

Index