ANALISD.com - Saat ini, wilayah perkotaan punya peran penting dalam menampung dan mengelola populasi global yang telah mencapai lebih dari 8 miliar jiwa. Tahun 2018, sekitar 55 persen populasi dunia tinggal di perkotaan dan bahkan, sebagian besar [68 persen] diperkirakan akan hidup di sana tahun 2050.

“Beberapa peneliti berpendapat, perluasan perkotaan dapat menampung populasi yang lebih besar dan berpotensi mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan emisi karbon dioksida,” tulis Zhong et al., [2023] dalam jurnal Habitat International di ScienceDirect.com.

Namun dalam jurnal yang sama, banyak penelitian juga mencatat pengaruh besar akibat ekspansi perkotaan terhadap keamanan ekologis dan pembangunan berkelanjutan. Sebut saja, pembentukan pulau panas perkotaan [Urban Heat Island] [Thanvisitthpon et al., 2023], polusi udara, pengurangan lahan pertanian, hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya kemacetan lalu lintas.

“Meskipun perkotaan menempati kurang dari 3 persen permukaan bumi, mereka juga berkontribusi sekitar 80 persen dari emisi gas rumah kaca dan menyumbang 75 persen dari konsumsi energi global [Estoque & Murayama, 2014],” lanjut Zhong et al., [2023].

Menurut Prof. Dr. Ing. Wiwandari Handayani, Guru Besar Bidang Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Dipenegoro, pertambahan populasi memang menjadi salah satu permasalahan di perkotaan. Namun utamanya, ada pada distribusi populasi yang tidak seimbang dengan sumber daya dan lahan yang ada.

“Bumi kita sekarang semakin meng-urban. Kedepan, kita harus menciptakan perkotaan yang layak huni dan seimbang antara jumlah penduduknya dengan ketersediaan sumber daya saat ini,” lanjutnya, dalam acara Bincang Alam Mongabay Indonesia: Mempersiapkan Pembangunan yang Berkelanjutan di Tengah Tren Pertumbuhan dan Perubahan Iklim, Kamis [20/7/2023].

Untuk mencapai itu semua, sebuah kota harus mampu mengukur daya dukung perkotaan [Urban Carrying Capacity]. Pertama, terkait dengan lahan yang tersedia untuk populasi. Kedua, air yang saat ini jadi masalah utama di perkotaan di seluruh dunia. Ketiga, adalah energi.

“Dari tiga hal dasar tersebut, saat ini banyak kota-kota besar termasuk di Indonesia belum siap terkait itu semua. Karenanya, banyak terjadi bencana kebanjiran, kekeringan, hingga akses air bersih yang tidak memadai,” lanjutnya.

Mengutip D?browska et al., [2023] yang merujuk United Nations Population Division, [2018]; dan Zi?ba et al., [2020] menyatakan, sekitar 59 persen dari 1.146 kota dengan sedikitnya 500.000 penduduk berisiko tinggi terkena setidaknya satu bencana [siklon, banjir, kekeringan, gempa bumi, tanah longsor, atau letusan gunung berapi].

“Kota rentan terhadap perubahan iklim, tetapi pada saat yang sama, merupakan penyumbang utama perubahan iklim [De Munck et al., 2013].”

Wiwandari menambahkan, baik pemerintah maupun masyarakat saat ini masih memiliki pola pikir reaktif saat menghadapi permasalahan lingkungan di perkotaan, seperti meniggikan jalan atau rumah untuk mengindari banjir. Tidak jangka panjang.

“Pemerintah maupun masyarakat harus lebih proaktif, mampu meng-adress semua dampak perubahan iklim saat ini. Berpikiran secara transformatif, jangka panjang, dan penuh inovasi. Nilai-nilai lokal juga perlu diperhatikan. Antisipasi dini tentang dampak perubahan iklim menjadi penting,” lanjutnya.

Ekonomi vs Lingkungan

Saat ini, perkotaan sedang mengalami dilematis. Di satu sisi, wilayah perkotaan merupakan pusat bisnis dan ekonomi global, namun disisi lain perkotaan merupakan inti dari mitigasi perubahan iklim dan saat ini sedang menghadapi tantangan yang tak tertandingi [Betsill & Bulkeley, 2003]; Mi et al., 2019], dalam (Wang, 2022).

Wiwandari memberi contoh kasus di wilayah kota pesisir yang saat ini sedang menjadi “arena pertarungan” antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Krisis iklim, faktanya terjadi di banyak negara tidak hanya di Indonesia. Wilayah yang punya lokasi strategis untuk pertumbuhan ekonomi juga punya tantangan lingkungan.

“Seperti kota-kota pesisir akan maju duluan, karena sejak dulu merupakan pusat perdagangan dan industri. Namun, mereka juga punya tantangan krisis iklim, seperti kenaikan muka air laut, banjir, akses air bersih, sampah dan sebagainya. Mana yang mau didahulukan, ekonomi atau lingkungan?” lanjutnya.

Sebagai informasi, sejak 1980, telah terjadi 4.588 bencana banjir di 172 negara, memakan korban lebih dari 250.000 orang. Sementara kekeringan diperkirakan telah merugikan ekonomi global 6–8 miliar USD per tahun dan jauh lebih besar daripada akibat bencana meteorologi lainnya.

“Dengan demikian, seiring bertambahnya populasi, kota berada di garis depan agenda adaptasi perubahan iklim [Carter et al., 2015],” lanjut Zhong et al., [2023].

Kota impian

Rizqa Hidayani, Manajer Kota Kita, mengatakan, setiap orang punya proyeksi kota impian masing-masing. Misalkan kota yang nyaman untuk berjalan kaki, bebas banjir, keamanan untuk bisa keluar jam berapa, serta integrasi transportasi publik yang memadai.

“Idealnya sebuah kota harus direncanakan dengan baik agar dapat memperkirakan risiko-risiko di masa depan. Kontrol terhadap pertumbuhan masyarakat, serta kebutuhan akan pangan,” katanya.

“Sebuah kota yang ideal punya indikator penting, seperti pemenuhan hak dan kebutuhan dasar manusia, infrastruktur, yang pada akhirnya dapat menciptakan rasa nyaman dan bahagia pada masyarakat,” terang Wiwandari.

Indonesia saat ini sedang berupaya merancang dan membangun sebuah kota yang ideal. Ini yang diharapkan ada pada proyek IKN Nusantara.

“Jika rencana pembangunan dan implementasinya sejalan, IKN Nusantara dapat menjadi sebuah kota yang ideal, sebuah forest city berkelanjutan. Namun, yang paling penting adalah bagaimana kita dapat mengawal proses perencanaan hingga implementasi ini bisa terealisasi,” jelasnya.

Menurut Rizqa, meskipun ada kekhawatiran dari masyarakat bahwa IKN hanya memindahkan masalah, namun jika implementasinya sesuai dengan yang direncanakan, IKN dapat menjadi contoh kasus bagaimana sebuah kota ternyata dapat berkelanjutan, nyaman, dan tetap menjaga keseimbangan ekologis dan ekonomi.

“Kita harus mengontrol agar IKN tetap sesuai dengan daya dukung atau carrying capacity yang ada, serta dapat mengantisipasi pembangunan-pembangunan selanjutnya. Karenanya, mekanisme untuk memantau apa yang direncanakan dan dimplementasikan menjadi penting,” tegasnya.

Referensi Jurnal:

D?browska, J. et al. (2023). Between flood and drought: How cities are facing water surplus and scarcity. Journal of Environmental Management, 345, p. 118557. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2023.118557.

Thanvisitthpon, N. et al. (2023). Climate change-induced urban heat Island trend projection and land surface temperature: A case study of Thailand’s Bangkok metropolitan. Urban Climate, 49, p. 101484. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.uclim.2023.101484.

Wang, L. (2022). Exploring a knowledge map for urban resilience to climate change. Cities, 131, p. 104048. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.cities.2022.104048.

Zhong, C. et al. (2023). Evaluating trends, profits, and risks of global cities in recent urban expansion for advancing sustainable development. Habitat International, 138, p. 102869. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2023.102869.

 

Artikel yang diterbitkan oleh Rahmadi R

#Perubahan Iklim

Index

Berita Lainnya

Index