ANALISD.com - Rajes Sitanggang,  sibuk memotong rumput gajah untuk pakan kerbaunya di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Setelah memberi makan, Rajes menuntun tiga kerbau berendam di sebuah kubangan di sebelah rumahnya, dalam proses yang dikenal sebagai ‘marsobur’.

Dia memperlakukan kerbau seperti anggota keluarga. Baginya, kerbau lebih dari sekadar hewan kerja. Kerbau adalah mitra yang sakral dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai Ketua Adat Desa Pargamanan–Bintang Maria, Rajes memiliki lahan sawah luas warisan orangtuanya. Tradisi bertani sudah jadi bagian turun-temurun dalam keluarga. Meskipun hidup di era modern, Rajes tetap memelihara kerbau dan menganggap hewan bertanduk ini sangat penting.

Saat ini, dia harus menghidupi tiga anaknya yang masih bersekolah. Impian terbesarnya,  agar keturunannya dapat melanjutkan tradisi ini.

Ibnu Avena Matondang,  Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, mengatakan, kerbau (horbo) merupakan mitra kerja yang setia bagi petani Toba.

Selain sebagai alat bercocok tanam dan transportasi hasil pertanian, kerbau juga melambangkan kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakat Batak Toba.

“Dulu,  kerbau  adalah milik komunal. Tak seperti sekarang yang sudah jadi kepemilikan pribadi.  Kerbau turut menyuburkan sawah para tetangga. Pada masa itu, belum dikenal sistem uang seperti sekarang, masih pakai sistem barter,” kata Avena.

Ada tiga konsep dalam budaya Batak Toba yang terkait erat dengan simbolisme kerbau. Konsep-konsep ini, katanya,  membentuk sistem nilai kebudayaan Batak Toba turun-temurun.

Pertama,  adalah konsep “hamoraon, hagabeon, hasangapon,”, yang mengaitkan kerbau dengan kemakmuran, kebersamaan, keadilan, dan keseimbangan.

Hamoraon, katanya,  menggambarkan kerbau telah memberikan kehidupan yang sejahtera dan berlimpah bagi banyak keluarga. “Kerbau, hewan kuat dan tahan banting jadi mitra kerja petani dalam mengolah tanah dan menghasilkan hasil panen melimpah.”

Hagabeon mengacu pada kebersamaan dan solidaritas dalam budaya Batak Toba. Para petani bekerja secara gotong-royong di ladang, yang disebut “marsiadapari” dalam bahasa lokal. Saat musim panen tiba, masyarakat berkumpul untuk membantu petani memanen hasil tanaman. Proses ini sering disebut “mandok bolon” atau memberi makan kerbau. Setelah panen, petani memberi makan kerbau sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka.

Hasangapon melambangkan keadilan dan keseimbangan. Hasil panen dibagi adil antara petani dan pemilik ladang. Pemilik ladang memberikan kerbau sebagai bentuk upah kepada petani yang membantu mengolah tanah dan menanam tanaman.

Pembagian hasil panen, katanya, secara proporsional sesuai kesepakatan sebelumnya, menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam sistem pertanian tradisional Batak Toba.

“Dalam konsep hamoraon, hagabeon, dan hasangapon secara keseluruhan, kerbau memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga harmoni dan keseimbangan alam serta keberhasilan dalam pertanian dan kehidupan,” kata Avena.

Dia bilang, peran kerbau dalam upacara adat Batak telah berkurang seiring kolonialisme dan pengaruh misionaris. Peran kerbau dalam upacara adat perlahan terganti babi.

Babi, katanya,  dianggap lebih praktis dan murah dalam upacara adat, meskipun tak memiliki hubungan langsung dengan tanah seperti kerbau.

Simbolisme kerbau, katanya,  juga terlihat dalam berbagai ritual adat Batak. Pada upacara pernikahan, keluarga memotong kerbau dalam prosesi yang disebut mangalaksa. Prosesi ini melambangkan pengorbanan untuk memperoleh kehidupan sejahtera dan sukses bagi pasangan pengantin.

Selain itu, ritual mangalat horbo dalam upacara kematian atau saurmatua, kerbau menjadi bagian penting. Kerbau dipersembahkan sebagai simbol penghormatan kepada orang yang meninggal dan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diberikan.

Dalam upacara saurmatua, keluarga dan kerabat berkumpul, berdoa bersama, dan memasak kerbau untuk disajikan kepada tamu undangan yang hadir.

“Setiap bagian tubuh kerbau dipotong dan dibagikan kepada kerabat orang yang meninggal. Mulai dari kepala, gigi, badan, kaki depan, kaki belakang, ekor, hingga kulit,” katanya, seraya menambahkan, kulit kerbau juga jadi taganing (alat musik pukul tradisional.

Tak hanya dalam upacara adat, simbolisme kerbau juga terlihat dalam rumah adat Batak. Di atas pintu masuk rumah adat, ada tanduk kepala kerbau. Tanduk ini melambangkan keberhasilan, kemakmuran, dan penghormatan kepada leluhur yang berjasa membangun kehidupan masyarakat.

“Berbeda dengan rumah adat Toraja yang memiliki beberapa susunan tanduk kepala kerbau, dalam rumah adat Batak Toba cukup satu tanduk melambangkan pemimpin,” kata Avena.

Populasi turun?

Sayangnya, populasi kerbau (Bubalis bubalis) di Pulau Samosir,  tempat salah satu populasi kerbau terbesar di Sumatera Utara, mengalami penurunan signifikan.

Menurut penelitian Nurzainah Ginting 2021, dalam waktu lima tahun (2017-2021), populasi kerbau di Pulau Samosir turun dari 24.207 jadi 17.352 ekor.

Penurunan populasi kerbau ini menjadi perhatian serius karena memiliki peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat Batak di Samosir.

Kerbau, katanya,  aset berharga bagi petani dan menjaga kesuburan tanah. Kerbau juga memiliki nilai budaya dan spiritual mendalam.

Nurzainah bilang, satu faktor penurunan populasi kerbau karena serangan penyakit Haemorrhagic septicaemia. Pada 2018, ratusan kerbau mati karena penyakit ini.

Perubahan ekonomi dan sosial di daerah itu, katanya, juga berkontribusi pada penurunan populasi kerbau.

Meskipun demikian, upaya budidaya kerbau masih terus dilakukan di Pulau Samosir. Pemerintah Samosir telah mendistribusikan bantuan kerbau kepada kelompok peternak pada 2014. Kerbau tersebar di sembilan kecamatan dengan sentra penghasil di Kecamatan Pangururan, Nainggolan, Onan Runggu, dan Simanindo.

 

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

Berita Lainnya

Index