ANASLID.com, Pohuwato - Umar Pasandre, Orang Bajo, menunjuk ke arah bentangan hutan mangrove di pesisir barat Gorontalo, di Kawasan Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato. Saat itu, pertengahan Mei lalu, lelaki 54 tahun ini memperlihatkan hasil membangun kesadaran masyarakat mengenai betapa penting mangrove bagi kehidupan pesisir.

“Dalu, pohon-pohon mangrove ini banyak ditebang untuk bahan utama pembuatan rumah serta kayu bakar. Sekarang,  sudah tidak lagi karena banyak orang sadar pentingnya mangrove untuk lingkungan,” kata Umar kepada Mongabay.

Di lokasi itu, ada sekitar 125 hektar hutan mangrove tersebar di tiga desa, yaitu, Desa Torosiaje, Torosiaje Jaya, dan Bumi Bahari. Tanaman-tanaman itu kini dirawat warga sekitar dengan sepenuh hati. Bahkan, ada warga yang membuat budidaya pembibitan mangrove di belakang rumah-rumah mereka.

Kesadaran warga untuk menjaga mangrove hingga melestarikan melalui pembibitan itu berkat upaya penyadartahuan Umar sejak sekitar tahun 2000-an. Torosiaje sebelumnya gersang, kini rimbun.

Awalnya, kata Umar tidak gampang. Kini, meskipun belum semua warga pesisir Torosiaje peduli mangrove, setidaknya mayoritas sudah sadar.

“Di wilayah ini, masih ada warga yang acuh tak acuh dengan pentingnya melestarikan mangrove. Alhamdulillah, mayoritas sudah sadar dan mulai menjaga, bahkan membuat bibit mangrove di rumah-rumah mereka,” ucap Umar.

Pesisir Torosiaje banyak warga Suku Bajo. Sebelumnya, mereka tinggal di atas bidok (perahu) sampai 1930-an. Awal 1935,  mereka mulai membangun babaroh, tempat tinggal sementara untuk istirahat dan mengolah hasil laut.

Bahan konstruksi berasal dari lingkungan sekitar seperti kayu dari pohon mangrove sebagai tiang penyangga, rumbia untuk penutup atap dan bambu sebagai lantai atau dinding. Setelah merasa cocok tinggal di Torosiaje, mereka mengembangkan hunian mereka dari babaroh jadi papondok, dengan bentuk lebih lebih besar dari sebelumnya, namun material konstruksi masih sama.

Pada 1956, katanya,  bentuk papondok ini jadi rumah seperti bentuk hunian saat berada di laut. Pada 1982, pemerintah berupaya merelokasi Suku Bajo untuk dirumahkan di daratan dengan dapat sepetak lahan untuk bercocok tanam. Mereka tak betah, satu demi satu meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke laut.

Umar bilang, dari konteks itulah yang membuat masyarakat Suku Bajo termasuk dirinya mengandalkan mangrove untuk pembuatan rumah. Apalagi, dulu belum ada mesin pemotong kayu seperti senso.

“Itu terjadi karena kami belum mengetahui manfaat dari pohon mangrove untuk kelestarian lingkungan hidup,” katanya.

Hutan mangrove Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Pada 2000, Umar  bilang, pemikirannya mulai tercerahkan setelah mengikuti pelatihan dari Balai Pengelolaan Pengelolaan Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Bone Bolango Gorontalo. Dia ikut program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (gerhan).

Sejak itulah, dia berhenti menebang pohon mangrove dan mulai memberikan edukasi kepada warga terkait manfaat dan fungsi mangrove. Dia pun mengajak warga sekitar  mulai menanam mangrove di wilayah itu.

Salah satu fungsi mangrove yang kerap Umar kampanyekan mengenai hutan tempat kembang biak biota laut yang akhirnya jadi sumber kehidupan nelayan dan masyarakat Bajo. Selain itu, fungsi hutan mangrove bisa  melindungi bencana alam, seperti abrasi, tsunami dan melindungi ekosistem dari badai besar.

“Intinya, yang saya sampaikan kepada masyarakat jika hutan mangrove rusak, akan berpengaruh ke kehidupan nelayan, dan masyarakat Suku Bajo yang hidupnya tergantung dari hasil laut,” kata Umar.

Pada 2007, Umar berinisiatif membentuk Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) Paddakauang. Kelompok ini beranggotakan tiga desa di perkampungan Suku Bajo: Torosiaje, Torosiaje Jaya, dan Desa Bumi Bahari. Salah satu tugas kelompok nelayan sadar lingkungan itu adalah menjaga ekosistem laut dengan menanam mangrove. Ia jadi ketua di kelompok itu hingga kini.

Sejak itu, dia aktif memberikan penyadaran terhadap warga Bajo dan yang lain soal betapa penting menjaga lingkungan. Umar pun dibantu Lembaga Swadaya Masyarakat Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) dan program Teluk Tomini Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam). Lembaga itu juga fokus mengkampanyekan penghentian perusakan mangrove.

Dengan bantuan itu, Umar membuat berbagai diskusi yang rutin dilaksanakan di pemukiman Suku Bajo di tiga desa itu, baik bersama anggota kelompok nelayan sadar lingkungan, maupun nelayan dan warga.

Dia pun mengajak warga sekitar untuk menanam ribuan mangrove di bibir Teluk Tomini itu. Alhasil, perlahan masyarakat pun mulai sadar, hingga kini mayoritas warga di tiga desa itu tak lagi menebang mangrove.  Bahkan,  mereka mulai menjaga kelestarian mangrove, hingga membuat budidaya bibit secara mandiri.

“Proses pertumbuhan pohon mangrove membutuhkan waktu lama, bahkan bisa sampai 30 tahun untuk menjadi pohon cukup besar. Kami terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar tak menebang mangrove lagi,” katanya.

Ancaman

Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Gorontalo, kerusakan kawasan mangrove di provinsi ini mencapai 67%. Tambak jadi penyumbang terbesar kerusakan hutan mangrove di Gorontalo, seperti di Kabupaten Pohuwato. Padahal Pohuwato merupakan wilayah yang memiliki luasan mangrove terbesar di Gorontalo.

Berdasarkan SK Menhut no 325/Menhut-II/2010 tentang penunjukan kawasan hutan di Gorontalo, Pohuwato memiliki kawasan hutan terluas 473.273 hektar. Ia terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan suaka alam, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan areal penggunaan lain. Dari jumlah itu, luas kawasan hutan mangrove 15.600 hektar.

Dari data Dinas Kehutanan terdapat 8.233 hektar hutan mangrove di daerah itu berubah fungsi menjadi tambak.

Pada 2010, Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga membuat Instruksi Nomor 522/PEM/1057/X/2010 soal pelarangan pembukaan lahan tambak di kawasan hutan mangrove. Regulasi itu dibuat untuk mengatasi laju kerusakan mangrove di Pohuwato. Sayangnya, praktik perusakan mangrove jadi tambak terus terjadi. Data Badan Pusat Statistik (2018), hutan mangrove di Pohuwato tinggal 4.909,60 hektar.

Umar bilang, tambak jadi ancaman cukup serius untuk kelestarian mangrove di Gorontalo. Di pesisir Torosiaje, dia beberapa kali bermasalah dengan pengusaha tambak yang mencoba merusak hutan yang sudah mereka jaga lebih dari dua dekade itu. Bahkan, beberapa kali dia berhadapan dengan hukum hingga ke Polres Pohuwato untuk melindungi hutan mangrove di tempat tinggalnya itu.

Pada 2010, rumah Umar pernah didatangi sejumlah orang yang protes atas larangan menebang mangrove. Mereka sedang mencoba membuat tambak ikan di hutan mangrove itu, tetapi mendapatkan perlawanan dari Umar.

Saat itu,  nyaris ricuh karena masyarakat sekitar diprovokasi pakai minuman keras oleh pengusaha tambak untuk melawannya. Bahkan, pemerintah desa saat itu pun terpengaruh.

Umar tak gentar, dia melawan penguasa tambak itu. Dia mempertanyakan izin yang diperoleh pengusaha tambak di sana. Semua pertanyaan Umar tidak bisa dijawab.

Umar Pasandre bersama warga sekitar menjaga mangrove Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Ada juga pengusaha tambak yang terang-terangan membuka tambak ikan di hutan mangrove tanpa pemberitahuan dan izin pemerintah daerah dan desa. Saat mendapatkan informasi itu, Umar mengajak warga di pemukiman Bajo mendatangi lokasi tambak itu, sekaligus menghentikan aktivitas mereka. Umar bilang, peristiwa semacam itu banyak terjadi.

“Kebanyakan, kasus-kasus tambak ilegal oleh orang-orang dari luar Torosiaje. Orang-orang itu memanfaatkan warga Torosiaje untuk protes ke saya agar rencana mereka itu jalan.”

Umar bilang, banyak tekanan dari berbagai pihak karena aktivitas tambak di hutan mangrove. Dia juga beberapa kali kena fitnah dan dituding melakukan hal-hal yang melanggar hukum, bahkan dipengaruhi dengan uang. Umar tidak gentar sedikitpun.

“Saya kalau meninggal hanya untuk kebenaran menjaga lingkungan, itu tidak masalah. Nyawa, saya pertaruhkan untuk tetap menjalankan niat saya ini menjaga hutan mangrove di kampung saya ini.”

Mangrove, katanya,  turut serta dalam mengendalikan perubahan iklim dengan berperan sebagai paru-paru dunia melalui penyerapan dan penyimpanan karbon biru (fungsi mitigasi). Selain berfungsi sebagai pelindung pantai dan ‘karbon biru’ (blue carbon), mangrove merupakan nursery ground dan habitat biota yang bernilai ekonomis seperti ikan, kepiting, dan udang.

Umar juga tak henti-henti belajar tentang mangrove dari berbagai sumber, baik itu melalui artikel-artikel yang diperoleh di internet dan buku-buku, juga diskusi dengan aktivis mangrove dan berdasar pengalaman di lapangan. Umar pun ikut bergabung di Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Gorontalo.

Dia juga memperluas jejaring dengan terlibat dalam berbagai kegiatan berbagai lembaga swadaya masyarakat, salah satunya terlibat dalam program pembangunan berkelanjutan dan ekosistem mangrove di Gorontalo yang dibuat Burung Indonesia dan Japesda. Dia jadi salah pendamping.

Umar bersyukur, usaha selama lebih 20 tahun jaga mangrove tidak sia-sia. Di di kawasan pesisir Torosiaje sudah ada peningkatan cukup baik dalam gerakan konservasi dan restorasi mangrove. Masyarakat mulai mempertahankan dan memperluas hutan mangrove setelah sadar manfaatnya.

“Mungkin, sampai hidup saya berakhir, saya tetap berada di jalan ini untuk menjaga terus hutan mangrove di pesisir Torosiaje. Saya akan tetap setia dengan apa yang saya tekuni ini.”

Artikel yang diterbitkan oleh Sapariah Saturi

Berita Lainnya

Index