ANALISD.com, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG menyatakan potensi kerugian ekonomi Indonesia pada 2020-2024 mencapai angka Rp 544 triliun akibat dampak perubahan iklam, terutama jika tidak ada intervensi kebijakan ketahanan iklim.

Maka itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan kebijakan ketahanan iklim menjadi salah satu prioritas yang mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp 281,9 triliun hingga tahun 2024 mendatang. 

Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN, pemerintah memberi mandat kepada BMKG untuk mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup dan peningkatan ketahanan bencana dan iklim.

"Hal ini sangat penting karena berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan mencapai rata-rata Rp 22,8 triliun per tahun," ujar Dwikorita dalam keterangan tertulis, Jumat (7/7). 

Dwikorita menjelaskan BMKG terus berupaya menjalankan langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini tidak hanya di sisi teknologi, tetapi juga sumber daya manusia yang terus diperbarui sesuai tuntutan dan kebutuhan yang semakin kompleks. 

Data dan informasi yang diterbitkan BMKG tidak hanya dibutuhkan untuk urusan penanggulangan bencana alam, tetapi juga kesehatan, konstruksi, energi pertambangan, dan pertanian kehutanan. Selain itu, untuk bidang tata ruang, industri, pariwisata, transportasi, pertahanan keamanan, sumber daya air, dan kelautan perikanan. 

"Khusus di sektor pertanian, BMKG terus memperkuat literasi iklim dan cuaca kepada para petani dan penyuluh pertanian sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," kata Dwikorita.

Selain itu, BMKG juga mendorong digelarnya Sekolah lapang iklim (SLI) di seluruh penjuru Indonesia dengan menyasar berbagai komoditas unggulan pertanian.

Menurut Dwikorita, informasi kondisi iklim terkini dari BMKG telah digunakan sebagai salah satu referensi atau bahan pertimbangan pengambilan keputusan serta rekomendasi dalam sistem pemantauan ketahanan pangan nasional. Data dan informasi tersebut berupa anomali iklim global, pemantauan kondisi iklim, dan prediksi iklim.

"Informasi tersebut dapat dijadikan referensi awal untuk menentukan status ketahanan pangan nasional. Apakah berada pada kategori aman, waspada, siaga, atau awas," pungkasnya.

Sebelumnya, BMKG menyatakan pemanasan iklim global mengakibatkan hasil panen menurun hingga gagal tanam. Pada akhirnya, hal itu turut berdampak buruk pada ketahanan pangan nasional. 

"Ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Focus Group Discussion (FGD) Perhimpunan Agronomi Indonesia seperti dikutip pada siaran pers, Jumat (7/7). 

Dia menjelaskan suhu bumi secara global naik 1,2 derajat celsius saat ini. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. 

"Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi," kata Dwikorita. 

Menurut Dwikorita, bencana kelaparan seperti yang diprediksi Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO akan terjadi pada 2050 adalah ancaman nyata. Terlebih, krisis pangan akan benar-benar terjadi jika tidak ada langkah kongkret untuk mengatasi krisis iklim.

 

#Green Economy

Index

Berita Lainnya

Index