ANALISD.com -- Para pemuda di Desa Lembar Selatan, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat tidak menyangka jika kegiatan menjaga mangrove berbuah manis. Desa yang menjadi pintu masuk Pulau Lombok di ujung barat ini menjadi salah satu desa yang masuk dalam nominasi anugerah desa wisata Indonesia (ADWI) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Pada 19 Mei lalu, desa ini dikunjungi tim dari Kemenparekraf untuk penilaian dalam ajang lomba desa wisata seluruh Nusantara itu.

“Hutan mangrove seluas 70 hektare di sini menjadi benteng desa kami,’’ kata Ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Lembar Selatan, Ilham Hafiz, Sabtu, 19 Mei 2023. BUMDES yang diisi oleh anak-anak muda ini mengelola kawasan ekowisata mangrove Lembar Selatan.

Desa ini berada di jalur perlintasan kapal dari Lombok ke Bali. Desa ini berbatasan langsung dengan Pelabuhan Lembar. Pelabuhan yang melayani penyeberangan dari Lombok ke Bali dan sebaliknya, maupun pelabuhan peti kemas yang melayani pengiriman barang ke berbagai daerah di tanah air. Sebagai desa pesisir, Lembar Selatan sangat rentan dengan bencana air pasang. Selain itu, keberadaan muara sungai yang cukup besar membelah desa itu menjadi dua bagian.

Penanaman mangrove di sekeliling desa yang berbatasan dengan laut merupakan upaya masyarakat mengurangi dampak banjir rob. Dulu sebelum mangrove lebat seperti saat ini, Desa Lembar Selatan sangat rentan bencana dari laut. Air laut masuk ke permukiman. Begitu juga saat air sungai meluap, saat yang sama air laut naik, air akan terkumpul dan menggenangi permukiman. Kini di seluruh pesisir – muara sungai di Lembar Selatan ditumbuhi oleh mangrove yang rimbun.

“Ada sembilan jenis mangrove yang ditanam masyarakat di Lembar Selatan,’’ katanya.

Kehadiran mangrove juga mendatangkan berkah bagi masyarakat. Hutan mangrove menjadi sumber pangan masyarakat Lembar Selatan. Tidak perlu jauh melaut untuk sekadar mencari lauk kebutuhan keluarga. Masyarakat bisa menangkap kepiting, udang, kerang, dan ikan yang mudah ditemui di sekitar hutan mangrove. Aktivitas mancing, menjaring, memasang jebakan kepiting jadi keseharian masyarakat Lembar Selatan.

Saat pariwisata mulai digalakkan pemerintah, Desa Lembar Selatan ikut terkenal. Di sisi barat berbatasan langsung dengan Selat Lombok. Kapal dari Lombok – Bali pada sore hari menjadi pemandangan indah. Berjalan di dalam hutan mangrove menjadi atraksi menarik bagi wisatawan. Apalagi ketika awal-awal pariwisata terkenal di Lombok, lebih banyak wisata alam gunung, air terjun, dan gili (pulau kecil). Berkat media sosial, hutan di Lembar Selatan menjadi destinasi wisata baru.

Atas inisiasi masyarakat Lembar Selatan merehabilitasi hutan mangrove, berbagai program pemerintah sudah singgah di desa ini. Bagi para pemuda di Lembar Selatan, nama yang semakin melambung itu menjadi nilai tambah bagi desa. Semakin dikenal, semakin banyak wisatawan berkunjung. Terutama wisatawan lokal. Kini terdapat puluhan pedagang kuliner di sepanjang pesisir pantai Lembar Selatan.

“Usaha masyarakat, UMKM juga tumbuh. Yang menarik, produk UMKM di sini didapatkan berkat hutan mangrove yang lestari,’’ katanya.

Salah satu produk andalan Lembar Selatan adalah terasi udang dan kerupuk rajungan. 100 persen bahan alami, yang didapatkan dari hutan mangrove.

“Terasi ini sampai pernah dibawa ke Jerman,’’ katanya.

Pariwisata Bonus dari Konservasi

Direktur Destinasi dan Tata Kelola Destinasi Kemenparekraf Indra Ni Tua mengapresiasi upaya masyarakat Desa Lembar Selatan dalam menghijauan desa mereka. Hutan mangrove seluas 70 hektare bukan saja melindungi desa Lembar Selatan dari berbagai dampak perubahan iklim, tapi juga memberikan dampak ekonomi secara langsung. Indra melihat langsung lapak kuliner di Lembar Selatan yang berkembang berkat hutan mangrove. Begitu juga produk olahan dari rajungan dan udang sudah menjadi branding Desa Lembar Selatan.

“Ini juga bisa dikembangkan untuk perdagangan karbon, banyak yang tertarik,’’ katanya.

Penanaman mangrove tidak berhenti setelah desa ini dikenal sebagai salah satu desa wisata. Kegiatan pembibitan mangrove terus dilakukan masyarakat. Begitu juga penanaman mangrove menjadi kegiatan rutin. Bahkan menjadi salah satu atraksi wisata.

“Tambah lagi luasnya (hutan mangrove),’’ pesan Indra.

Indra menegaskan, ekowisata mangrove Desa Lembar Selatan ini bisa menjadi contoh desa-desa pesisir lainnya. Masyarakat secara mandiri menghijaukan desa mereka. Kegiatan konservasi yang dilakukan bertahun-tahun mendapatkan bonus berkembangnya pariwisata. Semangat konservasi ini perlu dijaga. Menurut Indra pariwisata berkembang ke arah pariwisata berkelanjutan. Pariwisata sejalan dengan upaya-upaya konservasi.

“Mangrove ini menjaga oksigen dunia,’’ katanya.

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Barat Abdul Majid yang hadir dalam kunjungan tim Kemenparkeraf mengatakan, pariwisata berbasis desa terbukti tangguh dalam menghadapi bencana. Baik itu bencana gempa bumi pada 2018, dan bencana Covid-19. Saat pandemi Covid-19 seluruh tempat wisata ditutup, tapi begitu ada kelonggaran, tempat pertama yang ramai adalah destinasi wisata. Karena itulah pemulihan ekonomi di desa-desa wisata cukup cepat.

“Kita tahu karena bencana gempa dan Covid-19 keuangan pemerintah daerah terbatas, tapi Desa Lembar Selatan ini mampu menunjukkan prestasi,’’ katanya.

Majid yang juga seorang pelaku wisata, jauh sebelum menjadi anggota DPRD memang aktif sebagai pemandu. Dia cukup dikenal karena mempopulerkan Sekotong Mendunia dan Lembar Menggoda. Dua kecamatan di ujung barat Pulau Lombok ini menjadi pintu masuk dari Bali.

“Karena itulah dukungan untuk infrastruktur penunjang pariwsiata di daerah ini, Lembar dan Sekotong harus dioptimalkan,’’ katanya.

Akses jalan ke destinasi belum seluruhnya bagus. Begitu juga dampak ikutan pariwisata, yaitu sampah menjadi tantangan berat pengelolaan destinasi. Masyarakat desa yang mengelola destinasi tidak mungkin bisa memenuhi semua sarana dan prasarana itu.

“Tugas pemerintah menyiapkan infrastruktur, selanjutnya pelaku wisata akan bekerja,’’katanya. (*)

Berita Lainnya

Index