ANALISD.com, Kepri - “Di pusara para angkara, bertandan negeri menjadi peranan, pulau yang bagai manik permata, tenggelam karena pasirnya menjadi dollar Singapura,”

Begitu penggalan puisi yang disampaikan Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Provinsi Kepulauan Riau, Agung Dhamar Syakti saat memberikan sambutan dalam membuka acara diskusi publik bertajuk “Dampak Perubahan Iklim terhadap Pulau-pulau Kecil di Kepri”, di Kampus Umrah, Dompak, Tanjungpinang, Rabu, 16 Juni 2023.

Diskusi ini dilaksanakan atas kerjasama Kampus Umrah, Mongabay Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang. Sekitar 50 orang hadir dari kalangan aktivis lingkungan, LSM lingkungan, pemerhati lingkungan hingga organisasi kemahasiswa yang antusias mengikuti diskusi ini.

Agung mengatakan, seluruh pulau-pulau kecil di Kepri rentan terdampak perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini. “Melalui diskusi ini bersama-sama kita mengatasi dampak kerentanan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim,” katanya.

Apalagi lanjutannya, perubahan iklim semakin diperparah akibat antropogenik (tindakan dan kelalaian manusia). “Termasuk penambangan pasir, atau dalam bahasa (pemerintah) pengelolaan hasil sedimentasi laut, padahal sama dengan pasir laut,” lanjutnya.

Dampak perubahan iklim sudah dirasakan oleh masyarakat Kepri, kata Agung. Misalnya semakin seringnya terjadi cuaca ekstrem, sea level rise atau kenaikan permukaan laut yang disebabkan berubahnya ekosistem mangrove di Kepri. “Mahasiswa yang hadir dalam diskusi ini juga kita harapkan menjadi agen perubahan, memviralkan dampak perubahan iklim,” katanya.

Setelah sampaikan sambutan Agung secara resmi membuka diskusi sekaligus menandatangani kerjasama antara UMRAH dengan Mongabay Indonesia. Kerjasama difokuskan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait kampanye menjaga lingkungan.

Mangrove, Benteng Pesisir Kepri yang Rusak

Diskusi Publik ini mendatangkan dua pemantik yaitu Ketua Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PPSPL) UMRAH Wahyudin dan Program Manager Mongabay Indonesia Ridzki R. Sigit. Kedua pemateri memberikan pemahaman perubahan iklim sudah nyata di depan mata.

Perubahan iklim terjadi akibat gas rumah kaca (GRK) karena emisi CO2 yang berlebihan di atmosfer. Pasalnya semakin banyak terjadi deforestasi hutan tropis maupun mangrove yang berfungsi mempercepat naiknya CO2 ke atmosfer.

Fakta di lapangan, kata Wahyudin, dampak perubahan iklim itu sudah terjadi di Kepri, mulai dari abrasi yang disebabkan gelombang laut tinggi, kenaikan air laut, dan berbagai macam dampak lainnya. “Manusia harus mampu beradaptasi terhadapan perubahan apapun, kalau tidak bisa gugur,” katanya.

Mitigasi perubahan iklim sangat perlu dilakukan masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim saat ini. Perubahan iklim tidak hanya disebabkan oleh alam tetapi juga ulah tangan manusia. Kerusakan mangrove menjadi pendorong perubahan iklim terjadi.

Contohnya saja kondisi mangrove di Kota Batam yang semakin hari, semakin berkurang. Total luasan mangrove di Pulau Batam hanya tinggal 100 hektar. “Bagian utara pulau Batam, mangrovenya sudah habis, bagian selatan hanya tinggal beberapa. Data mangrove di Batam terlihat luas karena ditolong oleh mangrove yang ada di Pulau Rempang dan Pulau Galang,” katanya.

Salah satu penyebabnya akibat meningkatnya pembangunan sektor industri, pemukiman dan lainnya. Bahkan kata Wahyudin, tidak hanya mangrove yang hilang, tetapi kondisi ekosistem pesisir di Pulau Batam juga rusak. “Saya mengambil data luasan mangrove dari 2014 sampai 2022, data cenderung menunjukan luasan mangrove menurun,” katanya. Selain pembangunan industri dan pemukiman, kerusakan mangrove di Pulau Batam juga disebabkan oleh penebangan untuk keperluan arang bakau.

Cara mengatasi agar deforestasi tidak terjadi masif, kawasan hutan mangrove harus dijadikan destinasi wisata. “Dalam penelitian setiap kawasan mangrove yang jadi lahan wisata luasnya bertahan stabil dari tahun ke tahun,” kata Wahyu.

Begitu juga kondisi karang di Kepri, saat ini berstatus sedang. Padahal karang salah satu penyerap CO2 agar tidak berlebihan naik ke atmosfer yang menyebabkan pemanasan global (perubahan iklim). “Dua tahun ini saya keliling di pulau-pulau di Kepri, kami menemukan karang yang bagus di Kepri itu hanya ada secara umum di Natuna dan Anambas, sebagian di Bintan,” kata Wahyu.

Sedangkan Kota Batam dan Kabupaten Karimun sudah bisa dikatakan tidak ada lagi karang yang bagus. “Selain disebabkan bleaching karang, kegiatan manusia juga menjadi penyebab,” katanya.

Aktivitas manusia lain yang mendorong terjadinya semakin cepatnya dampak perubahan iklim terhadap pesisir adalah kebijakan PP No.26/2023 yang sedang heboh jadi perbincangan tentang pengelolaan sedimentasi laut. Menurut Wahyu, pengambilan sedimentasi laut itu juga akan mempercepat perubahan topografi pesisir, apalagi aktivitas penyedotan sedimentasi laut berada di dekat pulau-pulau kecil.

Padahal secara alami gundukan pasir yang ada di dekat pulau menjadi penahan gelombang agar gelombang tidak secara langsung menghantam pesisir pulau. “Kalau gundukan pasir itu diisap tentu akan terjadi penurunan perubahan topografi daerah pesisir pulau tersebut,” katanya.

Saat ini menghadapi perubahan iklim sangat dibutuhkan climate action seperti penanaman mangrove atau transplantasi karang. Tetapi setiap kegiatan itu harus dipastikan apakah mereka tumbuh atau tidak. “Saya mengutip sebuah kalimat dari Paul Watson, we can’t live on the planet with dead ocean, if our ocean die, we die,” kata Wahyu

Setelah itu, Program Manager Mongabay Indonesia Ridzki R. Sigit memaparkan kondisi isu perubahan iklim ditengah masyarakat. Ridzki mengatakan, Mongabay Indonesia secara terus menerus memberikan laporan terkait dampak perubahan iklim di Indonesia. Termasuk cerita-cerita masyarakat yang terdampak di Kepri.

“Ini bisa kita lihat, cerita tentang warga pulau kecil Mansemut di Lingga Kepri yang harus mengungsi akibat kenaikan permukaan laut. Ini dampak perubahan iklim yang nyata,” kata Ridzki.

Dalam beberapa riset, isu perubahan iklim memang tidak populer. Penyebabnya mulai dari pengetahuan masyarakat tentang isu perubahan iklim terbatas, perilaku manusia yang abai, hingga aksesibilitas terhadap pulau terdampak sangat minim.

Ridzki memaparkan beberapa poin cara melihat dampak perubahan iklim. Pertama dilihat dari sisi alam, artinya perubahan iklim berdampak kepada siklus alam yang terganggu. Kedua, sisi hak asasi manusia, perubahan iklim berdampak kepada hak manusia sebagai konsumen dan masyarakat sipil.

Ketiga, melihat dampak perubahan iklim dari sisi keadilan lingkungan. Banyak masyarakat rentan menjadi korban perubahan iklim yang tidak diperhatikan. Salah satunya masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil. “Perubahan iklim mendorong ketidakadilan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga hewan tumbuhan dan vegetasi lainnya,” katanya.

Kemudian, framing dari sisi spiritual. Dampak perubahan iklim sangat berpengaruh kepada masyarakat adat yang kehilangan kearifan lokalnya. “Tadinya masyarakat yang sudah punya pondasi dasar sosiologis hilang akibat perubahan iklim,” pungkasnya.

 

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index