ANALISD.com - Kegiatan perkebunan kayu eukaliptus PT Toba Pulp Lestari (TPL) di sekitar kawasan Danau Toba, Sumatera Utara (Sumut), diduga mengandung aroma patgulipat atau kecurangan. Hal tersebut diungkap dalam laporan berjudul The Devil is in The Detail-Aroma Patgulipat Izin Toba Pulp Lestari, yang dirilis Koalisi Indonesia Memantau, pada Selasa, 20 Juni 2023.

Dugaan patgulipat itu didasarkan dari temuan yang di antaranya, keberadaan kebun kayu di luar izin terbaru PT TPL namun masuk dalam areal izin sebelumnya, kebun kayu yang dibangun di Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Lindung di dalam izin terbaru PT TPL, kebun kayu yang ada di luar agregat izin PT TPL.

Perlu diketahui, selama 39 tahun beroperasi--termasuk saat masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU)--PT TPL telah mengalami 9 kali perubahan izin. Dari 9 kali perubahan izin itu, 7 di antaranya mengakibatkan luasan areal izin berubah.

Analisis spasial yang dilakukan Koalisi menunjukkan, bila tiap perubahan luas areal usaha PT TPL itu dimerger atau dipadukan, maka luas Tanah Batak yang masuk dan pernah masuk dalam izin usaha PT TPL mencapai 291.263 hektare, atau hampir empat setengah kali luas DKI Jakarta. Dari luasan tersebut, 154.111 hektare di antaranya selalu berada dalam wilayah izin PT TPL.

Awalnya, izin usaha yang pertama didapatkan perusahaan ini adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 150 ribu hektare lewat SK 203/Kpts-IV/84 yang terbit pada 23 Oktober 1984. Kala itu PT TPL masih menggunakan nama lama yakni PT Inti Indorayon Utama.

Setelah 8 tahun melakukan penebangan hutan secara selektif, tepatnya pada 1 Juni 1992, izin usaha PT IIU kemudian berganti menjadi HPH Tanaman Industri atau karib disebut Hutan Tanaman Industri (HTI--kini disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Tanaman Industri. Dalam perubahan perizinan ini, areal izin perusahaan yang konon disebut milik Sukanto Tanoto itu bertambah jauh lebih luas, yakni sekitar 269.060 hektare.

“Penambahan luasan izin ini keistimewaan yang diberikan pemerintah kepada TPL,” kata Supintri, Direktur Hutan, Yayasan Auriga Nusantara, dalam konferensi pers yang disiarkan via Kanal You Tube Auriga Nusantara, pada Selasa (20/6/2023).

Setelahnya, terhitung 8 kali perubahan izin terjadi. Izin terakhir yang dipegang PT TPL adalah SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, yang terbit pada 28 Juli 2020, dengan luas areal usaha 167.912 hektare. Areal izin tersebut berada di Kabupaten Simalungun, Asahan, Toba, Pak-Pak Barat, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, Dairi, Samosir, Padang Lawas Utara, dan Kota Padang Sidempuan.

Areal izin PT TPL (IIU) awalnya terbagi menjadi 6 sektor, yakni Aek Nauli, Aek Raja, Aek Tele, Habinsaran, Sidempuan, dan Sarulla. Namun pada perubahan izin kelima (2011), area Sektor Sarulla dikeluarkan dari wilayah izin PT TPL, sehingga kini konsesi PT TPL berada pada 5 sektor sisanya.

"Luas TPL cenderung berkurang secara statistik. Tapi tidak serta-merta sebagai penciutan izin. Karena ada area-area baru yang dimasukkan dalam izin revisi. Secara agregat, izin TPL mencakup area seluas 291.263 hektare,” kata Supintri.

Kebun Kayu dalam APL dan Hutan Lindung

Dari luas izin usaha 167.912 hektare itu, 33.265 hektare izin PT TPL berada di luar kawasan Hutan Produksi, yakni seluas 22.033 hektare di dalam Areal Penggunaan Lain (APL) dan 11.232 hektare di dalam Hutan Lindung. Menurut hasil analisis citra satelit, Koalisi menemukan sekitar 3.660 hektare kebun kayu dibangun di dalam Hutan Lindung itu, dan 2.369 hektare kebun kayu lainnya berada di dalam APL.

Koalisi berpendapat, pemberian izin PT TPL pada lahan berstatus APL, mencederai akal sehat. Terutama untuk korporasi yang konflik sosialnya dengan masyarakat lokal relatif tinggi. 

"Padahal, tutupan kebun kayu eksisting di APL tersebut hanya 11%. Di sisi lain, izin TPL telah membentang di 12 kabupaten/kota di Sumut, sehingga pemberian izin di APL ini berpotensi menambah konflik sosial baru. Pemerintah semestinya mengeluarkan APL ini dari izin PT TPL, lantas memberikannya kepada masyarakat lokal," terang Supintri.

Pendapat senada disampaikan Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Perempuan peraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2023 itu mengatakan, perusahaan seharusnya mengajukan enclave untuk mengeluarkan areal dengan fungsi APL dari izin konsesi. Karena pada hakikatnya, izin penggunaan kawasan hutan, berada di atas fungsi kawasan hutan produksi atau hutan produksi tetap, dan tidak dibenarkan berada dalam fungsi APL yang jelas peruntukkannya bukan untuk izin kehutanan. 

"Sebenarnya (penanaman eukaliptus pada lahan APL) itukan tidak boleh. Harusnya memang perusahaan itu melakukan tata batas. Ketika tata batas wilayahnya, mereka harus mengeluarkan (lahan APL) dari konsesinya. Dengan tidak dikeluarkannya areal APL dari konsesi PT TPL, hal ini menjadi memperuncing konflik lahan antara masyarakat dengan PT TPL," kata Delima.

Kemudian, izin perkebunan kayu monokultur juga tidak semestinya berada di kawasan Hutan Lindung. Kedua hal ini bertabrakan, karena kawasan Hutan Lindung diperuntukkan demi pemeliharaan hidrologi, sedangkan izin monokultur justru mengkonversi tutupan yang ada menjadi tanaman yang relatif sejenis sehingga mengurangi efektivitas daerah tangkapan air. 

Pemerintah, imbuh Supin, harus mengoreksi kekeliruannya ini dengan meneguhkan keberadaan hutan lindung melalui pencabutan izin PT TPL dari sana. Terhadap kebun kayu yang terlanjur berada di sana, harus ditegaskan bahwa terhadapnya tidak boleh dilakukan penebangan sama sekali.

 

Pembangunan kebun kayu eukaliptus PT TPL di lahan APL dan Hutan Lindung ini juga tidak sesuai dengan amanat Pasal 5 Ayat (1) PP No. 7 Tahun 1990, yang dengan jelas menyebut areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan Hutan Produksi Tetap yang tidak produktif. Dengan demikian, pembangunan kebun kayu di APL dan Hutan Lindung ini bisa disebut kecurangan lainnya yang dilakukan PT TPL.

Kebun Kayu di Luar Izin PT TPL

Seperti disebutkan sebelumnya, perubahan izin PT TPL mengakibatkan perubahan luasan areal izin usahanya. Luas PBPH Hutan Tanaman PT TPL memang cenderung berkurang dari luasan awalnya yang seluas 269.060 hektare, dan sekitar 20.803 hektare bekas izin itu sudah diubah statusnya menjadi APL.

Namun berdasarkan identifikasi tutupan kebun kayu, yang dilakukan Koalisi,, seluas 1.418 hektare lahan APL ini berupa kebun kayu. Mengingat APL pada dasarnya merupakan pemindahan penguasaan lahan dari Negara kepada privat, maka dapat diartikan bahwa lahan tersebut secara praktis telah diserahkan kepemilikannya kepada TPL.

Masih dalam laporannya, Koalisi juga mengungkapkan adanya 5.163 hektare perkebunan eukaliptus yang berada di luar areal izin terbaru PT TPL, namun masih berada dalam areal izin sebelumnya. Dijabarkan lebih detail, 3.443 hektare berada di kawasan Hutan Produksi dan 1.720 hektare lainnya berada di dalam kawasan Hutan Lindung.

"Menjadi pertanyaan apa yang akan dilakukan terhadap 5.163 hektare ini ke depan, apakah dijadikan kebun kayu yang secara periodik ditebang demi suplai bahan baku ke pabrik TPL, ataukah dikelola dengan skema yang tidak terkait dengan (pasokan kayu ke pabrik) TPL?" kata Koalisi dalam laporannya.

Menurut Koalisi, penebangan eukaliptus di Hutan Lindung semestinya tidak diperbolehkan, apalagi banjir yang cenderung meninggi di hilir area izin PT TPL, terutama di Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Asahan. Sementara terhadap kebun kayu yang ada di Hutan Produksi, pemerintah sebaiknya memprioritaskan pengalokasiannya bagi masyarakat lokal.

Selain itu, Koalisi juga menemukan adanya kebun kayu yang berada di luar agregat PT TPL. Secara keseluruhan luasnya sekitar 3.990 hektare, terdiri atas 567 hektare dalam Hutan Lindung, 648 hektare dalam Hutan Produksi dan 2.775 hektare dalam APL.

"Tak pernah terdengar penyelidikan atau penindakan KLHK terhadap adanya tutupan kebun kayu monokultur di luar agregat izin TPL yang berada di dalam kawasan ini," tuding Supin.

PKR Akal-akalan untuk Bangun Kebun Atas Nama Rakyat?

Dugaan kecurangan praktik perkebunan kayu PT TPL juga tercium dari kerja sama yang dibangun perusahaan dengan warga sekitar konsesi, dengan merek Perkebunan Kayu Rakyat (PKR). Menurut Delima, PKR hanyalah akal-akalan atau modus perusahaan untuk mengambil hati masyarakat sekaligus memperluas pembangunan kebun kayu, dengan memanfaatkan warga.

"Di Hutan Lindung juga ada PKR. Dari pengamatan kami, PKR ini akal-akalan perusahaan untuk mengambil hati masyarakat. Dalam aturan mereka tidak diperbolehkan bangun PKR di wilayah konsesinya. Kami juga melihat PKR menjadi cara perusahaan untuk menguasai lahan, untuk memenuhi bahan baku. Seperti di Sipirok, sekitar 50 sampai 60 hektare, tadinya itu hutan alam," ungkap Delima.

Delima Silalahi mengungkapkan, pola PKR ini memanfaatkan lahan milik masyarakat yang dikerjasamakan dengan PT TPL untuk ditanami eukaliptus. PT TPL akan menanggung biaya untuk pembelian bibit hingga penanaman, dan saat masa panen, kayu yang ditanam akan dibeli oleh PT TPL.

"Pola PKR ini pada awalnya didukung pemerintah untuk meningkatkan nilai guna lahan dan ekonomi masyarakat, namun pertanyaan besar dari pola yang diterapkan PT TPL, benarkah dengan pola PKR masyarakat di sekitar konsesi menjadi lebih sejahtera?" kata Delima.

Delima bilang, KSPPM pernah melakukan valuasi ekonomi, dengan wawancarai warga peserta PKR. Hasilnya, menurut Delima, warga menyebut pendapatannya menurun. Sebab pembangunan PKR yang mengubah hutan alam menjadi kebun monokultur eukaliptus, telah mengakibatkan perubahan lingkungan yang sangat berdampak pada ruang-ruang hidup warga. 

Akibat PKR, lanjut Delima, warga jadi kehilangan sungai, kehilangan lahan penggembalaan, dan banyak satwa hama seperti kera, menyerang sawah dan perladangan warga. Yang ujungnya menyebabkan gagal panen. Dalam suatu kasus, lanjut Delima, bahkan gagal panen perkebunan jagung mencapai hampir 200 hektare. 

"Secara ekonomi warga mengalami penurunan kualitas hidup. Kalau PKR memang membuat mereka sejahtera, seharusnya kualitas hidupnya meningkat sejahtera. Di PKR menurut warga yang diwawancarai itu tidak mendapat keuntungan apa-apa. Hasil per hektare tidak memenuhi kebutuhan, dan yang dapat PKR tidak semua, hanya beberapa warga saja. Seperti tokoh-tokoh masyarakat," ungkap Delima.

Hengky Manalu, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, menurut warga Natumingka yang pernah ikut tanam eukaliptus, per hektare kebun kayu eukaliptus hanya menghasilkan sekitar Rp10 juta per satu daur tanam yang hampir selama 5 tahun lamanya. Ketika masyarakat mengelola lahannya dengan serius, semisal dengan menanam jagung, setiap 4 bulan, masyarakat justru bisa mengumpulkan penghasilan antara Rp6 juta sampai Rp7 juta.

"Dibanding pola kerja sama yang waktunya 4 tahun panen, tidak sebanding menurut saya. Dan masyarakat sekarang sadar, setelah mampu mengelola tanahnya itu, tidak ada aktivitas perusahaan, mereka lebih sejahtera dan ekonominya menjadi lebih baik," ujar Hengky.

Nasihat untuk Pemerintah dan PT TPL

Dalam laporan tersebut, Koalisi Indonesia Memantau juga memberi nasihat dan rekomendasi, baik kepada pemerintah maupun PT TPL. Kepada pemerintah, agar melindungi hutan alam tersisa di konsesi TPL, dan umumnya di Sumatera Utara, melakukan penataan ulang terhadap izin PT TPL, melakukan penertiban terhadap kebun kayu yang berada di luar areal izin PT TPL, 

Kemudian, memimpin pemulihan terhadap areal-areal yang rusak oleh pengembangan kebun kayu, mengeluarkan izin PT TPL dari wilayah adat, dan melakukan pendataan secara komprehensif pemanfaatan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat lokal di dalam dan sekitar area izin PT TPL, sebagai basis penerbitan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu terhadap masyarakat lokal.

Sedangkan kepada PT TPL, agar tidak memperluas kebun kayu eksisting, apalagi mengkonversi hutan alam tersisa di dalam izin perusahaan, melakukan pendataan secara komprehensif terhadap kebun kayu eksisting guna memilah kebun kayu yang bermasalah secara ekologis dan sosial dengan yang clear and clean.

Selanjutnya, dalam rangka membangun kepastian investasi dalam jangka panjang, perusahaan menyesuaikan kapasitas industri yang ada dengan kemampuan pasokan kebun kayu yang clear and clean, dan secara terbuka dan periodik menyampaikan ke publik area-area yang akan dikelola perusahaan.

Sampai artikel ini selesai ditulis, tidak ada tanggapan dari pihak PT TPL soal dugaan patgulipat yang diungkapkan Koalisi Indonesia Memantau dalam laporannya itu. Betahita telah berupaya meminta konfirmasi dan pernyataan perusahaan tersebut, melalui Corporate Communication PT TPL, namun tidak mendapatkan tanggapan apapun.

 

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

#Lingkungan Hidup

Index

Berita Lainnya

Index