ANALISD.com, Jakarta - Indonesia disebut dapat menghemat US$ 2 miliar atau hampir Rp 30 triliun dengan melakukan pensiun dini PLTU dan menggantinya dengan energi surya yang dibarengi dengan penggunaan sistem penyimpanan baterai, dan sumber energi bersih lainnya. Penghematan tersebut berasal dari biaya finansial dan biaya lingkungan dari pengoperasian PLTU batu bara. 

Apalagi sistem kelistrikan nasional saat ini tengah menghadapi kelebihan pasokan atau oversupply yang berbiaya mahal. Kepala Data Insights TransitionZero, Seb Kennedy mengatakan bahwa pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia tidak hanya dapat menghemat biaya tetapi juga mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dan mencapai net zero emission dengan lebih cepat.

“Temuan kami menunjukkan bahwa menutup PLTU tua di Indonesia lebih awal menguntungkan untuk emisi dan biaya. Sistem kelistrikan Indonesia sarat dengan kelebihan kapasitas yang mahal, sehingga siap untuk dirombak,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (12/6). 

Berdasarkan analisa terbaru dari analisis lingkungan non-profit TransitionZero, pensiun dini PLTU batu bara dapat menghindari 1.3 giga ton CO2, atau setara dengan menghentikan emisi perkapalan global selama dua tahun. Temuan-temuan tersebut merupakan hasil dari model sistem energi open source milik TransitionZero bernama Future Energy Outlook (FEO). 

“FEO mengungkapkan penghematan biaya dan emisi yang tersedia dari mendesain ulang jaringan di sekitar sumber daya yang lebih bersih dan hemat biaya,” kata Kennedy. 

Sistem ini dikalibrasi untuk melakukan perbandingan finansial dan biaya lingkungan untuk menjalankan sistem kelistrikan Indonesia hingga 2050 dengan berbagai skenario. Indonesia telah menargetkan untuk mencapai net zero emission pada 2060. 

Untuk mempercepat transisi energi bersih, Indonesia telah menandatangani kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bernilai US$ 20 miliar pada G20 tahun lalu yang salah satu tujuannya yaitu membiayai pensiun dini PLTU.

Menurut analisis TransitionZero sebelumnya, dana tersebut jika dimanfaatkan untuk memensiunkan lebih dari setengah kapasitas PLTU batu bara di Indonesia atau setara 21,7 GW hingga sepuluh tahun lebih cepat dengan menargetkan pembangkit-pembangkit listrik yang paling tidak menguntungkan terlebih dahulu.

Hingga saat ini, belum ada alat yang tersedia untuk umum yang dapat digunakan untuk menghitung cara yang paling efektif untuk mengganti kapasitas batu bara yang hilang di setiap node jaringan listrik Indonesia. 

FEO, model sistem beresolusi tinggi yang didukung oleh rich asset-level data, dirancang untuk mengisi adanya kesenjangan pengetahuan tersebut. 

Model FEO pertama yang dilakukan menunjukan bahwa, total biaya untuk menjalankan sistem ini mulai dari sekarang hingga 2050 akan sebesar US$ 2 miliar, jika dana JETP digunakan untuk menutup kelebihan 21.7 GW PLTU.

“Permasalahan kelebihan kapasitas batu bara Indonesia menghambat transisi energi bersih. Sinyal kebijakan yang jelas dan proses tender yang selaras dengan rencana pembangunan terbarukan diperlukan untuk mempercepat penerapan energi bersih,” kata Analis TransitionZero, Isabella Suarez. 

Skenario pensiun dini (Early Coal Retirement) PLTU dapat mencegah 1,3 gigaton CO2, yang artinya Indonesia dapat menyimpan US$ 2 untuk setiap ton CO2 yang dihindari jika modal JETP dialokasikan secara efisien.

Khususnya, dengan asumsi Early Coal Retirement emisi karbon turun lebih cepat antara sekarang dan 2028 dibandingkan dengan skenario lain yang dimodelkan terkait target Net Zero Indonesia pada 2060. 

Hal ini karena 13 GW batu bara baru yang sedang dibangun di Indonesia; dalam skenario Early Coal Retirement, penutupan PLTU melebihi rencana penambahan batu bara dalam lima tahun pertama. Namun, FEO juga mengungkapkan bahwa emisi dapat meningkat kembali segera setelah dana pembelian batu bara habis, karena JETP seperti yang dibayangkan saat ini tidak cukup besar untuk mengakhiri pembajakan batu bara di Indonesia.

Hal ini juga turut menggarisbawahi pentingnya donor internasional yang mendanai penghapusan batu bara di Indonesia untuk memenuhi janji mereka dalam mendukung JETP dengan hibah dan pinjaman lunak – dan idealnya bagi mereka untuk memberikan paket pembiayaan iklim yang jauh lebih ambisius. 

Menariknya, analisis ini juga menemukan sedikitnya variasi dalam bauran energi Indonesia tahun 2050 dalam seluruh skenario yang dimodelkan. Indonesia menggunakan tenaga surya dan penyimpanan baterai sebagai sumber listrik paling murah, mengakhiri ketergantungannya pada batu bara – terlepas dari target emisinya. 

FEO mengungkap seberapa cepat tenaga surya dapat melemahkan PLTU tua yang mahal, dan di jaringan mana transformasi ini akan terjadi. Terkait pemasangan kapasitas, energi surya tumbuh dari antara 15 GW dan 21 GW di 2023, tergantung skenario pemasangan. 

Kemudian energi surya meningkat sepuluh kali lipat diantara 170 GW and 210 GW pada pertengahan abad. Ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan dari basis tenaga surya yang terpasang saat ini sebesar ~170 MW.

 

#Energi

Index

Berita Lainnya

Index