ANALISD.com, Jakarta - Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Presiden Joko Widodo membuka keran ekspor tambang pasir laut. Padahal aktivitas ini sudah dihentikan sejak 20 tahun lalu di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Alasan penghentian karena aktivitas itu dinilai merusak lingkungan laut.

Diperbolehkannya lagi ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan tersebut memuat rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan, termasuk ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.

Padahal sebelumnya, ekspor pasir laut dihentikan melalui keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementera Ekspor Pasir Laut. Dalam poin ‘a’ disebutkan bahwa dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut, serta belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura, maka dianggap perlu menghentikan sementara ekspor pasir laut guna penataan kembali pengusahaan dan ekspor pasir laut.

Beberapa alasan di atas kemudian melandasi keluarnya keputusan Menperindag tersebut. Dalam keputusan juga disebutkan yang dimaksud dengan pasir laut adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.

Penghentian tidak hanya di wilayah Kepulauan Riau, tetapi untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia seperti yang dituangkan dalam pasal 2. Keputusan ditetapkan pada 28 Februari 2003 oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M Sumarno Soewandi.

Tidak hanya itu pada 2007 aturan yang hampir mirip kembali dikeluarkan. Pasalnya makin maraknya tambang pasir ilegal meskipun sudah dilarang pada 2003.

Larangan ekspor pasir 2007 itu tertuang dalam peraturan Menperindag nomor : 02/M-DAG/PER/1/2007. Tidak hanya larangan ekspor pasir, tetapi juga tanah dan top soil (termasuk tanah pucuk dan humus).

Keputusan ini keluar, karena menimbang semakin maraknya ekspor tambang pasir laut ilegal, selain itu juga penegasan bahwa jenis tanah dan top soil juga dilarang saat itu, di samping alasan agar tidak terjadi kerusakan lebih parah. Aturan ini ditetapkan pada 22 Januari 2007 oleh Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu pada masa Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.

Deretan aturan penghentian ekspor tambang pasir laut tersebut dikeluarkan berdasarkan ditimbulkannya dampak kerusakan lingkungan yang terjadi. Lalu, bagaimana aturan pemerintah yang baru ini melegalkan kembali ekspor pasir laut ?

Gunakan Politik Bahasa ‘Sedimentasi Laut’

Jika dilihat secara kasat mata memang aturan ini tidak meletakan poin ekspor pasir laut secara gamblang pada bagian awal. Namun, Pada Bab IV Pemanfaatan pasal 9 poin satu PP No.26/2023 disebutkan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut.

Pada point selanjutkan disebutkan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha. Dan poin terakhir untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aturan ini memang menggunakan bahasa utama sedimentasi laut. Dalam pemanfaatan sedimentasi laut itu ada kegiatan pemanfaatan pasir laut, salah satu tujuannya ekspor pasir laut.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan dalam peraturan tersebut Presiden Jokowi menggunakan politik bahasa, yaitu sedimentasi laut. “Kenapa tidak ditulis tambang pasir laut, takut masyarakat protes, makanya di PP ini dibuat sedimentasi bukan tambang,” kata Parid.

Penggunaan bahasa seperti ini sudah sering dilakukan pemerintah dibawah Presiden Jokowi. Salah satunya Undang-undang Cipta Kerja, yang ditolak masyarakat. “Cipta kerja seperti itu juga. Seolah aturan ini untuk membangun lapangan kerja, faktanya tidak, menghancurkan hutan, laut dan lingkungan,” kata Parid saat dihubungi Mongabay Indonesia dari Batam, 28 Mei 2023.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim Indonesia Abdul Halim juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, bahasa sedimentasi upaya pemerintah menghaluskan kalimat “tambang pasir laut”.

Bom Waktu Kerusakan Lingkungan

Dibukanya keran ekspor tambang pasir laut ini menuai pro kontra di masyarakat. Bukan malah menjaga laut semakin ‘biru’ pemerintah malah mengumbar laut untuk dikeruk. Pengamat menduga ada kaitan keputusan aturan ini dengan momen pemilu 2024 yang tentunya membutuhkan biaya politik yang besar.

Parid mengatakan, sebenarnya peraturan tersebut memberikan karpet merah kepada pelaku usaha tambang pasir laut. Apalagi tujuan lain tambang pasir laut ini adalah untuk reklamasi. “Artinya PP ini mendukung proyek reklamasi diseluruh Indonesia, untuk pembangunan waterfront city, bisnis baru, hingga pelabuhan. Kajian Walhi akan ada 4 juta hektar reklamasi di Indonesia sampai hingga 2040,” kata Parid.

Aturan ini menjadi ancaman masa depan kelestarian laut. Misalnya di Kepri sudah nampak, banyak pulau kecil terancam tenggelam karena tambang pasir laut untuk Singapura yang terjadi puluhan tahun lalu. “Aturan ini tidak sejalan dengan pidato Jokowi di mimbar-mimbar internasional, ‘kami ingin laut biru, memulihkan mangrove’, itu semua jauh panggang daripada api,” katanya.

Aturan seperti ini kata Parid, akan memperparah dampak krisis iklim. Seharusnya pemerintah memitigasi, bukan mengeluarkan regulasi yang akan semakin merusak lingkungan. “Apalagi di PP disebutkan sanksi pelaku usaha yang melanggar aturan hanya administrasi, administratif itu sama saja memutihkan kejahatan lingkungan,” katanya.

Abdul Halim melihat, selama ini ekspor pasir laut dilarang berdasarkan kepada pemahaman bahwa tambang pasir laut merusak baik kepada lingkungan dan masyarakat sekitar terutama nelayan kecil.

Ia menduga, aturan ini dilegalkan kembali merupakan upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara dari pos PNBP, ditengah kondisi hutang besar, proyek ibukota nasional yang tidak kunjung jelas investornya serta menjelang tahun pemilu 2024. “Satu-satunya jalan menghadapi kondisi itu membuka keran investasi untuk mengambil keuntungan manfaat ekonomi dari sumber daya alam yang kita miliki secara masif,” katanya.

Selain itu analisa Pusat Kajian Maritim Indonesia, aturan ini dikeluarkan mendekati momen pemilu 2024. Abdul menduga biasanya para politisi (legislatif atau eksekutif) berkongsi untuk kemudian meloloskan sejumlah kebijakan. Supaya mempermudah mereka mendapatkan ‘rente’ yang akan digunakan untuk biaya politik.

Begitu juga yang disampaikan Parid, sebetulnya kata parid melegalkan ekspor tambang pasir bukan solusi ditengah gempuran krisis iklim. “Kami khawatir menjelang pemilu 2024 ini pemerintah memberikan karpet merah kepada pengusaha yang punya kepentingan,” katanya.

 

 

#Konservasi

Index

Berita Lainnya

Index