ANALISD.com, Jakarta - Pengelolaan karbon biru melalui perlindungan ekosistem laut dan pesisir dinilai masih membutuhkan dukungan regulasi dan keterlibatan pemerintah daerah. 

Direktur Kelautan dan Perikanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sri Yanti JS mengatakan saat ini sudah ada sejumlah regulasi yang mengatur ekonomi karbon di Indonesia. Mulai dari Perpres No.98/2021 hingga Peraturan Menteri LHK No.21/2022 yang sama-sama mengatur soal tata laksana Nilai Ekonomi Karbon (NEK). 

Kendati demikian, Sri menuturkan beleid tersebut belum mengatur secara detail soal pengelolaan ekosistem karbon biru dan implementasi nilai ekonominya. Padahal menurut Sri, Indonesia memiliki potensi besar memanfaatkan ekonomi karbon biru melalui pengelolaan mangrove dan padang lamun. 

“Indonesia memiliki 3,36 juta hektare mangrove dan 1,8 juta hektare padang lamun yang berpotensi menyimpan 17% karbon dunia,” katanya, Senin (29/5). 

Guna mendorong pengelolaan ekosistem karbon biru, Kementerian Bappenas dan The Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) berkolaborasi dengan Agence Francaise De Development (AFD). Ketiga lembaga tersebut telah menandatangani perjanjian hibah senilai EUR 600.000 pada Oktober 2022. Dana tersebut akan digunakan untuk merancang dokumen kebijakan karbon biru nasional dan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam hal inventarisasi dan verifikasi. 

"Kegiatan perlindungan dan restorasi merupakan tataran implementasi sebagai optimalisasi karbon biru untuk mitigasi perubahan iklim," ujarnya.

Sri menjelaskan karbon biru yang tersimpan pada ekosistem pesisir dan laut punya peran penting untuk mencapai target penurunan emisi. Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89 % dengan usaha sendiri dan 43,20 %.dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

 

#Green Economy

Index

Berita Lainnya

Index