ANALISD.com, Siak - Perairan Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinai Riau, tercemar karena kebocoran minyak mentah dari sumur tua PT Imbang Tata Alam, anak usaha PT Energi Mega Persada, sejak 9 Mei pagi. Casing conductor ME-03 bocor. 

Rembesen minyak ke laut itu terbawa arus pasang surut ke pesisir pantai Kampung Bunsur, Lalang sampai Mengkapan dan mengendap di  hutan mangrove. Sekitar tiga kilometer pantai tercemar.

Hansardi, Media Relation PT Imbang, mengatakan, sumur lama ditutup, sejak operasi setop pada 2016. Meskipun begitu, setelah tiga hari insiden, perusahaan berupaya menutup kebocoran dan melokalisir tumpahan minyak dengan memagari pakai oil boom.

PT Imbang bersama warga pun masih berjibaku bersihkan ceceran minyak dengan menyusuri permukaan laut sekitar gunakan perahu motor masyarakat. Sembari berkoordinasi dengan pemerintah, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Siak dan melaporkan penanganan yang dilakukan.

“Dari patroli kita berhasil mengumpulkan sekitar 17 liter minyak mentah campur air. Paralel dengan upaya menutup sumber kebocoran, patroli akan terus hingga perairan kembali bersih. Diharapkan dalam beberapa hari ke depan, tumpahan ini bisa teratasi,” kata Reno Ranendra, VP HCS & Government Public Affairs EMP, lewat keterangan tertulis yang diperoleh Mongabay, 11 Mei lalu.

Keterangan Imbang mengenai pelaporan insiden kebocoran minyak berbeda dari informasi yang diperoleh Mongabay lewat Ardayani, Kepala Bidang Pencemaran DLH Siak. Dia mendapat kabar kejadian setelah membaca berita dan keterangan yang berseliweran di media sosial. Imbang baru membenarkan setelah Ardayani menghubungi. Bukan langsung mengabari terlebih dahulu.

“Kami sudah meneruskan informasi dan laporan hasil peninjauan lapangan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pusat (KLHK) ternyata juga sudah membaca berita di media massa, sebelum kami sampaikan ke mereka,” kata Ardayani, ketika dihubungi, 12 Mei.

Berdasarkan video yang dibagikan seorang warga ke Mongabay, tampak serpihan bintik hitam di perairan Sungai Apit, terutama Kampung Bunsur. Limbah itu juga mengapung hingga ke sela-sela hutan mangrove sampai pinggirian tebing, benteng daratan penduduk penahan ombak. Tim perusahaan menyaring limbah itu dari perahu dengan tangguk ikan.

Ardayani bilang, ceceran minyak yang disaring dikemas dalam karung dan dikumpulkan di tempat penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya dan beracun di Kurau, Desa Lukit, Kecamatan Merbau, Kepulauan Meranti.

Selain menyaring bongkahan minyak, Imbang juga menyemprot cairan dispersant guna mengurai gumpalan minyak menjadi lebih kecil dan mudah diserap mikroba. Penyuntikan dispersant ini sudah berakhir pada Kamis, kemarin.

Hansardi katakan, Imbang menghabiskan setidaknya lima liter cairan kimia itu. Tiap liter pemakaian dicampur 20 liter air.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, menilai penggunaan dispersant justru membuat laut tambah tercemar. Cairan kimia itu, katanya,  akan membuat perairan makin tak layak terutama untuk ekosistem laut seperti ikan dan terumbu karang.

Dia contohkan, tumpahan minyak di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, tahun lalu, meski disemprot dengan cairan itu, minyak muncul lagi ke permukaan, beberapa minggu kemudian.

Limpahan minyak dari sumur tak produktif itu berdampak pada nelayan Bunsur dan kampung sekitar.

Yanto, nelayan tempatan mengatakan,  tangkapan turun drastis dari biasa. Dia hanya dapat tiga ikan seukuran telapak tangan, selama pergi menjaring ikan dari pukul 2.00 dini hari hingga pulang pukul 11.30.

Kondisi serupa dirasakan hampir semua nelayan kecil di Kampung Bunsur, terutama yang menebar jaring di tepi laut atau sekitar hutan mangrove yang paling dominan tercemar limbah minyak mentah.

“Biasanya sehari dapat 2-3 kg  ikan. Pokoknya ratusan ribu sekali melaut. Cukup belanja rumah dan biaya sekolah anak. Sekarang untuk makan di rumah saja tak cukup,” kata Yanto.

Belum ada solusi mengatasi masalah ekonomi nelayan terdampak. Afriadi, Ketua Karang Taruna Kampung Bunsur, menyebut,  tumpahan minyak ini dapat merusak ekosistem mangrove dan tangkapan nelayan. Apalagi, tumpahan minyak ini bukan pertama kali.

Dia meminta, perusahaan selalu memperhatikan sumur minyaknya agar kejadian serupa tak terulang kembali.

Khaidir, penghulu Kampung Bunsur, senada Afriadi. Ceceran minyak hitam itu mempengaruhi aktivitas nelayan terutama terhadap alat tangkap ikan mereka. Meski, dia belum menerima keluhan langsung dari nelayan tetapi dampak lebih dari itu. Dia khawatir,  pencemaran laut karena minyak akan makin memperparah kerusakan mangrove dan mempercepat laju abrasi.

Hansardi bilang,  perusahaan mulai mendata nelayan. Mereka siap memberikan kompensasi berkenaan masalah ini.

Parid bilang, ada tiga  poin penting dengan kasus minyak Imbang bocor ini. Pertama, negara harus meminta pertanggungjawaban perusahaan untuk pemulihan ekologi. Minyak yang mengotori laut harus benar-benar dihilangkan.

Berkaca pengalaman tumpahan minyak oleh perusahaan Australia di Laut Timor, katanya, dampak terasa selama 10 tahun. “Gimana caranya supaya tidak merusak ekosistem pesisir laut? Harus dipastikan Imbang bertanggungjawab memulihkannya.”

Kedua, negara harus memastikan Imbang bertanggungjawab kepada masyarakat terdampak. “Harus ada pendataan dan penghitungan kerugian tiap orang untuk mengganti biaya kehidupan sosial dan ekonomi yang hilang sampai laut benar-benar pulih.”

Ketiga, untuk perlindungan laut jangka panjang, negara harus memastikan alokasi ruang laut pada wilayah ceceran minyak. Apakah ditetapkan sebagai wilayah tangkap, pariwisata atau konservasi. Kalau peruntukan tidak sesuai,  katanya, perlu ada sanksi.

Parid merujuk UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU 27/2007 juncto UU 1/2014 yang mengatur soal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ada sanksi pidana denda dan penjara bagi perusahaan terbukti mencemari perairan.

Insiden tumpahan minyak yang cemari laut Indonesia sudah berkali-kali terjadi. Parid membeberkan catatan Walhi Nasional 1999-2022, sudah ada 43 kejadian.

“Laut Indonesia makin rusak kalau terus dibiarkan tanpa ada penegakan hukum. Harus ada ketegasan. Kalau tidak, orang merasa bebas cemari laut. Laut akan jadi tempat pembuangan segala sampah. Masyarakat jadi korban.”

Parid mendesak , pemerintah menutup dan menghentikan pengeboran minyak. Pertambangan ini termasuk industri ekstarktif sangat kotor dan merusak lingkungan.

Model bisnis ini, katanya,  sudah seharusnya ditinggalkan kaena keuntungan hanya untuk segelintir orang dan jangka pendek.

Sedangkan dampak sosial ekologi, katanya,  jangka panjang. Kalau lingkungan terjaga, kata Parid, orang dapat air bersih, pangan, bisa melaut dan dapat ikan.

“Kalau nambang minyak, pasti akan tercemar dan rusak.”

 

 

#Lingkungan Hidup

Index

Berita Lainnya

Index